• Berita
  • Pelacakan Kontak Covid-19 di Bandung Rendah, Kematian Sulit Dicegah

Pelacakan Kontak Covid-19 di Bandung Rendah, Kematian Sulit Dicegah

Hingga kini Hafidz masih berandai-andai, jika sejak awal Satgas Covid-19 melakukan pelacakan kontak, mungkin ayahnya akan tertolong.

Warga berdoa saat salat jenazah sebelum menguburkan anggota keluarganya di TPU khusus Covid-19, Cikadut, Bandung, 25 Juli 2021. Angka kematian harian korban Covid-19 di Indonesia tetap tinggi, begitu juga di Bandung. (Foto: Prima Mulia)

Penulis Iman Herdiana26 Juli 2021


BandungBergerak.idKlaster Covid-19 di level keluarga diperkirakan masih terus menyebar di segenap penjuru Kota Bandung dalam gelombang kedua pandemi yang mulai berlangsung sejak Juni 2021 hingga saat ini. Kondisi yang membuat rumah sakit atau fasilitas kesehatan kolaps dan para tenaga kesehatan kewalahan.

Upaya pelacakan kontak seperti pengetesan (testing), pelacakan (tracing), dan perawatan (treatment), dikenal dengan kependekan 3T, yang mestinya menjadi kunci penanganan di tingkat hulu, tampaknya terhambat karena tingginya gelombang pasien yang harus ditangani tenaga kesehatan.

Minimnya 3T dirasakan Hafidz Azhar, warga Bandung yang baru saja pulih dari gejala Covid-19. Ia bahkan harus kehilangan ayahnya yang positif Covid-19 dan tidak tertolong. Ayahnya meninggal dalam usia 62 tahun, 18 Juli 2021 lalu.

Hafidz merupakan satu dari sekian banyak warga yang terpapar Covid-19 dari klaster keluarga. Di keluarganya, ia yang pertama kali merasakan gejala Covid-19 pada 26 Juni 2021, seperti demam, menggigil, mual, sakit kepala, dan kehilangan indra penciuman.

“Saya lalu kontak Pikobar karena sudah ada dugaan Covid-19,” kata Hafidz Azhar, saat dihubungi BandungBergerak.id, Minggu (25/7/2021).

Sebelum mendapat gejala, Hafidz melihat di kampungnya banyak warga yang memiliki gejala serupa. Di keluarganya, gejala serupa dialami ibu, kakak, adik, nenek, dan pamannya. Sebelumnya, salah seorang tertangganya lebih dulu dinyatakan terkonfirmasi positif Covid-19.

Namun, tidak ada petugas yang melakukan 3T di sekitar warga yang positif tersebut. Hafidz menduga, jumlah tenaga kesehatan sangat terbatas, sementara Satgas Covid-19 di wilayahnya masih memerlukan pelatihan dalam melakukan 3T.

Di saat yang sama, pada akhir Juni 2021 itu memang seluruh layanan kesehatan, baik Puskesmas maupun rumah sakit, kebanjiran pasien Covid-19. Bahkan hingga kini, tidak mudah warga mendapatkan ruang rawat inap.

Pada kurun waktu tersebut, Hafidz sering mendengar kabar kematian yang diumumkan melalui pengeras suara di masjid-masjid, walau tidak diketahui apakah kematian tersebut disebabkan Covid-19 atau bukan. Yang jelas, pengumuman kematian terjadi lebih sering dari biasanya.

Setelah menghubungi Pikobar, Hafiz tersambung ke layanan Covid-19 Dinas Kesehatan Kota Bandung melalui WhatsApp. Balasan dari petugas Dinkes Kota Bandung muncul keesokan harinya sekitar pukul 10 pagi.

Tidak puas dengan jawaban Whatsapp dari Dinas Kesehatan Kota Bandung, Hafidz kemudian menghubungi Puskesmas dan meyampaikan keluhannya. Petugas Puskesmas lalu memintanya datang keesokan harinya.

Esoknya, Hafidz mendapat informasi bahwa tes PCR akan memakan waktu dua mingguan karena terjadi penumpukan beban (overload) di laboratorium PCR Kota Bandung. Ia diminta melakukan PCR mandiri di klinik swasta. Namun harga PCR mandiri ternyata sangat mahal untuk kondisi serba darurat sekarang ini, antara 850.000-1.500.000 ribu rupiah.

“Di masa serba sulit sekarang ini, uang sebesar itu cukup susah untuk diperoleh. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak di-PCR. Dan menunggu sampai 14 hari isoman,” katanya.

Baca Juga: Pandemi Covid-19 Bandung Raya: Jumlah Pasien Baru Meningkat Tajam
Tidak semua UMKM di Bandung mampu Jualan Online

Oksigen Medis Langka, Ambulans Sulit Didapat

Hafidz melanjutkan isolasi mandirinya. Namun pada hari ketiga belas, ayahnya yang semula sehat mulai menunjukkan gejala Covid-19. Padahal sebelumnya sang ayah selalu tidur terpisah dengan anggota keluarga lain yang memiliki gejala.

Esoknya, ayahnya mengalami batuk hebat. Hasil swab antigen kemudian menyatakan bahwa ayah Hafidz positif. Bahkan hari berikutnya, ia mulai diserang sesak napas. Sayangnya, oksigen medis sulit dicari. Hafidz mencarinya sampai malam hari.

“Sampai saya menghubungi Puskesmas agar disediakan oksigen untuk ayah. Akhirnya, seorang petugas Puskesmas membawa tabung oksigen berukuran satu meter yang berisi setengahnya dan hanya bisa digunakan sampai jam 2 malam,” lanjut Hafidz.

Hafidz dan keluarganya berusaha mencari rumah sakit. Namun rumah sakit yang mereka hubungi selalu penuh. Kalaupun ada ruangan kosong, pihak rumah sakit menanyakan gejala sesak pada pasien. Mereka menolak pasien yang bergejala sesak karena minimnya ketersediaan oksigen.

Rupanya tak hanya oksigen dan ruangan rumah sakit yang sulit didapat. Mendapatkan pelayanan mobil ambiulans pun tidak mudah.

Dengan susah-payah Hafidz mendapatkan ambulans untuk mengantarkan sang ayah ke salah satu rumah sakit swasta di Kota Bandung. Di sana ayahnya masih harus menunggu tiga hari untuk mendapat ruangan.

“Kondisi ayah setiap hari naik-turun. Kadang membaik, kadang memburuk. Waktu masih di IGD, kondisi ayah semakin membaik. Mungkin karena di IGD masih bisa dijenguk dan ditunggui,” katanya.

Namun, begitu sudah mendapatkan ruang isolasi rawat inap, ayah Hafidz semakin kritis. Tiga hari ayahnya berada di ruang isolasi tanpa bisa ditemani keluarga demi menghindarkan paparan virus. Pada Minggu 18 Juli, ayah Hafidz dinyatakan meninggal.

Hingga kini Hafidz masih berandai-andai, jika sejak awal Satgas Covid-19 melakukan pelacakan kontak, mungkin ayahnya akan tertolong. Selain rendahnya 3T, Hafidz juga menyesalkan terjadinya kelangkaan oksigen dan penuhnya fasilitas kesehatan.  

Tiga tenaga kesehatan (nakes) Puskesmas Jajaway, Antapani Kidul, berjalan melintasi pematang sawah menuju rumah pasien isoman di permukiman padat di kawasan tersebut, Kamis (22/7/2021) siang. Antapani Kidul merupakan kelurahan dengan jumlah kasus positif Covid-19 terbanyak di Kota Bandung. (Foto: Prima Mulia)
Tiga tenaga kesehatan (nakes) Puskesmas Jajaway, Antapani Kidul, berjalan melintasi pematang sawah menuju rumah pasien isoman di permukiman padat di kawasan tersebut, Kamis (22/7/2021) siang. Antapani Kidul merupakan kelurahan dengan jumlah kasus positif Covid-19 terbanyak di Kota Bandung. (Foto: Prima Mulia)

Rumah Sakit Kolaps, Kematian Pasien Isoman Meningkat

Beragam informasi yang disampaikan pemerintah pusat maupun daerah mengenai pengendalian Covid-19, termasuk ketersediaan oksigen dan keterisian rumah sakit, pada kenyataannya berbeda dengan apa yang terjadi di lapangan. Badai Covid-19 terkonfirmasi dengan tingginya kasus kematian yang terus bertambah, seperti data yang dirilis lembaga LaporCovid-19.

Pada 24 Juli 2021, koalisi warga LaporCovid-19 merilis kasus kematian pasien di luar fasilitas kesehatan, termasuk mereka yang isoman. Terdapat 2.313 korban jiwa dalam status isolasi mandiri dalam kurun 1 Juni hingga 21 Juli 2021.

Data tersebut bersumber dari laporan warga maupun penelusuran aktif di media dan media sosial, kemudian diverifikasi. Data juga didapatkan dari laporan sejumlah lembaga kolaborator.

Rinciannya, kematian pasien isoman di Jawa Barat yang dilaporkan CISDI sebanyak 446 korban jiwa dalam 30 Juni 2021 hingga 6 Juli 2021 di 100 puskesmas, sebanyak 708 korban jiwa didapatkan oleh LaporCovid-19, dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyampaikan 1.161 korban jiwa dalam rentang waktu sejak awal Juni hingga 21 Juli 2021 di wilayah kerja mereka. 

“Tentu angka ini bukan angka sebenarnya, karena masih banyak lagi data yang belum kami dapatkan, kami berharap lembaga-lembaga lain terkait yang memiliki akses data kematian transparan juga.” kata Said Fariz Hibban, analis data LaporCovid-19.

Ahmad Arif, co-lead LaporCovid-19 mengatakan, tingginya kematian isolasi mandiri di Jakarta bukan berarti daerah lain lebih rendah. Hal ini karena data di Jakarta sudah mewakili kondisi nyata, berkat pendataan yang baik oleh Dinkes DKI Jakarta dan kesedian mereka membagi datanya.

Arif berharap adanya transparansi data kematian pasien isoman yang seharusnya bisa menjadi indikator nyata kolapsnya fasilitas kesehatan di suatu daerah.

“Isoman seharusnya diperuntukkan bagi pasien gejala ringan atau bahkan tanpa gejala. Namun, karena rumah sakit penuh, pasien dengan gejala sedang hingga berat terpaksa isoman di rumah, dan akhirnya tak tertolong lagi,” katanya.

Selain itu, kematian isoman juga menandakan tidak berjalannya pemantauan maupun dukungan bagi warga oleh fasilitas kesehatan primer maupun oleh lingkungan setempat. Untuk mengurangi risiko kematian pasien isoman, Arif mengusulkan, agar pemerintah daerah memperbanyak pusat isolasi mandiri dengan pemantauan dari tenaga kesehatan.

“Banyak masyarakat kesulitan menjalani isoman, terutama jika seluruh anggota keluarganya juga positif," tutur Arif. "Dukungan pemantuan kesehatan maupun logistik sangat dibutuhkan."

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//