Bandung Kota Rawan Bencana (2): Banjir dan Krisis Air Bersih
Kota Bandung kerap dilanda banjir. Ironisnya, ia juga diambang krisis air sejak lama. Kebutuhan air bersih mencapai 150 juta liter per hari.
Penulis Iman Herdiana5 April 2021
BandungBergerak.id - Kota Bandung dihantui bencana serius di masa kini maupun masa depan, yakni banjir dan kelangkaan air bersih. Bahkan pada 2050 air bersih yang bersumber di bawah tanah diperkirakan bisa habis jika tidak dikonservasi dari sekarang.
Dua jenis bencana itu, banjir dan kelangkaan air bersih, terkesan paradoks karena sama-sama terkait air. Sudah menjadi rahasia umum kalau selama musim hujan sejumlah daerah di Bandung dilanda banjir. Banyaknya bangunan membuat laju air hujan (run off) tak terserap.
Dalam lima tahun terakhir, sejumlah banjir Kota Bandung terjadi di Pasteur, Pagarsih, Cicaheum, dan Gedebege. Sejumlah mobil yang hanyut dan terendam lumpur. Pada banjir Pasteur 24 Oktober 2016, seorang warga, Ade Sudrajat (30), terbawa arus hingga tewas.
Di balik run off air hujan yang tak terserap, ada potensi bencana lain yang mengerikan, yaitu krisis air bersih. Arah menuju krisis air tanah bisa diiikuti dari penelitian terhadap penurunan tanah (land subsidence) yang terjadi di Bandung yang dilakukan Kelompok Keilmuan Geodesi Institut Tekonologi Bandung (ITB) sejak tahun 2000.
Dosen geodesi ITB, Dr. Heri Andreas, menjelaskan land subsidence adalah penurunan dari permukaan atau topografi tanah yang umumnya disebabkan pengambilan air tanah yang berlebihan. Penelitian itu mencatat penurunan tanah terjadi 1-20 CM per tahun.
Laju penurunan tanah paling tinggi di Majalaya, Rancaekek, Cimahi, Dayeuh Kolot, Gedebage, Kopo, Banjaran yang umumnya daerah industri. Namun pada perkembangan berikutnya, area penurunan tanah relatif merata di Cekungan Bandung (Bandung Raya).
“Dulu zona merah di sekitar kawasan industri. Sekarang ke mana-mana, penurunan tanahnya relatif merata,” kata Heri Andreas, saat dihubungi bandungbergerak.id, melalui sambungan telepon, Senin (5/4/2021).
Memang, karena pandemi Covid-19 yang masuk tahun kedua ini belum dilakukan lagi pengukuran penurunan tanah. Tetapi berdasarkan peta satelit, hingga kini penurunan tanah masih terjadi secara merata, tidak hanya di kawasan industri saja. “Kalau biasanya di 1 lokasi cepat penurunannya, di lokasi lain kecil. Di Cekungan Bandung sekarang itu turunnya bersamaan dan cukup besar,” terangnya.
Sekarang banyak masyarakat atau rumahan yang mengeksploitasi air tanah, termasuk PDAM yang juga mengambil air tanah untuk menutupi kurangnya pasokan air baku. Sehingga penurunan tanah terjadi merata.
Heri menyebut area penurunan tanah di Cekungan Bandung sebagai salah satu yang terluas di dunia. Jika Kota Bandung terletak di pinggir pantai, maka kota ini akan menjadi kota yang tercepat terendam laut. “Untungnya” Bandung bukan kota pantai.
Meski demikian, laju penurunan tanah masih sangat serius bagi kota yang walaupun jauh dari pantai seperti Bandung. Ada hubungan antara penurunan tanah dengan pengambilan air tanah yang akan memicu krisis air. Ada korelasi penurunan tanah dengan potensi banjir yang semakin meluas, misalnya di kawasan Gedebage, Rancaekek, Dayeuh Kolot, dan lain-lain.
Krisis Air Bersih
Heri Andreas mengatakan level air tanah di Cekungan Bandung sudah banyak yang melebihi minus 40 meter. Artinya, telah terjadi kerusakan di akuifer atau sumur-sumur air bawah tanah. Kedalaman akuifer ini diperkirakan lebih dari 100 meter.
Di masa lalu, orang cukup mengandalkan air sumur yang digali secara manual yang diambil dengan cara ditimba. Air sumur tradisional ini merupakan air permukaan tanah yang jauh sekali jaraknya dengan akuifer.
Seiring waktu dan laju pertumbuhan penduduk dan industri, di tambah pencemaran pada air permukaan tanah seperti sumur dan sungai-sungai oleh limbah rumah tangga dan industri, maka orang mulai melakukan pengeboran-pengeboran lebih dalam.
Sementara pipa PDAM tak sanggup menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Mulai tahun 80-an, orang mulai melakukan pengeboran-pengeboran. Kedalaman sumur bor terus meningkat. Saat ini, rata-rata kedalaman sumur bor mencapai di atas 40 meter. Makin lama, pengeboran akan mencapai angka ratusan meter. Kemudian air pun habis.
Penelitian menyebut, muka air tanah minus 40 meter menunjukkan rusaknya akuifer. Cekungan Bandung rata-rata akuifernya minus 40 meter yang berarti sumber air tanahnya banyak yang rusak.
“Artinya kita punya problem konservasi air tanah, harus diselamatkan yang rusak ini. Kalau terus turun, lebih dari minimal 100 meter, ujung-ujungnya air tanahnya. Sumur-sumurnya. Itu ditakutkan di 2050 itu banyak sumur-sumur kering.Kkalau sudah kering seperti itu akhirnya ada krisis air bersih di Cekungan Bandung. Itu yang ditakutkan,” kata Heri.
Maka, sebelum sumber-sumber air Kota Bandung mengering, diperlukan manajemen air yang menyeluruh oleh pemerintah, yaitu menghentikan pengeboran air sekalgus mencari sumber-sumber air alternatif, menyelamatkan zona-zina air yang tersisa, pembuatan danau-danau buatan atau retensi yang airnya dimanfaatkan untuk air baku, menjadikan sungai-sungai di Bandung sebagai sumber air baku berkualitas.
“Kita melihat pemerintah sudah berupaya ke arah sana. Tinggal dipercepat. Mudah-mudahan belum terlambat,” katanya.
Peringatan Krisis Air Sudah Lama
Peringatan pentingnya konservasi air telah lama disuarakan ilmuwan ITB lainnya. Lambok M. Hutasoit pada 2009 telah menghitung kondisi kerusakan sumber air tanah di Bandung pada 2013 dengan metode numerik.
Waktu itu, ilmuwan dari Program Studi Teknik Geologi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (FITB-ITB) itu mengingatkan jika tidak dilakukan pemulihan terhadap kondisi air tanah, maka pada tahun 2013 akan terjadi penambahan Zona Kritis di Bandung sebesar 116% dan Zona Rusak sebesar 570%.
Zona Kritis dan Zona Rusak dapat dipulihkan jika dibuat peresapan buatan sebesar 164 juta m3/tahun yang dimulai tahun 2009, tahun dilakukannya penelitian tersebut. Tentu angka ini akan jauh berbeda jika dikaitkan dengan kondisi saat ini.
Salah satu metoda pemulihan zona rusak itu ialah dengan melakukan peresapan buatan (artificial recharge), meliputi sumur resapan, reservoir permukaan, atau parit resapan. “Metoda ini adalah sesuatu yang menjanjikan, mengingat curah hujan yang turun di daerah ini banyak yang tidak dapat meresap ke dalam tanah karena luasnya lahan yang telah tertutup,” katanya, dikutip dari penelitian ilmiahnya berjudul “Kondisi Muka Airtanah Dengan Dan Tanpa Peresapan Buatan Di Daerah Bandung: Hasil Simulasi Numerik”.
Penelitian Lambok yang dilakukan 2009 itu sebagai gambaran bahwa Bandung sudah diambang krisis air sejak lama. Badan dunia Unesco pada 2002 menetapkan hak dasar manusia atas air yaitu sebesar 60 liter per orang per hari. Penduduk warga Bandung sebanyak 2,5 juta menurut data BPS 2019. Sehingga kebutuhan air 150 juta per hari.