• Kolom
  • SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (1): Dari Padalarang hingga Nagreg

SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (1): Dari Padalarang hingga Nagreg

Gagasan membuat lajur kereta api ke Bandung Raya sudah ada sejak paruh kedua abad ke-19. Ada dua motifnya, yakni kepentingan ekonomi dan pertahanan militer.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Kereta api melintas masuk ke Stasiun Padalarang, sementara tepat di sebelahnya sedang berlangsung proyek pembangunan kereta api cepat Jakarta Bandung, di Kabupaten Bandung Barat, Senin (21/4/2021). Pertumbuhan kawasan Bandung Raya tidak lepas dari kehadiran dan perkembangan layanan kereta api bagi warganya. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

8 Agustus 2021


BandungBergerak.id - Sejak Maret 2020, karena pemberlakuan pembatasan kegiatan di luar rumah di masa pandemi Covid-19, yang berdampak juga ke kantor, saya memutuskan untuk pulang kampung ke Kecamatan Cikancung, Kabupaten Bandung. Padahal hampir sepuluh tahun saya mengontrak kamar di Kota Bandung, menjadi anak kos, di daerah Cipadung, terhitung sejak 2010, saat kuliah tahun kedua di UIN Bandung. Hingga akhirnya, Agustus 2020, saya sepenuhnya memutuskan pindah ke kampung halaman, yang ditandai dengan diangkutnya koleksi buku dengan colt buntung, dua kali angkut.

Sejak Maret, lebih-lebih Agustus 2020, saya kembali menggunakan kereta lokal Cicalengka-Padalarang atau Cibatu-Purwakarta bila ada keperluan mendesak ke Kota Bandung atau bila dapat giliran bekerja di kantor. Padahal sudah lama sekali saya tidak menggunakan kereta api. Biasanya ke mana-mana saya senantiasa menggunakan angkutan kota. Termasuk setiap mudik bila tiba akhir pekan.

Selama bolak-balik menggunakan kereta lagi dari Stasiun Cicalengka ke Kiaracondong dan pulangnya dari Cikudapateuh ke Cicalengka, saya kerap merenungkan sejarah pembuatan lajur kereta api lokal tersebut. Kilasan-kilasannya biasanya muncul saat kereta berhenti agak lama, misalnya di Rancaekek. Ditambah kenyataan bahwa sekarang sedang dibangun pula lajur baru kereta api cepat dari Jakarta ke Rancaekek dan penambahan trek baru pada lajur yang sudah ada sebelumnya.

Pikiran-pikiran tersebut terus saja mengendap di benak. Untuk memuaskan rasa panasaran, saya mengumpulkan buku yang berpautan dengan sejarah kereta api pada koleksi di rumah. Sebagian saya beli baru melalui market place dan media sosial. Tetapi ada pula kawan-kawan baik saya sesama penyuka buku yang memberi bantuan, dengan memberi bahan-bahan pustaka yang sudah didigitalisasi. Sudah pasti, saya juga melakukan pencarian bahan pustaka di laman-laman internet sebanyak-banyaknya.

Sesudah terkumpul, terbayanglah garis besar yang hendak saya ketahui dan akan dibagikan dalam bentuk tulisan. Garis besar tersebut berkaitan dengan sejarah pembuatan lajur barat (Westerlijnen), yakni dari Cianjur ke Bandung, dari Bandung ke Cicalengka, ditambah dari Cicalengka ke Garut.

Namun, semata-mata dengan alasan yang dapat dikatakan pribadi, saya lebih memilih pembangunan lajur ke Padalarang berikut peresmian serta perkembangannya sebagai titik awal tulisan. Padalarang saya jadikan patokan karena di masa kecil, tempat inilah tempat paling jauh yang sempat saya kunjungi dengan keluarga. Karena dulu di kampung saya dan sekitarnya ada kebiasaan untuk mengisi hari-hari liburan setelah lebaran dengan menumpang kereta lokal dari Cicalengka ke Padalarang. Tujuannya tentu untuk rekreasi. Karena setiba di sekitar Stasiun Padalarang, kami sekeluarga membuka bekal, biasanya timbel, gorengan dan leupeut, lalu makan bersama alias botram.

Pilihan lainnya adalah sengaja membeli makanan di tempat tujuan dan dinikmati secara bersama-sama. Biasanya almarhum nenek saya bilang nguah, merujuk pada sayuran berkuah (angeun) yang bisanya disantap di sekitar Padalarang, dengan nasi yang dibawa dari rumah. Sehabis menikmati penganan dan makan serta melihat-lihat suasana di sekitar stasiun, kami sekeluarga naik lagi kereta api jurusan Cicalengka, untuk pulang.

Nagreg saya jadikan sebagai titik akhir tulisan, meski bukan merupakan stasiun terakhir di bagian paling timur Kabupaten Bandung, yang berbatasan dengan Kabupaten Garut. Dari sisi sejarah transportasi di Priangan, Nagreg punya posisi menarik. Pada persimpangan ke Garut dan Tasikmalaya itulah, sejak abad ke-19 ada pos pemberhentian untuk kereta-kereta yang ditarik kuda untuk digantikan dengan kuda-kuda baru atau bahkan dengan kerbau bila mendapati jalan sangat menanjak. Bukti mengenai hal ini dapat sama-sama kita saksikan dari salah satu potret yang dibuat oleh fotografer termasyhur tempo dulu dari Batavia, Woodbury and Page: Post Nagreg bij Tjitjalengka ten oosten van Bandoeng (KITLV 3197).

Dari sisi pengalaman pribadi, Stasiun Nagreg juga ada persambungannya. Pada suatu malam tahun yang lalu (2020), saya untuk pertama kalinya turun di stasiun ini. Saat itu saya sedang ada di dalam kereta api siang dari Yogyakarta, dengan tujuan Bandung. Kebetulan karena ada persilangan dengan kereta jarak jauh lainnya, kereta yang saya tumpangi berhenti di Nagreg. Dalam batin, beruntung, tidak harus ke Bandung dulu. Saya tinggal naik angkot saja dari Nagreg, turun di Alun-alun Cicalengka, disambung dengan ojek ke Cikancung. Namun, meski malam, kesan betapa kecilnya stasiun itu masih terus terbawa dalam pikiran. Nanti ihwal kekecilan stasiun tersebut bersambung dengan uraian tentang kategori stasiun-stasiun yang ada di sepanjang lajur Padalarang-Nagreg.

Ah ya, dalam seri tulisan ini memang saya akan melakukan penelusuran tentang sejarah pembangunan, peresmian, dan sedikit banyak perkembangan stasiun-stasiun kereta api yang membentang dari Padalarang hingga Nagreg. Stasiun-stasiun yang saya maksudkan semuanya adalah Stasiun Padalarang, Gadobangkong, Cimahi, Cimindi, Ciroyom, Bandung, Cikudapateuh, Kiaracondong, Gedebage, Cimekar, Rancaekek, Haurpugur, dan Cicalengka, dan Nagreg. Selain itu, ada beberapa tempat yang sempat dijadikan stasiun sementara, seperti Rancakendal dan Andir. Stasiun yang ada pada lajur simpangan ke Ciwidey dan simpangan ke Sumedang tidak akan saya bahas secara khusus, melainkan dikaitkan dengan lajur utamanya.

Untuk tulisan pertama ini, saya akan berusaha menelusuri gagasan awal pembangunan lajur  Cianjur-Bandung, Bandung-Cicalengka, dan Cicalengka-Garut, motif-motif yang dijadikan landasan pembuatan lajur tersebut, serta mulai mewujudnya rencana tersebut berupa pembangunan dan peresmian lajur, stasiun-stasiun yang didirikan, serta layanan kereta api yang ada di Bandung Raya, paling tidak hingga tahun 1900.

Peta lajur kereta di Pulau Jawa tahun 1888 dan 1899. Pada 1888, lajur baratnya baru ada hingga Cicalengka, sementara pada 1899 sudah tersambung hingga ke Jawa Timur. (Sumber: S. A. Reitsma dan F. H. de Hoog (1925: 48))
Peta lajur kereta di Pulau Jawa tahun 1888 dan 1899. Pada 1888, lajur baratnya baru ada hingga Cicalengka, sementara pada 1899 sudah tersambung hingga ke Jawa Timur. (Sumber: S. A. Reitsma dan F. H. de Hoog (1925: 48))

Ekonomi dan Pertahanan Militer

Ada dua jenis pustaka sejarah kereta api yang saya gunakan sebagai titik pijak untuk menulis seri tulisan sejarah kereta api di Bandung Raya. Yang pertama, pustaka yang berkaitan dengan sejarah perkembangan kereta api secara umum di Hindia Belanda atau Indonesia, seperti Gedenkboek der Staatsspoor en Tramwegen in Nederlandsch Indie, 1875-1925 (1925) karya S. A. Reitsma dan F.H. de Hoog yang diterjemahkan oleh R. M. W. Soemarta menjadi Boekoe Peringatan dari Staatsspoor en Tramwegen di Hindia Belanda, 1875-1925. Selain itu, ada dua jilid buku Sejarah Perkeretaapian Indonesia (1997) susunan Tim Telaga Bakti Nusantara, Sejarah Kereta Api Indonesia (2014) oleh Yati Nurhayati, dan Sepoer Oeap di Djawa Tempo Doeloe (2017) karya Olivier Johannes Raap.

Satu kategori lagi adalah pustaka yang berkaitan dengan sejarah kerata api di Priangan, termasuk di dalamnya Bandung Raya. Dalam kategori ini di antaranya buku Kereta Api di Priangan Tempo Doeloe (2014) oleh Sudarsono Katam dan Sejarah Kereta Api di Priangan (2017) oleh Agus Mulyana. Sementara yang berkaitan langsung dengan Bandung, saya baru menemukan seri tulisan Seabad Kereta Api Mampir di Bandung (1984) karya Haryoto Kunto dan Jalur Kereta Api Kota Bandung dan Dampaknya Tahun 1924-1930 (2011), skripsi karya Budi Santoso.

Dalam penelusuran lebih lanjut, saya dapat lebih banyak lagi menemukan bahan pustaka yang bertalian dengan sejarah kereta api di Bandung Raya dalam format digital. Untuk memperkaya bahasan, saya juga banyak menggunakan sumber-sumber sekunder, terutama yang berkaitan dengan sejarah Bandung dan sekitarnya. Di antaranya buku-buku karya Haryoto Kunto (Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, 1984, dan Semerbak Bunga di Bandung Raya, 1986), disertasi karya Sobana A. Hardjasaputra, Perubahan Sosial Kota Bandung (1810-1906) (2002) dan buku susunan Nina H. Lubis, Sejarah Kota Cimahi (2015).

Dari tinjauan atas pelbagai pustaka, saya jadi tahu bahwa gagasan membuat lajur kereta api ke Bandung Raya sudah ada sejak paruh kedua abad ke-19. Hal ini antara lain terbukti dari pengajuan konsesi untuk membuat lajur kereta api dari Batavia ke Cicalengka (Bandung) oleh Residen Priangan Herman Constantijn van der Wijck (1855-1858) pada 13 September 1857, dengan maksud untuk transportasi hasil-hasil produksi di seluruh keresidenan tersebut yang wajib diserahkan kepada pemerintah (TNI, 24ste Jaargang, Afl. 1-6, Eerste Deel, 1862, dan Het Rapport van den Heer Stieltjes, over verbeterde Vervoermiddelen op Java, 1864). Dalam laporannya, Van der Wijck menyatakan bahwa diperkirakan pendapatan yang dapat diraih dari adanya lajur kereta api Batavia-Cicalengka tersebut sebesar 626.000 gulden per tahun. Bila stasiun-stasiun didirikan di Bandung, semua produk ekspor dari Priangan dapat diangkut ke stasiun-stasiun tersebut dan akan membawa keuntungan bagi pemerintah dan masyarakat.

Beberapa bulan kemudian, directeur der openbare werken Uhlenbeck dalam laporannya yang bertitimangsa 30 Januari 1858 menyebut kemungkinan pembuatan lajur kereta dari Bogor ke Bandung. Menurutnya, lajur Bogor tidak dapat menjadi lajur utama. Sementara di Bandung yang dilingkungi gunung-gunung dan perbukitan, lajur kereta api dapat dibuat di sepanjang tepi kanan Sungai Citarum di utara Plered ke arah barat Gunung Tangkuban Parahu.

Empat tahun selanjutnya, ada laporan dari Thomas Joannes Stieltjes, yang merupakan adviseur bij het Ministerie van Kolonien. Dalam laporannya yang bertajuk Verslag der Commissie voor de vervoermiddelen op Java, dengan titimangsa 6 November 1862, Stieltjes mengajukan usulan untuk membangun lajur kereta api Pasuruan-Malang-Semarang-Salatiga-Vorstenlanden-Batavia-Bandung dengan lajur simpangan ke Bogor dan Progo-Solo (Het Rapport van den Heer Stieltjes, over verbeterde Vervoermiddelen op Java, 1864).

J. P. Dudok van Heel, dkk., mengajukan konsesi pembuatan lajur kereta api kepada pemerintah. Dalam surat yang bertitimangsa Amsterdam, 26 Mei 1864, itu Van Heel, dkk., mengajukan kemungkinan pembuatan lajur kereta Cilacap-Banjar-Cicalengka-Bandung, yang akan bersambung dengan lajur Batavia-Bogor (Open brief van de Heeren J. P. Dudok van Heel c.s., over spoorweg-aanleg op Java, 1864: 23-37).

Sebegitu jauh, dari pelbagai pustaka di atas pula, saya mendapati dua motif utama yang menjadi dasar pembangunan lajur kereta api di Bandung Raya. Keduanya adalah motif ekonomi dan motif pertahanan. Motif ekonomi berhubungan dengan hasil bumi Bandung sekitarnya, terutama pertama-tama adalah tanaman yang wajib diserahkan pemerintah kolonial, seperti kopi, dan selanjutnya hasil-hasil perkebunan yang diusahakan para pengusaha swasta di sekitar Bandung pasca dihapuskannya sistem tanam paksa pada 1870, lahirnya Undang-undang Agraria pada 1870, dan Reorganisasi Priangan pada 1871. Namun, dalam perkembangan selanjutnya dengan adanya lajur kereta api di Bandung Raya juga menyebabkan perdagangan, pembangunan, dan pariwisata meningkat.

Sebagai gambaran, untuk tahun 1870, ketika awal sistem tanam paksa dihapuskan di Priangan, di Bandung hanya ada dua orang swasta yang mengusahakan perkebunan, yaitu Eerven G.P. Servatius (sejak 1 Januari 1864) di Distrik Ujungberung Kulon, persilnya di Ciumbuleuit dan A. Holle (sejak 15 Februari 1869) di Distrik Banjaran, dengan persilnya di Banjaran (Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indie 1870). Setelah tahun 1870, di Bandung ada 54 persil perkebunan yang meliputi distrik Ujungberung Wetan, Banjaran, Cisondari, Cilokotot, Cipeujeuh, Cicalengka, Cikembulan, Balubur Limbangan, Timbanganten, dan Majalaya (Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indie, eerste deel, 1885)

Motif pertahanan militer sebenarnya sudah lama diungkap, meski bukan khusus Bandung, melainkan melingkupi seantero Pulau Jawa. Ini misalnya terlihat dari laporan Mayor Jenderal Van Der Wijck pada 15 Agustus 1840, laporan Hertog van Saxen-Weimar pada 31 Oktober 1851, dan laporan gubernur jenderal Hindia Belanda pada 24 November 1851 (Het Rapport van den Heer Stieltjes, over verbeterde Vervoermiddelen op Java, 1864). Khusus untuk Bandung dan sekitarnya, urusan penguatan unsur militer baru tampak pada akhir abad ke-19. Ini antara lain terlihat dari pendirian garnisun di Cimahi sejak 1895 dan peresmiannya pada September 1896, pemindahan Artillerie Constructie Winkel (ACW) dan Pyrotechnische Werkplaatsen dari Surabaya ke Cikudapateuh dan Kiaracondong sepanjang tahun 1907 hingga 1923. Demikian pula pemindahan Batalyon ke-15, gudang perang, gudang amunisi, dan gudang kesehatan militer ke Cikudapateuh pada awal abad ke-20.

Dua pengendara sepeda motor menunggu kereta api melaju di perlintasan tanpa palang di Rancaekek, Kabupaten Bandung, pada Maret 2021 lalu. (Foto: Prima Mulia)
Dua pengendara sepeda motor menunggu kereta api melaju di perlintasan tanpa palang di Rancaekek, Kabupaten Bandung, pada Maret 2021 lalu. (Foto: Prima Mulia)

Pembangunan dan Peresmian Lajur

Pembangunan lajur kereta api di Bandung Raya berlangsung dengan landasan Undang-undang 6 Juni 1878 yang tertuang dalam Staatsblad Nomor 201 dan Undang-undang 24 Desember 1886 yang tertuang dalam Staatsblad Nomor 254. Untuk undang-undang yang pertama mencakup lintasan Bogor-Cicalengka, dengan petak jalan (baanvak) yang meliputi Bogor-Cicurug, Cicurug-Sukabumi, Sukabumi-Cianjur, Cianjur-Bandung, dan Bandung-Cicalengka. Sementara undang-undang yang kedua mengatur pembangunan lintasan Cicalengka-Warung Bandrek dengan lintas cabang ke Garut, dan petak jalannya Cicalengka-Warung Bandrek-Garut (Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997: 164-165).

Berbeda dengan dari daerah lainnya yang melibatkan pihak swasta, pembangunan lajur kereta api di Bandung Raya dan umumnya Priangan dilakukan oleh perusahaan negara, Staatsspoor en Tramwegen (SS). Dalam pelaksanaannya, pembangunan lajur Bogor-Bandung-Cicalengka dibagi ke dalam lima seksi dan panjang keseluruhannya 183.364 meter. Seksi yang yang bertalian dengan Bandung adalah seksi keempat yang meliputi Cisokan-Padalarang sepanjang 35.000 meter dan seksi kelima Cipadalarang-Cicalengka sepanjang 42.400 meter. Pengukuran dan pemetaan seksi keempat selesai pada 1880 dan seksi kelima mulai dilakukan pada akhir 1881. Sementara luas tanah yang digali dan ditimbun pada seksi keempat dan kelima masing-masing 2.100.000 meter kubik dan 1.250.000 meter kubik (Mulyana, 2017: 80-83).

Bahan-bahan bangunannya, terutama besi, didatangkan dari Eropa, dengan jalan mengimpornya dan mengangkutnya melalui laut. Ini terjadi selama tahun 1881 hingga 1882. Barang-barang tersebut disimpan di gudang yang ada di Bogor. Dengan sudah ada bahan-bahannya, maka pemasangan rel di petak jalan Cianjur-Bandung (Cipadalarang) sepanjang 60 kilometer selesai pada 17 Mei 1884 dan secara resmi dapat dibuka untuk umum. Sedangkan pemasangan ke arah Kota Bandung baru selesai pada Februari 1884 dan ke Cicalengka pada Juni 1884. Sementara peresmian petak jalan Bandung-Cicalengka sepanjang 27 kilometer itu dilakukan pada 10 September 1884 (Mulyana, 2017: 87-90).

Selanjutnya untuk melaksanakan Undang-undang 24 Desember 1886, pembangunan lajurnya dimulai pada 1887. Pelaksanaannya dibagi ke dalam dua seksi, yaitu seksi 1 Cicalengka-Leles sepanjang 20.012,85 meter dan seksi 2 Leles-Garut sepanjang 30.668,76 meter. Pada seksi kesatu, 751,82 meter dari Cicalengka jalannya membentang dengan kemiringan 1:50 menembus lembah Cibodas dan mencapai celah Nagreg yang memiliki ketinggian 875 meter. Dengan keadaan demikian, penggalian untuk lajur seksi kesatu terbilang sangat sulit karena banyak batu yang keras, sehingga diperlukan 20.000 kilogram dinamit untuk menghancurkannya. Pemasangan rel dari Cicalengka ke arah Garut selesai pada 25 Mei 1889. Lajurnya sendiri diresmikan secara megah oleh gubernur jenderal Hindia Belanda pada 14 Agustus 1889 (Mulyana, 2017: 97-100).

Bagaimana dengan stasiun-stasiun yang dibangun di sepanjang petak Cianjur-Bandung, Bandung-Cicalengka dan Cicalengka-Warung Bandrek? Mengenai hal ini dapat dibaca dari warta-warta yang dimuat dalam koran berbahasa Belanda sejak tahun 1884 hingga awal abad ke-20, ditambah dengan buku panduan jadwal perjalanan kereta api untuk tahun 1898 dan 1900. Sebelum lebih jauh, secara umum, dari berita-berita koran dan buku tersebut, saya menangkap adanya pengelompokan jenis stasiun ke dalam tiga kategori dari besar ke kecil, yakni station, halte, dan stopplaats. Ternya kategorisasi tersebut memang bertahan hingga tahun 1942, yaitu dengan menyertakan onbemand stopplaats (dijaga petugas) dan bemand stopplaats (tidak dijaga petugas).

Tentang pembukaan layanan kereta api lajur Cianjur-Bandung dan Bandung-Cicalengka, wartanya dimuat antara lain dalam Bataviasch Handelsblad dan Java-bode edisi 10 Mei 1884. Untuk layanan Cianjur-Bandung mulai 17 Mei 1884 akan bermula dari Cianjur pada pukul 06.30 dan 12.45, kemudian akan melalui Halte Cipadalarang (pada pukul 08.31 dan 14.39), Halte Tjimahi (08.45 dan 14.51), Station Bandung (08.59 dan 15.04), Halte Gedeh Bageh (09.24 dan 15.27), Halte Rantja Ekek (09.39 dan 15.40), dan Station Tjitjalengka (09.55 dan 15.55).

Sementara untuk layanan lajur Bandung-Cicalengka bermula dari Cicalengka dari Station Tjitjalengka pada 08.53 dan 14.18, kemudian tiba di Halte Rantja Ekek (09.09 dan 14.36), Halte Gedeh Bageh (09.22 dan 14.51), dan Station Bandong (09.38 dan 15.08).

Dari warta tersebut, kita tentu saja menyimpulkan bahwa mulanya pada masing-masing lajur Cianjur-Bandung dan Bandung-Cicalengka melayani dua kali pemberangkatan kereta api, yaitu pagi dan siang. Untuk di Bandung Raya, jumlah stasiun yang dilewati kereta ada enam stasiun, yaitu Cipadalarang, Cimahi, Bandung, Gedebage, Rancaekek, dan Cicalengka, dengan keterangan yang berstatus stasiun baru ada dua, yaitu Stasiun Bandung dan Stasiun Cicalengka, sementara stasiun-stasiun lainnya baru berstatus halte.

Dalam perkembangan selanjutnya, dalam Bataviaasch Handelsblad edisi 7 September 1893, di antara Stasiun Bandung dan Halte Gedebage ditetapkan peresmian Stopplaats Kiaracondong. Kemudian pada tahun 1899 ada penetapan beberapa stopplaats. Dalam De Preanger-bode (15 Februari 1899), kepala eksploitasi lajur barat (Westerlijnen. De Chef der Exploitatie) S. Schaafsma menyatakan bahwa sejak 20 Februari 1899 akan ada Stopplaats Gedebangkong di antara Halte Padalarang dan Cimahi, Stopplaats Andir di antara Halte Cimahi dan Stasiun Bandung, Stopplaats Cikudapateuh di antara Bandung dan Gedebage, Stopplaats Rancakendal dan Haurpugur di antara Rancaekek dan Cicalengka.

Selanjutnya, masih pada tahun 1899, S. Schaafsma menetapkan Stopplaats Ciendog (atau sekarang lebih dikenal sebagai Stasiun Cimekar) sebagai perhentian sementara antara Halte Gedebage dan Rancaekek mulai Mei 1899 (De Preanger-bode, 26 April dan 1 Mei 1899). Dengan demikian, antara 1893 hingga 1899 bertambah lagi paling tidak tujuh stopplaats atau stasiun kecil untuk pemberhentian sementara kereta api pada lajur yang ada di Bandung Raya.

Yang menarik, hingga tahun 1900, di Bandung Raya ada tiga layanan kereta api lokal yang melayani petak jalan Padalarang-Cimahi, Bandung-Cimahi, dan Bandung-Cicalengka. Untuk Padalarang-Cimahi melalui Padalarang-Gadobangkong-Cimahi, untuk Bandung-Cimahi hanya melalui dua stasiun tersebut bolak-balik, sedangkan untuk Bandung-Cicalengka melalui Bandung-Cikudapateuh-Kiaracondong-Gedebage-Ciendog-Rancaekek-Haurpugur-Cicalengka (De Preanger-bode, 2 Agustus 1900). Untuk luar kota, menurut buku Van Dorp's officieele reisgids voor spoor- en tramwegen op Java (1898), ada layanan Bogor-Bandung yang melalui Bandung-Cimahi-Cipadalarang, layanan Bandung-Maos yang melalui Bandung-Kiaracondong-Gedebage-Rancaekek-Cicalengka-Nagreg, dan layanan Batavia-Bandung melalui Cipadalarang-Cimahi-Bandung.

Sejarah, perkembangan, pelbagai potensi yang ada di sekitar stasiun-stasiun Bandung Raya itulah yang selanjutnya akan saya cicil. Masing-masing stasiun itu akan saya lihat kaitannya dengan motif-motif yang melandasi pembuatan lajur Cianjur-Bandung, Bandung-Cicalengka, dan Cicalengka-Warung Bandrek. Pasti tidak jauh-jauh dari hubungannya dengan perkebunan, pertumbuhan daerah atau kota, perkembangan wisata, dan pertahanan militer. Semoga saja dapat terlaksana.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//