• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (1): Perang Lumpur dan Terjun Bebas seperti PGT

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (1): Perang Lumpur dan Terjun Bebas seperti PGT

Pada saat meloncat itulah genggaman sedikit dibuka agar kulit gabah tertiup ke atas, meniru para penerjun bebas prajurit PGT di Cilauteureun...

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Peta rumah dan lingkungan di sekitar Alun-alun Pameungpeuk, Garut. (Dibuat oleh T. Bachtiar)

7 April 2021


BandungBergerak.id - Sebelum subuh, para penjual hasil bumi dari daerah Bojong, enam kilometer dari Alun-alun Pameungpeuk, Garut, ke arah perbukitan di utara, sudah berdatangan. Mungkin jam tiga atau jam dua dini hari mereka sudah meninggalkan rumah, berjalan kaki di jalan tanah berbatu.

Lokasi pasar waktu itu masih di sebelah timur Rumah Sakit Pameungpeuk, yang dipisahkan oleh aliran sungai, hanya beberapa belas langkah saja dari alun-alun. Rombongan dari Bojong itu membawa beragam sayuran mentah, seperti rebung, kacang-kacangan, pisang, dan buah-buahan.

Menjelang pagi, setelah hasil bumi terjual, mereka melanjutkan perjalanan ke sawah. Selalu ada yang membutuhkan tenaga dan keahlian mereka dalam mengolah sawah. Laki-lakinya mencangkul, ibu-ibunya mengerjakan semua yang lain mulai dari tandur (menanam padi), ngarambet (menyiangi padi dari rumput), sampai dibuat (panen ketika padi sudah menguning).

Pada siang hari, sekitar jam tiga, rombongan Bojong mulai berjalan kembali untuk pulang. Sebagian uang yang didapat tadi subuh di pasar dibelanjakan untuk kebutuhan harian, yang tidak ada di kampungnya, seperti garam, terasi, ikan asin, dan minyak tanah. Mereka berjalan beriringan.

Belum ada listrik. Jam empat subuh masih gulita. Ada jalan beraspal yang mengelilingi alun-alun, namun bukan jalan itu yang biasa dipakai oleh masyarakat yang berjalan dari arah utara untuk menuju pasar, kantor kecamatan, atau rumah sakit. Begitu pun sebaliknya. Umumnya mereka berjalan membelah alun-alun secara diagonal sehingga membentuk jalan setapak yang tidak ditumbuhi rumput.

Pada subuh yang masih gelap, jauh sebelum bedug di masjid agung dipukul, kelompok ibu-ibu dari Bojong sudah sampai di Alun-alun Pameungpeuk. Seperti biasa, mereka berjalan membelah alun-alun, di jalan yang sama, seperti yang sudah ribuan kali mereka lalui. Tapi subuh itu ada sesuatu yang terinjak: orang, dan jumlahnya banyak!  

Ibu-ibu dari Bojong kaget, terus berlarian di atas banyak orang itu, sampai akhirnya melompat jalan aspal. Di pasar yang belum banyak orang berjualan, mereka menceritakan apa yang terjadi.

Baru pada pagi harinya semua keanehan itu terjawab. Di jalan depan kantor Kecamatan Pameungpeuk berjajar truk warna biru tua dengan tulisan besar PGT, Pasukan Gerak Tjepat (sekarang Korps Pasukan Khas/Kopaskhas). Ternyata para prajurit itulah yang tidur di alun-alun dan terinjak tanpa sengaja. Kini mereka sudah berbaris memenuhi setengah luas alun-alun. Kata orang-orang tua yang ikut menonton, tentara itu sudah berjalan dari Bandung.

Anak-anak mengitari alun-alun, melihat tentara yang sedang berkemas. Ada beberapa perahu karet warna hitam yang sedang dipompa. Setelah beres, instrukturnya naik ke perahu karet itu untuk kemudian diusung oleh masing-masing regu menyusuri jalan aspal sejauh 5,5 kilometer menuju ke Teluk Cilauteureun. Selama sebulan mereka akan berlatih di sana.

Perahu karet, dengan seorang instruktur di atasnya, sudah berjajar di atas pundak anggota regu. Panjang sekali. Dengan aba-aba yang memberikan semangat, mereka menyanyikan lagu yang hanya satu kalimat, tapi terus diulang-ulang dengan penuh semangat, “Enak betul, rasanya!”, “Enak betul, rasanya!”, bersahut-sahutan antarregu.

Selama prajurit itu berlatih, anak-anak mengamatinya dari kejauhan. Melihat bagaimana mereka terjun payung dan terjun bebas dari angkasa yang jauh di atas. Sebagian prajurit mendarat tepat di lapangan tak jauh dari Teluk Cilauteureun, namun banyak juga yang melayang-layang ke berbagai arah yang berkilo-kilometer jauhnya dari titik pendaratan. Ada yang mendarat di tengah sawah, di genteng rumah, bahkan ada yang tersangkut di daun kelapa setinggi 20 meter. 

Seperti PGT

Kegiatan latihan tentara itu terekam kuat di ingatan anak-anak. Selama berbulan-bulan, dalam pelajaran menggambar di sekolah, tak ada gambar selain gambar pesawat terbang dan tentara yang sedang terjun payung. Begitu pun kegiatan latihan PGT menjadi permainan anak-anak.

Persis di belakang rumah (Nomor 6 pada peta, rumah Abah Ro’i, tempat kami tinggal), setelah menyeberang sungai, ada persawahan yang tersambung sampai ke Bojongmongkong. Bila sawah sudah dicangkul, di sanalah kami bermain perang-perangan, saling lempar lumpur sawah. Kami juga bermain seperti yang PGT lakukan. Kami merayap di lumpur sawah dengan lemparan lumpur seolah tembakan senjata dengan sasaran yang rendah, mengintai, merunduk, mengguling, dan berjalan di sebatang bambu di atas sungai sebagai pengganti tambang dadung.

Kalau sudah capai, tubuh sudah tak terlihat lagi wujudnya, sulit membedakan teman-teman yang satu dengan yang lain karena sekujur badan sudah terbalut lumpur, permainan berakhir. Kami mengosok-gosokkan air sawah yang sedikit bersih ke wajah agar dapat melihat pematang sawah dengan jelas, lalu berjalan menuju Leuwi Kuning, lubuk di Ci Palebuh, yang jaraknya hanya beberapa puluh meter saja dari tempat bermain.

Sesampainya di dekat leuwi, ternyata kami tak sekadar mandi untuk membersihkan badan. Beda tempat, beda permainan, tapi kami masih demam dengan latihan PGT. Satu orang mengambil dua genggam kulit gabah yang banyak terdapat di sekitar puncak tebing dari leuwi itu.

Lalu kami berloncatan menyilang bergantian dari tebing tegak setinggi tiga meter. Pada saat meloncat itulah genggaman sedikit dibuka agar kulit gabah tertiup ke atas, meniru para penerjun bebas prajurit PGT di Cilauteureun yang saat parasutnya belum terbuka, ada sesuatu yang seperti asap yang mengepul. Pokoknya meniru apa yang dilakukan PGT yang sedang berlatih di kampung kami.

Beberapa teguk air sungai menghilangkan dahaga dan rasa lapar. Lumpur yang menempel di rambut dan badan lama-lama menghilang tanpa upaya menggosok-gosoknya. Tapi sisa lumpur halus tetap menempel kuat di pori-pori kulit. Begitu kulit kaki mengering, betis terlihat hurik, abu keputihan, dan kalau tergores, akan meninggalkan garis warna putih.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//