PROFIL AJI BANDUNG: Bukan Sekadar Kumpulan Wartawan Antiamplop
AJI Bandung dideklarasikan di hutan kota Babakan Siliwangi pada 18 Agustus 2002. Dua kampanye besarnya saat itu: anti amplop dan peningkatan kesejahteraan jurnalis.
Penulis Boy Firmansyah Fadzri18 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Sekelompok jurnalis yang menamakan diri Sindikat Jurnalis Muda Berbakat, seniman, dan aktivis berkumpul di hutan kota Babakan Siliwangi, Bandung, pada 18 Agustus 2002, tepat hari ini 19 tahun lalu. Di ruang terbuka hijau yang waktu itu terancam oleh komersialisasi itulah, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandung dideklarasikan.
“Di sana (hutan kota Babakan Siliwangi), kami merasa bukan hanya menjadi jurnalis semata. Kami adalah bagian dari elemen masyarakat yang saat itu menolak penggusuran hutan kota,” kenang Asep Saefullah, yang ketika itu bertugas membacakan deklarasi, dalam perbincangan dengan BandungBergerak.id via sambungan telepon, Senin (16/8/2021).
Dengan deklarasi yang dijuduli “Bandung untuk Independensi Jurnalis” itu, AJI Bandung menggabungkan diri sebagai bagian dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang didirikan di Sirnagalih, Bogor, delapan tahun sebelumnya. Kelahiran AJI, tepatnya pada 7 Agustus 1994, merupakan salah satu puncak gelombang pemberontakan insan pers terhadap pembredelan yang dilakukan pemerintahan otoriter Orde Baru terhadap tiga media kritis, yakni Detik, Editor, dan Tempo, pada 21 Juni 1994.
Pembentukan AJI, merujuk buku Semangat Sirnagalih: 20 Tahun Aliansi Jurnalis Independen (2014), disokong oleh komunitas wartawan dari berbagai kota. Di antaranya Forum Wartawan Independen (FOWI) Bandung, Surabaya Press Club (SPC), Forum Diskusi Wartawan Yogyakarta (FDWY), dan Serikat Jurnalis Independen (SJI) Jakarta. Dalam deklarasinya, AJI juga menegaskan penolakan terhadap organisasi wartawan bentukan rezim Orde Baru masa itu yang justru mengamini pembredelan.
Wadah Berserikat
Mengutip situs web bandung.aji.or.id, AJI Bandung lahir dari keinginan para jurnalis muda Bandung membuat wadah serikat pekerja. Mereka ingin memiliki wadah untuk belajar, berbagai pengalaman, dan memberi bantuan jika menghadapi masalah. Pada 14 Juni 2002, dibentuklah Sindikat Jurnalis Muda Berbakat yang programnya berupa kampanye anti amplop dan peningkatan kesejahteraan jurnalis. Kedua prinsip ini sesuai dengan semangat AJI.
Sindikat ini melakukan pendekatan ke berbagai kalangan, salah satunya pers mahasiswa, dan melacak jejak keberadaan AJI di Bandung melalui elemen FOWI Bandung. Dari situ diketahui bahwa beberapa jurnalis FOWI Bandung sebenarnya sudah merintis pendirian AJI Kota Bandung.
Salah satu lokasi penting terkait rangkatan peristiwa terbentuknya AJI Bandung adalah Toko Buku Kecil atau Tobucil (Trimatra Centre) yang ketika itu bermarkas di Jalan Ir. H. Djuanda (Dago). Di situlah rapat-rapat sindikat digelar. Di tempat yang sama, disepakati deklarasi AJI Bandung harus dilakukan secepatnya.
Sejumlah pengurus AJI Indonesia juga sudah lama mendorong pembentukan AJI Bandung sebagai bagian dari AJI nasional. Yosep Adi Prasetyo atau Stanley, misalnya, mempertanyakan AJI di Kota Bandung yang belum juga terbentuk, padahal sejarah mencatat bahwa FOWI Bandung merupakan salah satu organisasi wartawan yang turut membidani lahirnya AJI.
Setelah melalui proses panjang, akhirnya AJI Bandung terbentuk pada 18 Agustus 2002 pukul 16.00 WIB dengan Nursyawal sebagai ketua pertamanya. Sejak itulah Sindikat Jurnalis Muda Berbakat melebur menjadi AJI Bandung.
Baca Juga: AJI: Selama Pandemi Covid-19, Kekerasan terhadap Jurnalis Meningkat
Lapor Covid-19 dan 57 Pegawai KPK Mendapat Tasrif Award 2021 AJI
Kampenye Kode Etik
Pada awal pembentukan AJI Bandung, organisasi profesi berwatak serikat pekerja ini getol menyuarakan aksi tolak amplop dan berusaha memperjuangkan kesejahteraan jurnalis dari perusahaan tempat mereka bekerja (bukan dari luar perusahaan).
Fenomena amplop dalam dunia jurnalisme nasional terekam kuat dalam ingatan Rana Akbari Fitriawan. Menurutnya, budaya amplop telah hadir bahkan jauh sebelum dirinya menjadi seorang wartawan. Ironisnya, bukan hanya humas instansi yang jadi pelakunya, namun perilaku kompromi dan oportunis di lingkungan wartawan masa itu turut serta melanggengkan budaya tersebut.
“Kalau dikejar-kejar humas, dibujuk menerima sudah biasa. Paling menegangkan kala diperlihatkan sebuah pistol di hadapan mata saya. Risiko menolak amplop saat itu terbilang tinggi selain ancaman, cemooh dari sesama wartawan juga kerap dirasakan,” tutur Rana, juga salah satu pendiri AJI Bandung yang kini dosen di perguruan tinggi swasta.
Rana bercerita, sebelum AJI Bandung dibentuk, para pendiri sebenarnya telah lebih dulu mempraktikkan prinsip-prinsip ke-AJI-an. Begitu pula dengan rekan-rekan kerjanya di lingkaran sindikat. Senada dengan Rana, Nursyawal mengatakan proses panjang pembentukan AJI Bandung juga dipengaruhi masalah teknis.
“Pada perkembangannya, banyak anggota AJI Indonesia yang hengkang dari Bandung, karena alasan promosi dan hal lainnya. Sementara tahun 2002 muncul banyak media lokal seperti radio dan biro media luar Jakarta, sehingga kita baru punya modal dasar untuk membentuk pengurus karena syaratnya waktu itu minimal beranggotakan dua puluh orang,” tambah Nursyawal, yang kini dosen.
Tantangan Jurnalis Termutakhir
Zaman sudah banyak berubah. Begitu juga dengan tantangan yang dihadapi AJI Bandung. Rana Akbari menyoroti bagaimana digitalisasi media yang terjadi saat ini berpotensi menempatkan jurnalis pada posisi rentan. Terutama dalam hal peningkatan keterampilan atas nama efektivitas dan perubahan zaman.
“Pasca-digitalisasi media, eksploitasi terhadap jurnalis itu bertambah, peningkatan kapasitas mestinya diimbangi dengan peningkatan pendapatan yang sepadan,” kata Rana.
Lebih parah lagi persoalan status jurnalis hari ini. Menurutnya, jurnalis bukan sebuah status profesi, tak ada bedanya dengan buruh lainnya yang tak memiliki jaminan, dalam beberapa kasus nampaknya lebih buruk kondisinya daripada buruh manufaktur. Meskipun telah diatur konstitusi bahwa jurnalis adalah profesi, namun status ini sangat rapuh. Beda dengan status jurnalis lainnya.
“Dokter, mau di rumah sakit swasta, maupun klinik pribadi tetap saja dokter. Sementara jurnalis, bisa dibilang koresponden, kontributor dan lain sebagainya. Bukan tidak mungkin penghargaan dan perlakuannya pun berbeda. Jangankan merdeka dari tindakan represif kekuasaan, statusnya saja belum merdeka,” tambah Rana.
Asep Saefullah menyoroti iklim tidak sehat pada beberapa media hari ini. Sehat baginya berarti media yang dalam segi bisnis baik atau berkelanjutan, sehingga dapat membiayai operasional media dan memenuhi hak-hak perkerjanya. Dalam hal ini, perusahaan medialah yang harus menjamin kesejahteraan jurnalis. Kesejahteraan berbanding lurus dengan konten-konten bermutu dan bisa mengawal demokrasi.
“Jangan sampai utopis, memberitakan kesejahteraan buruh tapi kita (jurnalis) tidak disejahterakan perusahaan,” timbal Asep.
Meski begitu harapan Rana belum surut. Dirinya yakin betul bahwa akan selalu ada jurnalis-jurnalis yang mempertahankan idealismenya, membuka tabir-tabir gelap. Menurutnya perjuangan pers bukan hanya milik suatu kelompok saja melainkan tanggung jawab setiap individu di dalamnya, tidak ada yang bisa memperjuangkan selain dirinya sendiri.
“Untuk itu, teruslah menggalang kekuatan di mana pun tempatnya, baik bersama maupun tidak bersama AJI, terutama untuk mengawal demokrasi dan menunjung tinggi jurnalisme yang lebih baik lagi. Selaras dengan prinsip-prinsip demokrasi,” tutup Rana.
AJI Bandung kini dipimpin Tri Joko Her Riadi dan Iqbal Lazuardi, hasil Konferensi AJI Kota Bandung 2021. Saat ini, AJI Bandung menjalankan program perekrutan yang diikuti lebih 40 jurnalis dari berbagai kota dan kabupaten se-Jawa Barat.
Tak hanya jurnalis, jurnalis warga dan pers mahasiswa juga masuk dalam perekrutan yang digelar secara daring sepanjang Juli hingga September 2021 itu. Pelaksanaan daring terpaksa dilakukan mengingat pandemi Covid-19 masih belum terkendali. Bahkan pandemi Covid-19 yang masuk tahun kedua ini menjadi tantangan tersendiri bagi kerja-kerja jurnalis.
Selain itu, AJI Bandung rutin menggelar diskusi dan pelatihan untuk jurnalis, advokasi untuk jurnalis yang terlibat sengketa kerja maupun mendapat represi saat di menjalankan tugas jurnalistik di lapangan, menggelar survei tahunan terkait kondisi kesejahteraan jurnalis, survei THR karena tidak sedikit perusahaan media yang tidak memberikan THR kepada jurnalisnya, survei jurnalis terdampak Covid-19, dan lain-lain
Turut Membidani AJI Nasional
Telah disinggung bahwa para senior AJI Bandung yang aktif di FOWI Bandung turut membidani lahirnya Aliansi Jurnalis Independen, sebuah organisasi pers perlawanan terhadap pemberangusan kebebasan pers oleh Orde Baru. Pemberedelah Detik, Editor dan Tempo memicu gerakan pembentukan AJI.
AJI juga sebagai organisasi baru yang menolak pembentukan organisasi pers tunggal bentukan Orde Baru melalui Departemen Penerangan yang dipimpin Menteri Penerangan, Harmoko. Organisasi tunggal tersebut PWI. Masa itu PWI mengamini pembungkaman yang dilakukan pemerintah dan membiarkan pembredelan. (Semangat Sirnagalih: 20 Tahun Aliansi Jurnalis Independen, Koordinator Tim: Abdul Manan).
“Tidak ada perlawanan dari organisasi pers yang sebelumnya, karena tidak ada perlawan akhirnya melahirkan solidaritas dari kalangan wartawan,” ujar Asep Saefullah.
Deklarasi Sirnagalih menuntut dipenuhinya hak publik atas informasi, menentang pengekangan pers, menolak wadah tunggal untuk jurnalis, serta mengumumkan berdirinya AJI. Pertemuan berlangsung tepatnya pada 7 Agustus 1994, di Sirnagalih, Bogor. Ahmat Taufik (FOWI Bandung) menjadi Ketua Presidium AJI dan Santoso sebagai Sekjen AJI. Sejak saat itu tanggal 7 Agustus diperingati sebagai hari lahir AJI.
Sepengetahuan Asep, hanya delapan puluhan nama yang berkesempatan menandatangi deklarasi tersebut. Sisanya, hanya segelintir yang berada di lokasi deklarasi itu. Sementara jaringan solidaritas lainnya bertugas dari wilayahnya masing-masing.
Sejak awal roda organisasi memang dijalankan dari bawah tanah. Motornya tak juga terlalu banyak, sekitar dua puluhan orang yang terdiri dari jurnalis dan aktivis. Sistem kerja organisasi semacam ini dirasa sangat efektif terutama bagi menjalankan misi organisasi, apalagi saat itu jumlah anggota AJI tak lebih dari 200 orang.
Semasa Orde Baru, AJI masuk dalam daftar organsiasi terlarang, karena dianggap sebagai organisasi yang lahir dari semangat perlawanan. Selain itu, AJI adalah organisasi yang bertanggungjawab atas terbitan majalah Independen yang seiring perkembangannya berganti menjadi Suara Independen. Selain dianggap kritis, majalah Independen juga dicap ilegal oleh pemerintah RI karena tak memiliki SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).
Ahmad Taufik bahkan harus dipenjara karena keterlibatannya di AJI. AT, demikian jurnalis Tempo tersebut, ditangkap 16-17 Maret 1994, bersamaan dengan aktivis AJI lainnya, Eko Maryadi dan Danang Kukuh Wardoyo. Masing-masing ditangkap di lokasi terpisah setelah acara halal bihalal di Hotel Wisata Internasional, Jakarta Pusat.
Represi pada aktivis AJI lainnya menimpa pendiri AJI lainnya, Ging Ginanjar. Ia ditangkap 10 Maret 1998 karena menggelar Kongres Rakyat Indonesia (KRI). Kongres ini ingin mengajukan nama presiden versi rakyat, di saat Suharto waktu itu terpilih kembali sebagai Presiden RI. Pada tahun yang sama, Suharto mundur dan digantikan BJ Habibie.