• Komunitas
  • PROFIL PBHI JAWA BARAT: Dari Penggusuran Tamansari sampai Korban Salah Tangkap Polisi

PROFIL PBHI JAWA BARAT: Dari Penggusuran Tamansari sampai Korban Salah Tangkap Polisi

PBHI Jawa Barat lahir di tengah ketegangan sosial-politik di awal reformasi. Selain urusan legal-formal, organisasi ini juga aktif memberdayakan warga terkait HAM.

Deti Sopandi, salah seorang pembela HAM (human rights defender) PBHI Jawa Barat berorasi ketika mendampingi warga RW 11 Tamansari korban proyek rumah deret beraudiensi di kantor Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jawa Barat, Bandung, Rabu (9/6/2021). (Foto: Bani Hakiki/BandungBergerak.id)

Penulis Boy Firmansyah Fadzri20 Agustus 2021


BandungBergerak.id - Awan hitam bergelayut di langit Bumu Pertiwi. Kegagalan pemerintah menangani krisis moneter yang melanda Indonesia di akhir dekade 1990-an, menyulut gelombang demonstrasi menuntut Presiden Suharto mundur dari jabatannya.

Situasi mencekam karena muncul juga kerusuhan, penjarahan, dan diskriminasi kepada etnis Tionghoa. Tidak sedikit orang kehilangan nyawa atau hilang tanpa rimba.

Puncaknya, pada 21 Mei 1998, Suharto, yang telah berkuasa secara otoriter selama 32 tahun, meletakkan jabatan presiden Republik Indonesia. Wakil presiden BJ Habibie menggantikannya. Inilah momen yang mengantarkan rakyat Indonesia memasuki gerbang reformasi.

Suasana yang penuh ketegangan seperti itulah yang diingat Suryadi Radjab  menjadi latar belakang pendirian Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Wilayah Jawa Barat di Bandung pada 1999 lalu. Suryadi bersama delapan orang lain ketika itu. Sebagian besar mereka bergiat di bidang hukum.

Di sebuah rumah milik seorang kawan bernama Bambang Hari di Jalan Gumuruh Kota Bandung, PBHI Jawa Barat dideklarasikan. Tepat tanggal 14 Februari 1999.

“Saya ingat betul waktu itu hari Valentine. Jadi selanjutnya kami rutin merayakan Valentine bersama rekan-rekan anggota sebagai perayaan hari jadi PBHI Jawa Barat,” ujar Suryadi Radjab saat dihubungi BandungBergerak.id pada Minggu (25/7/21).

Ketika itu belum banyak lembaga bantuan hukum dan pembela HAM di Bandung. Akibat masa represi Orde Baru yang berlangsung selama puluhan tahun, bahkan muncul stigma negatif terkait HAM di tengah masyarakat. Isu HAM selalu dikait-kaitkan dengan produk budaya Barat.

Selama 22 tahun berkiprah, PBHI Jawa Barat berpindah-pindah alamat sekretariat. Terakhir, dan ini yang paling lama, mereka bermarkas di kawasan Sukaluyu, Kota Bandung, selama tiga tahun.

PBHI Jawa Barat merupakan ‘cabang’ PBHI tingkat nasional yang dibentuk di Jakarta pada November 1996 dalam sebuah kongres yang diikuti oleh 54 orang anggota pendiri. Organisasi ini mengambil bentuk perkumpulan yang berbasis anggota individual dan bersifat nonprofit dengan tujuan memajukan dan membela HAM.

Merujuk situs web resminya, saat ini anggota PBHI tercatat sekitar 2.000 orang. Selain Jakarta dan Jawa Barat, para anggota PBHI tersebar di delapan wilayah lain, yakni Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Yogyakarta, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan.

Baca Juga: PROFIL AJI BANDUNG: Bukan Sekadar Kumpulan Wartawan Anti Amplop
Sewindu Aksi Kamisan Bandung Merawat Ingatan

Kerja PBHI Jawa Barat

Di Bandung, salah satu kasus yang saat ini sedang dalam pendampingan PBHI Jawa Barat adalah penggusuran warga RW 11 Tamansari demi proyek rumah deret yang digulirkan Pemkot Bandung. Sudah berjalan lebih dari empat tahun, kasus ini belum juga tuntas meski rumah-rumah warga sudah rata dengan tanah dan proyek pembangunan sudah dimulai.

Eva Eryani adalah salah satu warga terdampak proyek rumah deret Tamansari. Sebagai awam yang melawan perampasan ruang hidup, dia merasa perlu untuk belajar hukum, setidaknya memahami prinsip-prinsip dasarnya. Beruntungnya, PBHI Jawa Barat menjadi salah satu jaringan solidaritas yang mendukung perjuangannya.

“Aku kan sebenarnya gak paham-paham banget (tentang hukum) ya. Urang wae teu nyaho banding itu apa, kasasi itu apa. Beruntung ada kawan-kawan jaringan sosial, kawan PBHI juga termasuk di dalamnya,” tutur Eva.

Selain bergerak di ranah legal-formal atau pendampingan hukum, PBHI juga mengupayakan pemberdayaan masyarakat melalui diskusi dan edukasi seputar hak-hak masyarakat, Jika dibutuhkan, PBHI juga mengadakan audiensi sebagai upaya non-litigasi dalam menyelesaikan persoalan, selama masih memungkinkan untuk ditempuh.

Deti Sopandi, salah seorang pembela HAM (human rights defender) PBHI Jawa Barat, menyatakan, dalam kasus pelanggaran struktur, rakyat kerap dikalahkan. Persoalan yang pelik harus dihadapi dengan persiapan secara khusus dan intensif. Baik dari sisi mental maupun kelengkapan dokumen, termasuk bukti-bukti.

“PBHI tidak hanya menekankan kerja-kerja legal-formal. Kita juga mengupayakan pemberdayaan warga melalui pengorganisasian dan advokasi atas hak-hak warga,” ujar Deti.

Salah satu pengurus PBHI Jawa Barat, Rizky Ramdani, akrab disapa Astro, menyebut wajah hukum Indonesia tak banyak berubah. Diskriminasi masih terus terjadi. Hukum masih cenderung tebang pilih: tajam ke bawah, tumpul ke atas.

“Contoh narkotika. Kalau kasusnya menimpa orang berada, kasus selesai dengan rehabilitasi. Tapi kalau masyarakat miskin, berakhir di jeruji besi,” katanya.

Dalam banyak kasus yang melibatkan kekuasaan, menurut Astro, perilaku represif yang dilakukan aparat penegak hukum dibuat seolah hal wajar dengan dalih menjaga stabilitas keamanan. Akibatnya, kehidupan berdemokrasi terancam dan upaya perlindungan HAM digugurkan.

Inilah yang dialami Jojo, seorang korban salah tangkap atas tuduhan kepemilikan narkotika di Bekasi, yang didampingi oleh PBHI Jawa Barat. Ia ditangkap bersama empat orang lain. Selama menjalani proses hukum, Jojo mengaku diperlakukan tidak manusiawi.

“Di dalem, abis dicabokin (ditampar berulang kali). Kami juga pernah tidur di samping saluran pembuangan air, beralaskan tikar. Suatu malam hujan turun, kami semua tidur sambil berdiri,” ucapnya.

Kasus Jojo akhirnya diambil alih oleh sebuah lembaga rehabilitasi swasta. Meski mendapat perlakuan yang lebih baik, lagi-lagi ia menghadapi praktik pemerasan. Agar bisa keluar, Joko harus menyetor uang 50 juta rupiah. Jumlah yang sudah tentu tak sanggup ia tanggung.

“Untungnya kawan-kawan PBHI di Bandung tanggap, dan melakukan demo di depan kantor untuk mengeluarkan saya,” ujar Jojo.

PBHI Jawa Barat lahir dan tumbuh dengan keyakinan bahwa diskriminasi yang terjadi dalam sistem hukum yang korup tidak bisa dibiarkan. Masyarakat diajak untuk bersama-sama mengupayakannya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//