• Kolom
  • SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (3): Stasiun Gadobangkong

SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (3): Stasiun Gadobangkong

Stasiun Gadobangkong mulai berfungsi sejak 20 Februari 1899. Pada 1921, stasiun yang ada di antara dua kota militer Cimahi dan Padalarang ini, diperluas.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Suasana Stasiun Gadobangkong, Kabupaten Bandung Barat, pada Senin (16/8/2021). Stasiun yang dibangun di akhir abad ke-19 itu turut menyumbang pertumbuhan kawasan tersebut sebagai penyangga dua kota militer di era Hindia Belanda, yakni Cimahi dan Padalarang. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

22 Agustus 2021


BandungBergerak.id - Saya tidak pernah sekali pun menginjakkan kaki di Stasiun Gadobangkong. Namun, saya sangat terkesan bila kata Gadobangkong disebutkan. Barangkali karena berbunyi puitis, gabungan dua kata Sunda berakhiran o dan membentuk sebuah pengertian. Sayang, sepanjang melakukan penelusuran pada kamus-kamus Sunda saya tidak menemukan artinya. Bahkan kata tersebut tidak tercantum.

Untung saya bertemu Boekoe Batjaan 100 Paribasa djeung Babasan (1910: 66) karya Mas Natawisastra. Di situ ada kalimat demikian: “... Soera resep ngareka imah djeung beberesih di pakaranganana, saperti imahna beda djeung imah tatanggana, batur disontogkeun, manehna dihoerang-hoerang, sarta make sirit teuweul (gado bangkong)”. Dalam kutipan tersebut, kata gado bangkong sama dengan sirit teuweul dan memiliki asosiasi dengan arsitektur. Oleh karena itu, saya mencari arti sirit teuweul dalam kamus-kamus Sunda.

Dalam Sundanese-English Dictionary (2003: 755) susunan R. R. Hardjadibrata, sirit teuweul diberi arti “a long, small annex which does not run parallel with the main building, but makes a rectangle with it (eg. the position of the residence to the kitchen)” (ruangan tambahan yang panjang dan kecil tetapi tidak paralel dengan bangunan utama, melainkan membentuk empat persegi panjang, misalnya posisi kediaman dengan dapur). Sementara itu, dalam Kamus Basa Sunda (2006: 644), sirit teuweul diartikan oleh R. A. Danadibrata sebagai “bagian imah nu nyégog ti juru suhunan ka imah jeung pawon nu rada anggang” (bagian rumah yang menonjol dari sudut atap ke rumah dan dapur serta berjarak).

Dengan demikian, gado bangkong memang merujuk kepada ruang tambahan bagi bangunan utama rumah dan berbentuk persegi panjang. Kata tersebut barangkali kemudian digunakan sebagai toponimi suatu tempat yang berbentuk persegi panjang dan terpisah dengan tempat induknya: Gadobangkong di antara Padalarang dan Cimahi. Dan pada akhir abad ke-19, di Gadobangkong yang berbentuk persegi panjang itu didirikan stasiun kecil setaraf stopplaats untuk melayani penduduk yang hendak menggunakan kereta api.

Ditinjau dari wilayah administrasinya, Gadobangkong semula merupakan kecamatan di lingkungan Kewedanaan Cilokotot, Distrik Cilokotot, Kabupaten Bandung, Afdeling Bandung, Keresidenan Priangan (Regerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie 1883, Bijlage FF, eerste deel, 1882: 214). Sekian lama kemudian, Gadobangkong menciut menjadi sebuah desa di lingkungan Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat. Desa ini berbatasan dengan Desa Tanimulya di sebelah utara, Kelurahan Padasuka (Kota Cimahi) di timur, Desa Laksanamekar di selatan, dan Desa Cimareme di sebelah barat. Luas wilayah Desa Gadobangkong 135.550 hektare (gadobangkong-ngamprah.sideka.id).

Stasiun Gadobangkong sekarang setaraf dengan halte. Stasiun yang terletak di dekat Jalan Raya Cimahi-Padalarang ini berada di ketinggian +695 meter (sebelumnya +713 meter) di atas permukaan laut(dpl) dan termasuk ke dalam Daerah Operasi (Daop) II Bandung. Stasiun ini merupakan stasiun terdekat dengan ibu kota Kabupaten Bandung Barat sekaligus stasiun paling timur yang ada di kabupaten tersebut (en.wikipedia.org dan id.wikipedia.org).

Pembukaan Stopplaats dan Perkembangannya

Sebagai tempat berhenti kereta api, Stasiun Gadobangkong mulai berfungsi sejak 20 Februari 1899. Ini sesuai dengan keputusan kepala eksploitasi (chef der exploitatie) jalur barat (westerlijnen) S. Schaafma untuk membuka beberapa stopplaats. Dalam keputusan yang disiarkan dalam De Preanger-bode (13 Februari 1899) itu disebutkan bahwa Gedeh Bangkong (Schaafma salah menuliskan nama tempatnya) berada di kilometer 143,900 antara Padalarang dan Cimahi. Stopplaats Gadobangkong digunakan untuk tempat berhenti bagi kereta nomor 5, 101, 18, 104, 9, 22, 11, 105, 106, dan 26.

Mulanya, Stasiun Gadobangkong menjadi salah satu tempat berhenti bagi kereta lokal yang melayani jalur Padalarang-Cimahi. Hal ini terlihat misalnya dari keputusan Chef der Exploitatie S. Schaafma yang disiarkan dalam De Preanger-bode (3 Agustus 1900). Dalam koran hari itu disebutkan demi menyambut acara balap kuda di Bandung antara 4-6 Agustus 1900 maka diadakan kereta api khusus. Namun, yang menarik, tentu saja, karena disertakannya tiga layanan kereta api lokal pada jalur Padalarang-Cimahi, Bandung-Cicalengka, dan Bandung-Cimahi. Khusus jalur Padalarang-Cimahi, stasiun-stasiun tujuan atau perhentiannya adalah Padalarang, Gadobangkong, dan Cimahi.

Dua tahun kemudian, Stasiun Gadobangkong disebut-sebut sebagai salah satu stasiun yang dilewati gubernur jenderal Hindia Belanda yang mengadakan perjalanan antara 9-22 Mei 1902. Sang gubernur jenderal bertolak dari Bogor, ke Cirebon, lalu ke Sumedang, Rancaekek, Bandung, Rajamandala, Tagogapu, Padalarang, Batujajar, Cimahi, kembali ke Bandung dan mengunjungi Lembang serta Tangkuban Parahu. Dia kemudian ke Nagreg, Garut, Papandayan, Cisurupan, lalu pulang ke Bogor. Dalam perjalanan tersebut, Gadobangkong dilewati gubernur jenderal saat menggunakan kereta api khusus dari Bandung ke Cipeuyeum (14 Mei 1902), dari Cipatat ke Bandung, dari Bandung ke Cipatat, dan dari Tagogapu ke Bandung (Bataviaasch Nieuwsblad, 5 Mei 1902).

Pada tahun yang sama, usulan dari G. N. Verloop, N.V. Algemeene Ontginning en Handelmaatschappij Voorwaarts di Semarang, untuk mengadakan aliran listrik di Bandung dan Cimahi dengan menggunakan aliran air Curug Lalay, yang ada di antara Desa Ciledug dan Gadobangkong, ditolak oleh pemerintah Keresidenan Priangan karena sebelumnya sudah ada yang mengusulkannya (Bataviaasch nieuwsblad, 20-05-1902; De Preanger-bode, 22-05-1902).

Selanjutnya, saya mendapati beberapa fakta yang menunjukkan fungsi Stasiun Gadobangkong, yakni untuk menahan kereta api yang mengalami kendala atau keterlambatan. Misalnya, pada 26 Mei 1914, kereta api dari Bogor ke Bandung ditahan selama setengah jam di Gadobangkong karena pecahnya buffer pada gerbong muatan. Kereta api lainnya, yakni ekspres Yogyakarta-Batavia pun ikut tertahan (De Preanger-bode, 27 Mei 1914). Demikian pula kereta api yang mengalami kendala antara Gadobangkong-Cimahi sehingga menyebabkan kereta api ekspres dari Batavia terlambat 44 menit mencapai Bandung (De Preanger-bode, 13 Juli 1923).

Kendala bukan hanya melibatkan masalah kereta api belaka, tetapi bisa timbul karena keberadaan pasar yang menjadi masalah bagi Jawatan Kereta Api Hindia Belanda. Padahal jumlah penduduk suatu tempat, termasuk adanya pasar, merupakan alasan didirikannya stasiun, halte, atau stopplaats. Namun, tetap saja pihak Jawatan Kereta Api mempermasalahkan keberadaan pasar Gadobangkong di dekat rel yang terkesan sangat kumuh. Keluhan pihak Jawatan Kereta Api disampaikan kepada residen Priangan. Pada gilirannya, asisten residen Bandung melakukan pemeriksaan. Setelah rapat pada Sabtu, 16 Maret 1918, izin operasi pasar yang dikeluhkan itu dicabut oleh pihak Keresidenan Priangan (De Preanger-bode, 14 Februari 1918 dan 17 Maret 1918).

Pada 1921, Stasiun Gadobangkong diperluas. Menurut laporan dalam De Preanger-bode (18 April 1921), pekerjaannya ditangani oleh seorang kontraktor bangsa Tionghoa. Namun, kata De sectie-opzichter der S.S. te Padalarang A. L. Berger, pekerjaan tersebut mula-mula ditangani secara baik, tetapi selanjutnya terus melambat.

Dua orang berjalan di akses keluar Stasiun Gadobangkong, Kabupaten Bandung Barat, Senin (16/8/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Dua orang berjalan di akses keluar Stasiun Gadobangkong, Kabupaten Bandung Barat, Senin (16/8/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Daerah Penyangga Militer

Gadobangkong, yang ada di antara Padalarang dan Cimahi, menjadi daerah penyangga bagi kedua tempat yang dijadikan pusat militer Hindia Belanda itu. Sebagai penyangga, Gadobangkong dijadikan sebagai tempat berekreasi, patroli, latihan, pelarian, dan akses jalan kalangan militer di Cimahi dan Batujajar.

Akibat seringnya interaksi antara kalangan militer dengan penduduk sipil, tidak jarang terjadi gesekan di Gadobangkong. Insiden-insiden seperti ini bahkan terjadi sebelum stopplaats Gadobangkong diresmikan. Pada Sabtu malam, 29 Oktober 1898, seratus orang serdadu bangsa Jawa dengan bersenjatakan tongkat, pisau, dan keris dari baraknya di Cimahi beramai-ramai mendatangi camat Gadobangkong. Mereka hendak membawa kembali 13 orang kawannya yang desersi. Untungnya, informasi kedatangan rombongan tentara kolonial itu sudah bocor, sehingga camat dan pejabat Gadobangkong lainnya sudah bersiap-siap (De Preanger-bode, 2 November 1898; De Nieuwe Vorstenlanden, 4 November 1898).

Ihwal Gadobangkong sebagai tempat rekreasi dan patroli militer di Cimahi, terlihat dari berita-berita sebagai berikut: orang yang berniat berburu di Gadobangkong pada 17 April 1904 dengan menggunakan pistol, ternyata malah melukai wajah dan tangannya (De Preanger-bode, 18 April 1903), kereta kuda di Gadobangkong dihentikan oleh perampok tetapi setelah penumpangnya menembakkan pistolnya ke udara, perampoknya minggat (De Preanger-bode, 22 April 1903), serta serdadu pribumi bermain dadu di Kampung Cimindi dan Gadobangkong hingga larut malam (De Preanger-bode, 2 Desember 1903). Itu sebabnya di daerah Gadobangkong kerap diadakan patroli (Indisch Militair Tijdschrift, 1914: 604).

Keterangan tentang Gadobangkong sebagai tempat latihan juga menarik. Misalnya, pada akhir bulan Oktober 1913, serdadu di Cimahi akan menyelenggarakan latihan perang berskala besar, yang salah satu tempatnya adalah Gadobangkong (De Preanger-bode, 8 Oktober 1913). Karena daerah Gadobangkong merupakan dataran dengan banyak persawahan, kalangan militer juga menggunakannya sebagai arena melatih kuda sekaligus berburu. Ini misalnya dilakukan oleh Preanger Militaire Hippische Sportvereeniging pada Juli 1930 (De Locomotief, 12 Juli 1930).

Gadobangkong menjadi jalan alternatif untuk menuju kompleks militer di Batujajar. Karena jalan Leuwigajah-Batujajar yang biasa dilalui truk militer ternyata sangat jelek, pihak militer melarang para prajurit melewatinya. Sebagai jalan keluar, rombongan militer itu harus menggunakan jalan Bandung-Cimahi-Gadobangkong-Batujajar (De Preanger-bode, 15 November 1922).

Potret kereta api di Gadobangkong yang disabotase oleh pasukan DI/TII pimpinan S. M. Kartosuwiryo sekitar tahun 1953. (Sumber foto: Album Kenangan Perjuangan Siliwangi, 1991)
Potret kereta api di Gadobangkong yang disabotase oleh pasukan DI/TII pimpinan S. M. Kartosuwiryo sekitar tahun 1953. (Sumber foto: Album Kenangan Perjuangan Siliwangi, 1991)

Pabrik Gula, Lelang, Kecelakaan, dan Sabotase

Sebagai dataran luas, Gadobangkong cocok digunakan untuk tempat perkebunan tebu dan pabrik gula. Mengenai hal ini antara lain terbaca dari berita terbakarnya gudang yang menyimpan bibit gula di Gadobangkong (De Preanger-bode, 12 September 1904). Ada juga informasi tentang A. J. van Hilten, seorang pengusaha dari Blitar, yang mengajukan permohonan kepada residen Priangan untuk mengoperasikan pabrik gula di Desa Leuwigajah Hilir, Distrik Cilokotot, Afdeling Bandoeng. Bahkan van Hilten hendak meluaskan usahanya hingga mencakup 500 bau tanah dengan lokasi antara lain desa-desa di Baros, Cimahi, Cipageran, Citeureup, Cibabat, Pasirkaliki, Cibeureum, Cimindi, Andir, Cijerah, Bojongkoneng, Cigugur, Cibeureum, Citepus, Cicendo, Cipaganti, Leuwigajah, dan Gadobangkong (De Indische Mercuur No. 43., 22 October 1907). Soal ini juga dilaporkan dalam Archief voor de suikerindustrie in Nederlandsch-Indië (1907: 674).

Keberadaan Stasiun Gadobangkong kerap dijadikan patokan dan alamat bagi orang yang hendak menjual atau melelang. Saya dapat menyebutkan beberapa contohnya: Bruining & Co. mengumumkan penjualan ternak, kuda, dan lain-lain milik Oeij Eng Liang pada hari Jumat, 28 Desember 1906 (De Preanger-bode, 21 Desember 1906), Jhr. Van den Brandeler yang bertempat tinggal di Cimareme, karena akan pergi, menjual rumah, tanah, kuda, kambing, berikut peternakan sapinya "Friesche Hoeve" yang terdiri atas 40 ekor pada Sabtu, 9 November 1907 (Bataviaasch Nieuwsblad, 5 November 1907; De Preanger-bode, 14 Desember 1907), dan J.B. Kampschuur yang tinggal di Cimahi tetapi mempunyai bangunan dan kebun di sekitar Stasiun Gadobangkong akan menjual barang-barang miliknya tersebut (De Preanger-bode, 6 September 1913).

Soal kecelakaan di sekitar Stasiun Gadobangkong, ada juga informasinya. Karena kawasan ini merupakan dataran luas, penduduk setempat sering menggembalakan ternaknya secara bebas. Namun, di antaranya ada yang menimbulkan kecelakaan. Misalnya pada 26 Februari 1905, beberapa domba yang merumput di sekitar rel antara Gadobangkong-Padalarang tertabrak kereta api (De Preanger-bode, 27 Februari 1905). Satu mobil yang ditumpangi empat orang Belanda, sopir pribumi, dan seorang pelacur, mengalami kecelakaan di antara Cimahi-Padalarang, dekat viaduk rel kereta di Gadobangkong (Bataviaasch Nieuwsblad, 3 Mei 1913).

Kecelakaan kereta api di Gadobangkong juga hampir terjadi pada 4 April 1925. Untung saja, seorang penduduk, pengawas trek, dan kepala Stasiun Gadobangkong dapat mencegah terjadinya tabrakan kereta ekspres itu. Atas jasa-jasanya menghindarkan mala, ketiganya diganjar hadiah oleh pihak Jawatan Kereta Api Hindia Belanda (Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 18 April 1925).

Namun yang malang adalah seorang penumpang yang salah membeli karcis. Barangkali tujuan sebenarnya adalah Gadobangkong, tetapi karena keliru membeli karcis, dia memutuskan untuk melompat saat kereta melaju cepat sehingga akhirnya harus dirawat di rumah sakit. Soal kecelakaan tersebut digambarkan sebagai berikut: “Salah toempak pantesna mah meuli kartjis keur ka Gadobangkong, ari toempak kana kareta anoe teu eureun di dinja ti dieuna (Bandoeng). Kareta sedeng mengpengan, djleng manehna loentjat, atoeh ka kapaksa koedoe dirawat di roemah sakit”. Demikian yang dilaporkan koran Sipatahoenan edisi 11 November 1940.

Di sekitar Gadobangkong juga sempat terjadi sabotase kereta api. Sabotase itu dilakukan pasukan DI/TII pimpinan S. M. Kartosuwiryo sekitar tahun 1953. Sama halnya seperti yang terjadi di Lebakjero dan Trowek (Album Kenangan Perjuangan Siliwangi, 1991: 309, 311, 313, 314).

Potret Stasiun Gadobangkong, Kabupaten Bandung Barat, diambil dari seberang lintasan kereta api, Selasa (10/8/2021) siang. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Potret Stasiun Gadobangkong, Kabupaten Bandung Barat, diambil dari seberang lintasan kereta api, Selasa (10/8/2021) siang. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

PNI dan Pegawai Kereta Api

Presiden pertama Indonesia Sukarno menyebut-nyebut Gadobangkong dalam pidato pembelaannya yang termasyhur: Indonesia Menggugat (dalam Bung Karno Dihadapan Pengadilan Kolonial, 1964: 338 susunan H. Achmad Notosoetardjo). Antara lain, dia bilang “Kita sering dicoba di-provoseer akan perbuatan­perbuatan jahat dengan bajingan­bajingannya “Sarekat Hejo” atau “Pamitran” sebagai sering terjadi di daerah Cianjur atau di kidulnya. Bandung, dengan rojokan akan penumpahan­darah sebagai di desa Cikeruh daerah Rancaekek atau di desa Panjairan utaranya Bandung, dengan pengrusakan Clubhuis sebagai di Gadobangkong, dengan dipinta meneken atau mengisi lijst­lijst emberontakan sebagai di bengkel S.S. bulan Desember 1929”.

Alhasil, Gadobangkong erat kaitannya dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dibentuk Sukarno. Bahkan, menurut koran-koran Belanda yang meliput jalannya persidangan Sukarno di Bandung pada tahun 1930, Gadobangkong adalah salah satu cabang PNI yang ada di Bandung, selain di Kota Bandung dan Dayeuhkolotandir (De Locomotief dan De Sumatra post, 20 Agustus 1930).

Dalam Bung Karno Dihadapan Pengadilan Kolonial (1964: 208), disebutkan bahwa clubhuis atau PNI cabang Gadobangkong didirikan pada Agustus 1928. Selanjutnya, masih dalam buku yang sama (1964: 238), antara lain ada kesaksian Djodjo, saksi ke-25 yang bekerja sebagai kondektur kereta api dan tinggal di Curug Agung. Di situ disebutkan ia, “mulai 7 Juli 1929 mendjadi lid P.N.I. Menjadi lid P.N.I. karena diminta oleh Mohamad Saman, bekerdja di S.S. werkplaatsen Manggarai. Saksi mendjadi lid di Tjiandjur. Pernah mengundjunungi rapat cursus di Bandung dan di Gadobangkong.”

Adapun maksud perusakan terhadap PNI cabang Gadobangkong seperti yang disebutkan oleh Sukarno dapat diikuti dari laporan harian Bahagia dan Persatoean Indonesia yang terangkum dalam Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers edisi nomor 4 (15 Januri 1929) dan nomor 30 (22 Januari 1930). Dalam Bahagia dinyatakan pada 13 Januari 1929, para anggota PNI cabang Gadobangkong mengadakan rapat tertutup di sebuah rumah kosong. Malam harinya, rumah tersebut dilempari batu. Sementara dalam Persatoean Indonesia dikabarkan bahwa pada 27 Juni 1929, ada dua orang veldpolitie (polisi lapangan) yang memasuki clubhuis PNI di Gadobangkong. Mereka mencopoti bendera PNI dan hiasan kepala banteng. Barang-barangnya kemudian dikembalikan, tapi ternyata tanduk-tanduk bantengnya telah copot.

Meski saya tidak sempat turun di Stasiun Gadobangkong, tetapi sekarang saya dapat menelusuri jejak-jejak sejarahnya dan menghimpunnya menjadi tulisan. Semoga saja suatu saat saya dapat singgah dan melakukan pengamatan dari dekat.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//