• Cerita
  • Geografi Ingatan (1): Dari Selembar Potret Lawas

Geografi Ingatan (1): Dari Selembar Potret Lawas

Potret kesembilan anak itu terus saya lihat lagi lekat-lekat. Mengapa kebanyakan anggota keluarga besar saya tidak mau melanjutkan sekolah ke jenjang lebih atas?

Potret lawas Atep Kurnia (penulis) bersama dengan adik, kakak-kakak dan adik-adik sepupu, serta kakak ipar di Kampung Cikamuning, sekitar tahun 1989 atau 1990. (Dok. Atep Kurnia)

Penulis Atep Kurnia9 April 2021


BandungBergerak.id - Dari selembar potret lawas. Anak-anak laki-laki bertelanjang kaki yang berderet dalam potret adalah adik-adik, kakak dan adik sepupu, serta kakak ipar saya. Anak yang berdiri paling tinggi di sebelah kiri dan mengenakan kaos hitam bergambar lambang tokoh kartun Batman adalah saya.

Di depan, yang berbaju dan celana biru adalah almarhum adik saya yang keempat. Di samping, yang berkopiah, berpakaian serba putih adalah kakak ipar. Selanjutnya, yang berkaos belang adalah adik saya yang ketiga. Di sebelahnya masing-masing dua orang kakak dan adik sepupu, sementara yang paling kanan yang mengenakan kemeja “cele” adalah adik saya yang pertama.

Bisa jadi waktu itu saya baru berumur sembilan atau sepuluh tahun, saat sedang ada di bangku kelas tiga atau empat sekolah dasar, pada tahun 1989 atau 1990. Kecuali adik keempat saya yang meninggal terlebih dahulu, semua anak yang ada dalam gambar telah berumah tangga dan punya anak.

Dari potret tersebut, yang teringat hingga sekarang adalah baju yang saya kenakan, yang diperoleh dari jerih payah mengumpulkan uang sendiri dengan jalan membantu tetangga-tetangga mengambil air di pemandian umum. Dua ember berukuran sedang saya bawa di tangan kanan dan kiri, atau dengan cara ditanggung menggunakan “rancatan”.

Lokasi pemotretannya adalah Kampung Cikamuning, Desa Mandalasari, Kecamatan Cikancung, sekitar 53 kilometer arah timur ibu kota Kabupaten Bandung, Soreang. Tempatnya di halaman rumah bibi-bibi dan kakek-nenek dari pihak ibu. Namun, kampung tersebut bukanlah tempat saya tinggal. Saya dan keluarga sering berkunjung bila ada momen-momen penting, seperti hajatan dan hari raya, dan bila ada yang sakit atau meninggal dunia. Oleh karena itu, berkumpulnya kesembilan anak dalam potret itu bisa jadi karena ada momen penting yang patut dihadiri keluarga besar, termasuk keluarga ayah mertua saya: kakak kandung dari suami bibi saya. Bisa jadi kakak sepupu saya, yang meskipun umurnya lebih muda dari saya, saat itu baru saja disunat.

Namun, yang jelas, Cikamuning adalah tempat lahir saya. Menurut ibu, saat sedang hamil tua anak pertama, ia dibawa pindah dulu ke rumah orang tuanya sebagai persiapan melahirkan. Sementara tempat tinggal ayah saya berjarak sekitar empat kilometer sebelah utara Kampung Cikamuning, yakni Kampung Babakan Sukajadi, Desa Tanjunglaya, yang terletak di pinggir Jalan Raya Cicalengka-Majalaya. Orang Cikamuning menyebut ke daerah Desa Tanjunglaya sebagai “hilir”, sebaliknya orang Tanjunglaya bilang bila merujuk ke Cikamuning sebagai “tonggoh”. Ini disebabkan karena Cikamuning berada di ketinggian, di bawah perbukitan dan pegunungan, sementara Tanjunglaya berada di pedataran, termasuk tepi Cekungan Bandung.

Saat saya dilahirkan pada 1979, usia ibu saya baru menginjak sekitar 17 tahun dan ayah saya 19 tahun. Mereka menikah pada 1977 dalam usia yang sama-sama masih belia. Konon keduanya dijodohkan oleh orang tuanya dan semula mereka tidak tahu akan dijodohkan. Karena saat itu, konon, ibu saya masih bermain-main dengan kawan-kawannya, ayah saya yang belum bekerja juga demikian. Setelah menikah, ibu diboyong oleh nenek ke Tanjunglaya untuk turut membantu mengurus kedua buyut saya yang saat itu masih hidup. Saya sendiri tidak ingat kepada buyut laki-laki, tetapi dengan buyut perempuan, hingga masa sekolah dasar saya termasuk dekat, meskipun dia sudah agak pikun.

Untuk mencukupi keperluan sehari-hari, ayah saya masih mengandalkan hidup dari ibunya yang saat itu berdagang di Bandung. Nenek saya berjualan sayur-mayur, umbi-umbian, dan lain-lain di daerah Kiaracondong. Barang dagangannya dibawa subuh dengan kendaraan umum dari Tanjunglaya. Saat kecil, saya ingat, pernah beberapa kali dibawa ke tempatnya berjualan, bersama bibi saya dari pihak ibu yang usianya hampir sebaya dengan saya. Karena pekerjaannya sebagai pedagang di Bandung, saya dan bibi menyebut nenek dari pihak ayah itu sebagai “Ema Bandung”. Dan ayah serta ibu saya, selama belum mempunyai kerja sendiri, membantu ibu dan mertuanya menyiapkan barang dagangan yang akan dibawa ke Bandung.

Dalam keadaan demikianlah saya lahir di tengah-tengah keluarga besar. Nenek dan kakek saya yang tinggal di Cikamuning dan bekerja sebagai buruh tani di pegunungan mempunyai enam orang anak: lima di antaranya adalah perempuan dan seorang anak laki-laki. Ibu saya adalah anak kedua. Sementara nenek saya di Tanjunglaya, yang saat itu sudah menjanda, mempunyai dua orang anak laki-laki yang berlainan ayah. Ayah saya adalah anak pertama nenek dari suaminya yang berasal dari Ciparay dan meninggal saat anak mereka masih kecil. Nenek saya lalu menikah lagi dan mempunyai anak laki-laki lagi, paman saya, tetapi kemudian bercerai dan terus menjanda seumur hidupnya.

Sekolah

Dalam soal pendidikan, baik keluarga dari pihak ayah maupun ibu tidak ada seorang pun yang mencapai pendidikan menengah, apalagi tinggi. Ayah saya sendiri hingga kini tidak mampu membaca dan menulis. Konon, ia pernah masuk ke sekolah dasar, yang nantinya juga menjadi tempat saya bersekolah, tetapi kelas satu pun tidak bisa diselesaikannya. Barangkali kesibukan ibunya yang harus berdagang sekaligus kewajibannya untuk mengasuh adiknya menyebabkan ayah saya tidak bisa sekolah. Sementara paman saya bisa membaca dan menulis karena ia dapat menyelesaikan sekolah dasar.

Keadaan yang hampir sama juga dialami bibi-bibi dan paman saya dari pihak ibu. Ibu sendiri, karena pernah sekolah dasar hingga kelas tiga, dapat membaca dan menulis meski tidak terlalu lancar. Sementara kakaknya tidak dapat membaca dan adik-adiknya ada yang mampu menyelesaikan sekolah dasar tetapi ada pula yang tidak. Kalau tidak salah, paman saya dan adik ibu yang bungsu dapat menyelesaikan sekolah dasar.

Kecuali saya, anak-anak yang tergambar dalam potret pun setali tiga uang. Adik saya yang pertama selulus sekolah dasar tak mau melanjutkan ke sekolah menengah pertama (SMP). Saya lupa lagi apa alasan yang melandasi keputusannya. Adik saya yang ketiga tamat SMP dan adik keempat saya yang meninggal berhenti sekolah saat menginjak kelas 2 SMP. Kakak-kakak sepupu dan adik-adik sepupu saya ada yang hanya tamat sekolah dasar dan sebagian ada yang lulus SMP, meski semuanya tidak ada yang melanjutkan pelajarannya ke jenjang sekolah menengah atas (SMA). Kakak ipar saya demikian pula, ia hanya lulusan sekolah dasar.

Potret kesembilan anak itu terus saya lihat lagi lekat-lekat. Mengapa kebanyakan anggota keluarga besar saya tidak mau melanjutkan sekolah ke jenjang lebih atas?

Sementara saya, alih-alih berhenti, waktu tamat SMA, saya terus meminta kepada orang tua untuk diizinkan masuk ke perguruan tinggi. Namun, sayang, waktu itu orang tua saya harus menyekolahkan adik-adik saya, yang satu sama lain umurnya saling berdekatan, dan tentu membutuhkan biaya banyak. Mengapa saya “keukeuh” hendak kuliah? Barangkali saya akan menjawabnya dalam tulisan-tulisan berikutnya. Hitung-hitung membuat refleksi mengapa saya akhirnya memutuskan kuliah saat sudah beristri dan punya seorang anak.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//