Menguji Efektivitas Program Kartu Prakerja
Pengangguran di Jawa Barat mencapai 2,53 juta orang. Mereka membutuhkan pekerjaan di tengah sulitnya lowongan kerja karena terdampak pandemi Covid-19.
Penulis Iman Herdiana9 April 2021
BandungBergerak.id - Pemerintah akan membuka Program Kartu Prakerja Gelombang 17. Alokasi dana gelombang 17 ini berasal dari peserta gelombang 12 hingga gelombang 16 yang tak membelanjakan dana pelatihan dan dicabut kepesertaannya. Artinya, ada masalah dari program yang digulirkan sejak merebaknya pandemi Covid-19 di Tanah Air itu.
Untuk mengingatkan peserta Program Kartu Prakerja, pada Kamis 8 April 2021, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyampaikan siaran pers yang mengingatkan tentang pentingnya bagi peserta Kartu Prakerja membeli pelatihan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan.
Berdasarkan Peraturan Menko Perekonomian No. 11 tahun 2020, batas waktu membeli pelatihan Kartu Prakerja hanya berlaku selama 30 hari setelah penetapan. Jika dana pembelian pelatihan tidak digunakan dan melewati batas waktu yang ditentukan maka konsekuensinya status kepesertaannya dicabut.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jabar Rachmat Taufik Garsadi melaporkan, banyak penerima Kartu Prakerja di Jabar yang tidak memanfaatkan dana pelatihan dengan baik.
"Anggaran untuk pelatihan banyak yang tidak terserap pada 2020. Sedangkan, nominal untuk mengikuti pelatihan dalam program Kartu Prakerja mencapai Rp1 juta," kata Taufik.
Jika peserta tidak mengikuti pelatihan, Taufik menjelaskan insentif biaya mencari kerja maupun biaya sebesar Rp600 ribu selama empat bulan tidak bisa diambil, dan penerima tidak dapat mengikuti program untuk gelombang berikutnya.
Guna meningkatkan kesadaran penerima akan pentingnya pelatihan dan sertifikasi kompentensi, Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Jabar akan menyosialisasikan tahapan pelatihan secara masif.
Namun Pemprov Jabar tidak merinci data penerima Kartu Prakerja di Jawa Barat. Padahal fungsi data ini untuk memonitor maupun mendorong peserta Kartu Prakerja. Taufik mengatakan, tahun ini data tersebut akan didapat dari Kementerian Ketenagakeraan (Kemnaker).
Efektifkah Kartu Prakerja?
Yoshua Consuello, pengurus Moot Court Community (MCC) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, dalam artikelnya “Analisis Efektifitas Kartu Pra-kerja di Tengah Pandemi Covid-19”, mendedah program yang digulirkan pemerintah dalam merespons keterpurukan ekonomi akibat pandemi Covid-19 itu.
Kartu Prakerja diluncurkan dengan dasar Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja melalui Program Kartu Pra-Kerja. Kartu sakti di era pemerintahan Joko Widodo ini memberikan dana bagi pesertanya Rp3.550.000, dengan rincian sebesar Rp1 juta dan insentif pasca-pelatihan sebesar Rp600.000 per bulan untuk empat bulan, serta insentif survei kebekerjaan dengan total Rp150.000.
Kartu Prakerja pada awalnya untuk mempersiapkan tenaga kerja dengan berbagai macam soft skill. Tujuan awal ini berubah ketika Covid-19 melanda Indonesia, banyak perusahaan yang gulung tikar, banyak pekerja yang di-PHK. Angka pengangguran meningkat. Pemerintah akhirnya memutuskan meng-cover orang-orang yang terkena PHK akibat pandemi Corona.
Yoshua Consuello mengatakan, ditinjau dari kacamata Konstitusi, program Kartu Prakerja merupakan wujud pengimplementasian pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Namun bentuk Kartu Prakerja dinilai sebatas memberikan penghidupan layak bukan menyediakan lowongan kerja. Pemerintah tidak memberi jaminan apakah setelah mengikuti rangkaian kegiatan yang terdapat dalam program Kartu Prakerja, akan mendapat pekerjaan atau tidak.
Termasuk jaminan yang diberikan terhadap para pekerja/buruh yang sudah di PHK oleh pemilik perusahaan, apakah mereka akan mendapatkan pekerjaannya kembali setelah badai Covid-19 ini berakhir.
“Padahal program ini harus dibarengi dengan adanya ketersediaan lapangan pekerjaan yang sebanding dengan angkatan kerja agar para angkatan kerja ini dapat terserap,” tulis Yoshua Consuello.
Ia lalu menganalisis data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tentang tingkat pengangguran terbuka per-Februari 2018 sebesar 5,13%. Angka ini tergolong besar karena menjadi salah satu indeks yang menjadi tolok ukur bagi sebuah negara yang masih terjerembab ke dalam kesejahteraan dan kemiskinan.
Pengangguran sendiri kerap bersinggungan dengan kemiskinan. Menurut BPS, seseorang dikatakan miskin bila tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Kata Yoshua Consuello, kemiskinan di Indonesia masuk ke dalam jenis kemiskinan struktural yang terjadi karena struktur sosial yang timpang, yang tidak menguntungkan bagi golongan yang lemah. Salah satu penyebab kemiskinan struktural ialah ketidaktepatan kebijakan di bidang lapangan kerja atau lowongan kerja.
Potret Pengangguran di Jawa Barat
Potret pengangguran di Jawa Barat pun tidak sedikit jika dibandingkan dengan data BPS nasional. Menurut BPS Jabar melalui data Jawa Barat dalam Angka 2021, penduduk usia kerja di Jawa Barat mengalami kenaikan dari 36,92 juta orang pada Agustus 2019 menjadi 37,51 juta orang pada Agustus 2020.
Jumlah tersebut meningkat seiring terus bertambahnya jumlah penduduk Jawa Barat tiap tahunnya. Sebagian besar penduduk Jawa Barat tergolong usia kerja yaitu 24,21 juta orang (64,53 persen) merupakan angkatan kerja, terdiri dari 21,68 juta orang penduduk bekerja dan 2,53 juta orang pengangguran.
Jumlah penduduk yang bekerja itu berkurang 0,38 juta orang dari Agustus 2019. Penurunan ini terutama terjadi di sektor industri pengolahan sebanyak 0,63 juta orang, konstruksi sebanyak 0,14 juta orang, dan lain-lain.
Tahun 2020, lapangan pekerjaan yang mengalami peningkatan hanya di sektor pertanian sebanyak 0,72 juta orang, transportasi dan pergudangan sebanyak 0,02 juta orang.
Total penduduk Jawa Barat pada bulan September 2020 sebanyak 48,27 juta jiwa. Dalam jangka waktu sepuluh tahun sejak tahun 2010, jumlah penduduk Jawa Barat mengalami penambahan sekitar 5,2 juta jiwa atau rata-rata sebanyak 0,44 juta setiap tahun, dengan laju pertumbuhan penduduk 1,11 persen per tahun.
Proporsi Jawa Barat yang merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbesar secara nasional terdiri dari 24,51 juta orang laki-laki (50,77 persen), dan 23,76 juta orang perempuan (49,23 persen). Dengan kata lain, rasionya 103 laki-laki per 100 perempuan.
Cepat dan Konkret
Yoshua Consuello menyimpulkan bahwa kebijakan Kartu Prakerja kurang tepat jika dijadikan jaminan sosial di tengah tengah situasi pandemi Covid-19. Sebab masyarakat sekarang lebih membutuhkan bantuan cepat dan konkret.
“Cepat di sini dimaksudkan dengan bantuan yang diterima langsung tanpa harus berhadapan dengan prosedural-prosedural atau proses seleksi yang dapat menghambat waktu turunnya bantuan tersebut. Konkret di sini ialah bantuan tersebut dapat dirasakan manfaatnya secara langsung,” terangnya.
Ia mengibaratkan Kartu Pra-Kerja sebagai kail beserta umpannya (Kartu Prakerja) untuk mencari ikan (pekerjaan) di danau yang sedikit ikannya (lapangan pekerjaan) dan bersaing dengan pemancing lainnya (angkatan kerja).
Meski demikian, ia melihat Program Kartu Prakerja bisa menjadi lahan persaingan bagi Angkatan kerja lama, termasuk korban PHK karena Covid-19, dengan angkatan kerja baru (fresh graduate) yang masih belum mendapat pekerjaan.
Berdasarkan data BPS per Agustus 2019, jumlah pengangguran lulusan universitas mencapai 5,67 persen dan TPT untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tertinggi diantara tingkat pendidikan lain yaitu sebesar 8,92 persen dari total angkatan kerja sekitar 13 juta orang.
Di sisi lain, banyak angkatan kerja maupun buruh yang terkena PHK akibat dampak dari Covid-19 yang tidak mendapakan Kartu Pra-Kerja.
Yoshua merekomendasikan pemerintah agar mengkaji ulang kebijakan program Kartu Prakerja. Menurutnya memang penting meningkatkan soft skill, namun hal ini perlu diimbangin dengan kesempatan kerja.
Untuk kondisi pandemi ini, Ia menyarankan pemerintah fokus memberikan bantuan terhadap masyarakat dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai, Bantuan sosial, hingga subsidi, bahkan kalau perlu pemerintah bisa memberikan stimulus terhadap perusahaan atau pengusaha agar menekan angka PHK yang berujung pada naiknya jumlah pengangguran.
Bantuan tersebut harus diberikan menyeluruh, tidak parsial sesuai amanat Sila ke-5 Pancasila, bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Serta saatnya pemerintah dan masyarakat bersatu dan berkaloborasi dalam memerangi Covid-19, sesuai amanat Sila ke-3 Pancasila, Persatuan Indonesia.
Indikasi bahwa warga lebih memutuhkan bantuan langsung terlihat dari adanya peserta Program Kartu Prakerja gelombang 12 hingga gelombang 16 yang tak membelanjakan dana pelatihan, seperti disampaikan Pemprov Jabar.