Jejak Pers, Jejak Intelektualitas Bandung
Jejak pers, yang bisa dirunut jauh hingga awal abad ke-20, menabalkan peran Bandung sebagai pusat kaum intelektual.
Penulis Tri Joko Her Riadi10 April 2021
BandungBergerak.id - Bandung, yang dianugerahi keelokan alam tiada dua, sudah sejak lama telanjur kesohor sebagai kota wisata. Orang sering lupa kalau kota ini juga menjadi wadah pertarungan ide lewat kerja-kerja intelektual. Salah satunya berupa tradisi pers yang panjang. Terbitnya buku Jejak Pers di Bandung (2021) di tengah pandemi Covid-19, ketika bisnis wisata dan semua turunannya rontok, mengingatkan sumbangsih penting itu.
Indra Prayana, mantan aktivis juga jurnalis, tidak menyia-nyiakan halaman-halaman awal buku yang ditulisnya untuk bermanis-manis. Medan Prijaji ia tampilkan di urutan pertama. Surat kabar yang dipelopori Tirto Adhi Soerjo ini mewakili wajah pers pergerakan di era itu: dimiliki dan dikendalikan sepenuhnya oleh bumiputera untuk menyuarakan kepentingan mereka di tanah jajahan Hindia Belanda. Bukan hanya lewat penyebaran informasi, tapi juga, menurut Pramoedya Ananta Toer dalam buku Sang Pemula (1985), advokasi.
Terbit pertama kali di Stchting Cultureel Centrum, sekarang Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK), di Jalan Naripan pada 1 Januari 1907, Medan Prijaji tidak berumur panjang. Belitan berbagai masalah, mulai dari politik pembungkaman pemerintah kolonial hingga anjloknya pendapatan, memaksa koran surat kabar ini tutup per 22 Agustus 1912.
Indra mengutip kalimat-kalimat Muhidin M. Dahlan, yang menempatkan Tirto Adhi Soerjo di urutan pertama dalam buku Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia (2007), untuk menggambarkan betapa besar sumbangsih Medan Prijaji dalam peta kebangkitan nasional Indonesia. Bukan lewat pertempuran bersenjata, tapi kerja intelektual dengan memanfaatkan tradisi daya cetak.
“Daya cetak inilah yang menjadi pembatas luruhnya kurun feodalisme dan bangkitnya politik modern,” demikian Muhidin.
Dari kepeloporan Medan Prijaji, Bandung melahirkan Matahari, surat kabar yang mempropagandakan ide-ide komunisme, yang terbit perdana setebal dua lembar pada 2 Agustus 1922. Tokoh utamanya Mohamad Sanoesi, pendiri Sarekat Rakjat (SR) cabang Bandung yang berafiliasi ke Paratai Komunis Indonesia (PKI).
Indra menandai sesuatu yang menarik dalam susunan redaksi Matahari, surat kabar yang beralamat di Jalan Pajagalan, Bandung itu. Selain Sanoesi yang duduk sebagai Redaktur, muncul dua nama ganjil, yakni “Neraka” sebagai Penanggung Jawab Redaksi dan “Alap-alap” sebagai Spion. Entah apa arti dan pekerjaan “spion” dalam redaksi. Juga entah siapa orangnya yang memakai julukan “Neraka” dan “Alap-alap” itu.
“Jadi bisa saja mereka berdua merupakan orang yang berbeda, tetapi bisa juga mereka merupakan orang yang sama, yakni Moh. Sanoesi sendiri,” tulis Indra.
Perjalanan Matahari tamat bersamaan dengan tumpasnya pemberontakan PKI yang meletus pada 12 November 1926. Bersama seluruh organisasi atau surat kabar yang berafiliasi ke partai merah, ia dinyatakan terlarang oleh penguasa.
Sukarno sebagai Wartawan
Lewat buku Jejak Pers di Bandung (2021), Indra Prayana juga mengingatkan orang pada sisi lain Sukarno, presiden pertama Indonesia yang kisah dan pemikirannya tak habis-habisnya dibahas dan dipelajari. Sukarno muda, selain aktivis politik, adalah juga seorang wartawan.
Pada Desember 1927, Sukarno memulai penerbitan Soeloeh Indonesia Moeda sebagai corong Algemeene Studieclub. Perjalanan surat kabar yang sebagian besar isinya berupa esai-esai Sukarno itu tersendat-sendat akibat hukuman demi hukuman yang dijatuhkan kepada “Sang Putera Fajar”.
Tidak berselang lama dari penerbitan Soeloeh Indonesia Moeda, tepatnya pada 15 Juli 1928, Sukarno bersama para tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) menerbitkan surat kabar setebal empat halaman Persatoean Indonesia. Secara terang-terangan Persatoean Indonesia menyatakan kesediaannya untuk “menyokong pergerakan nasional Indonesia”.
Ada masa ketika pengelolaan corong PNI ini harus diserahkan ke Inggit Garnasih. Tepatnya sejak 29 Desember 1929. Penyebabnya lagi-lagi penahanan Sukarno oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Kerja pers Sukarno di Bandung tidak berhenti di Soeloeh Indonesia Moeda dan Persatoean Indonesia. Pada 1 Juli 1932, terbit edisi perdana Fikiran Ra’jat. Di sampul depan tertulis dalam tinta merah: “Kaoem Marhaen! Inilah madjallah kamoe!” Demikianlah Fikiran Ra’jat sejak awal diniatkan sebagai majalah politik yang menyarakan aspirasi kaum Marhaen, orang kebanyakan di tanah jajahan Hindia Belanda.
Fikiran Ra’jat beredar bukan hanya di Bandung dan Jawa Barat. Mengutip tulisan Her Suganda dalam buku Jendela Bandung (2014), Indra menyebut tiras majalah itu mencapai 5 ribu eksemplar dengan jumlah agen yang terus bertambah.
Indra Prayana menyebut ketiga surat kabar yang lahir di Bandung itu, Soeloeh Indonesia Moeda, Persatoean Indonesia, dan Fikiran Ra’jat, sebagai trisula yang tidak terpisahkan. Ketiganya merupakan ‘anak rohani’ Sukarno muda “yang menemaninya dalam perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme di berbagai belahan dunia, terkhusus untuk tanah air sendiri”.
Islam, Tionghoa, dan Mahasiswa
Sejarah pers Bandung bukan melulu tentang koran-koran yang secara progresif mengusung semangat kebangsaan atau menjadi corong partai politik. Ada juga beberapa surat kabar yang menjadi corong dakwah persatuan islam atau menjadi suara islam progresif. Beberapa nama yang ditampilkan adalah Pembela Islam, Al-Lisaan, Risalah, Iber, dan Aliran Islam.
Lewat buku Jejak Pers di Bandung, yang ditampilkan sebagai semacam mozaik, kita juga mengetahui munculnya dinamika unsur lokalitas dalam pengelolaan surat kabar di Bandung. Geliat Sunda terwakili oleh cukup banyak surat kabar, dari Paguyuban Pasundan, Papaes Nonoman, Pasoendan, Sipatahoenan, Genta Istri, Sepakat, hingga Kudjang. Sementara itu, yang mewakili komunitas pers Tionghoa di Bandung di antaranya adalah Berita Tionghoa dan Warta Hua Lien.
Mengandalkan koleksi pribadi yang membuat iri, Indra Prayana menampilkan 33 nama surat kabar di buku setebal 201 halaman yang diterbitkan oleh Bandong itu. Ia menyimpan aroma pergerakan di era kontemporer Bandung dalam lembar-lembar terakhir. Ada bahasan khusus tentang koran legendaris Mahasiswa Indonesia dan secuil cerita tentang perlawanan pers mahasiswa terhadap rezim otoriter Orde Baru pada dekade 1970-an. Di situ ada nama Ganeca, Integritas, Suara Kampus, Berita ITB, serta Parahyangan.
“Lenyapnya pers mahasiswa karena pembungkaman oleh kekuasaan bukan berarti menghilangkan jejak-jejak sejarah yang telah ditorehkan, tetapi ia akan menjumpai lagi dalam lembaran sejarah berikutnya,” tulis Indra di paragraf terakhir buku.
Di luar ke-33 nama surat kabar yang dibahas secara khusus, masih ada sekian banyak surat kabar yang terbit di Bandung. Indra mencatat sedikitnya ada 115 nama surat kabar. Itu pun belum seluruhnya.
Membingkai buku dengan kepeloporan Medan Prijaji sebagai pembuka dan keberanian pers kampus sebagai penutupnya, Indra Prayana membuat buku yang ia tulis tidak berhenti menjadi daftar nama-nama surat kabar Bandung yang disusun secara kronologis. Ia hendak mengingatkan bahwa kerja pers telah memberi sumbangan besar bagi wajah kota dan dinamika masyarakatnya. Jejak pers menabalkan peran Bandung sebagai pusat kaum intelektual.
Masihkah Bandung hari ini pantas menyandang julukan kota intelektual? Berkaca dari buku Indra Prayana, kita bisa menjawab: ya, selama kota ini masih melahirkan kerja-kerja pers yang bermutu, masih melahirkan jurnalis-jurnalis yang berkomitmen.
Pertanyaan berikutnya: itukah yang terjadi?
Informasi Buku
Judul : Jejak Pers di Bandung
Pengarang : Indra Prayana
Penerbit: Bandong, Bandung
Cetakan: I, 2021