• Buku
  • Pembangunan Bandung Awalnya Dirancang Seorang Freemason

Pembangunan Bandung Awalnya Dirancang Seorang Freemason

Merujuk sejarah, Kota Bandung secara tidak langsung hasil karya seorang Mason. Daendels, sang gubernur jenderal, adalah seorang Freemason.

Buku Okultisme di Bandoeng Doeloe: Menelusuri Jejak Gerakan Freemasonry di Bandung karya M Ryzki Wiryawan (Penerbit Khazanah Bahari, November 2014). (Foto: Iman Herdiana)

Penulis Iman Herdiana11 April 2021


BandungBergerak.id - Ketika masih perwira muda, Herman Willem Daendels dilantik sebagai anggota Freemason di Loji Le Profond Silence Kampen, sebuah organisasi Mason di Belanda. Sejak itu kariernya terus menanjak. Pada 1808-1811, masih tercatat sebagai seorang Mason, Daendels menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Di masa kepemimpinan Daendels, pusat kota Bandung dipindahkan dari Krapyak (Dayeuh Kolot) ke lokasi Bandung sekarang. Sang gubernur gencar memerintahkan pembangunan wilayah Bandung yang masih asing (terra incognita). Jadi, kata sejarawan M Ryzki Wiryawan, secara tidak langsung Bandung dibangun oleh pengikut gerakan Freemason.

“Jika merujuk sejarah, Kota Bandung secara tidak langsung merupakan hasil karya seorang Mason. Daendels, gubernur jenderal yang memindahkan Negorij Bandoeng dari Krapyak ke lokasi Bandung yang sekarang adalah seorang Mason,” tulis M Ryzki Wiryawan dalam buku Okultisme di Bandoeng Doeloe: Menelusuri Jejak Gerakan Freemasonry di Bandung (2014).

Daendels (1762-1818), seorang politikus Belanda, menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36 ketika Belanda masih dijajah Prancis. Peninggalannya sebagai seorang Mason di Nusantara adalah gaya arsitektur Empire yang saat itu sedang populer di Prancis. Daendels mewajibkan seluruh bangunan didirikan mengikuti gaya arsitektur tersebut. 

Menurut Ryzki, arsitektur Empire merujuk pada konsep piramida, Fibonaci, Tanduk Horus, serta kuil Pagan Yunani-Romawi. Semua konsep bangunan ini diadopsi oleh tukang bangunan alias para Mason.

“Freemasonry atau Vrijmetselarij dalam Bahasa Belanda berarti “perkumpulan tukang bangunan yang bebas”,” terang Ryzki.  

Arsitektur Freemason dikenal lewat ciri khas penggunaan pilar Doric, Ionic, dan Khorintian. Tak heran jika gedung-gedung kolonial tertua di Bandung seperti Kweekschool (kini Polrestabes Bandung di Jalan Merdeka), Loji Sint Jan di Jalan Wastukencana (digantikan oleh Masjid Al Ukhuwah di Jalan Wastukancana), dan kantor Residen Priangan (kini Gedung Pakuan) yang dibangun di pertengahan abad ke-19 menunjukkan kemiripan dengan bentuk kuil-kuil Yunani atau tempat ibadah Freemason umumnya.

Gedung lain yang terpengaruh arsitektur Freemason ialah Van Dorp, kini Gedung Landmark, di Jalan Braga. Gedung ini kerap menjadi tempat pameran buku. 

Jejak Freemason lainnya bisa ditemui di Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada awal abad ke-20, Belanda membentuk komite pembangunan pendidikan teknik yang diketuai J. W. Ijzerman. Pembangunan sekolah teknik ini mendapat dukungan dari para pengusaha perkebunan. Salah satunya Bosscha, pemilik perkebunan Malabar.

Pada tanggal 3 Juli 1920, Technische Hogeschool (THS) resmi dibuka. Kampus ini, yang kemudian menjadi ITB, memiliki logo penggaris siku-siku dan jangka—peralatan bangunan yang dipakai Freemason sebagai lambang organisasi mereka—yang diapit obor api. Obor api bagi Freemason menyimbolkan ilmu pengetahuan dan kebenaran.

Ijzerman sendiri, menurut Ryzki, adalah seorang Mason. Perintis THS itu mendapat penghormatan lewat pembangunan sebuah taman yang dinamai Ijzermanpark, kini Taman Ganesha, di selatan THS bersebelahan dengan Masjid Salman ITB.

Buku-buku untuk Sukarno

Tahun 1920-an, Sukarno yang baru lulus dari ITB dan mendirikan PNI, partai yang dicap radikal oleh Belanda. Sukarno kemudian ditangkap dengan tuduhan makar, dan dijebloskan ke penjara Banceuy. Selama dipenjara, Sukarno menulis pledoi yang terkenal berjudul “Indonesia Menggugat”.

Sukarno mendapat pasokan buku referensi untuk menulis pledoi itu dari istrinya, Inggit Garnasih. Inggit berhasil menyelundupkan buku-buku ke penjara Banceuy dengan risiko ketangkap petugas.

Menurut Ryzki, buku referensi yang dipakai Sukarno bersumber dari perpustakaan Freemason Sint Jan, Bandung. “Sukarno selama penahanan di Banceuy memperoleh buku-buku yang dijadikan referensi dalam pembuatan pledoi "Indonesia Menggugat",” ungkap Ryzki.

Tahun 1920, kata Ryzki, koleksi buku di perpustakaan Loji Sint Jan mencapai 25.833 judul. Perpustakaan ini disebut perpustakaan dengan koleksi paling banyak se-Bandung pada masa itu.

Ryzki mencatat, literasi dan kegiatan sosial menjadi fokus gerakan Freemason di Bandung. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan pengurus dan anggota Loji Sint Jan yang sekaligus menjadi bukti sejarah gerakan Freemason Bandung.

Pendirian Loji Sint Jan dirintis tahun 1896 di utara Gedung Pakpak (Pemkot Bandung). Jalan di depan loji dinamai Logeweg St Jan (kini berubah menjadi Jalan Wastukencana), Loji Freemasonry ke-13 yang didirikan di Hindia Belanda.

Embrio pendirian Loji Sint Jan dimulai sejak dibentuknya Societeit 23 November 1880 di Batavia (Jakarta). Lewat Resolusi Residen Priangan 21 Mei 1881, perkumpulan ini menggunakan sebagian dari bangunan Kweekschool sebagai tempat pertemuan bulanan.

Tahun 1881 tercatat loji ini memiliki 13 anggota, tahun berikutnya turun menjadi 10 anggota, lalu naik kembali menjadi 15 anggota, sampai perkumpulan ini dihapuskan karena tidak punya anggota.

Sepuluh tahun kemudian, Ryzki mencatat, 23 Maret 1895, berdiri asosiasi Masonik "Mataram" di Bandung. Mereka berniat mengididupkan kembali perkumpulan Freemason yang pernah dibentuk di Bandung itu. Gedung Polrestabes Bandung yang dulu dikenal Sekolah Raja (Kweekschool), kembali menjadi tempat pertemuan intens mereka. 

Tahun 1897, Freemason Bandung mendapatkan tempat di Gedung Landraad dan memulai kegiatannya dengan 19 anggota. Pada 1901, pembangunan gedung Loji Sint Jan rampung, bangunannya memakai arsitektur Empire yang berdiri megah di Logeweg atau Wastukencana.

Pada 1929, Loji Sint Jan diakui sebagai loji dengan jumlah anggota terbanyak di Hindia Belanda, yaitu 238 orang. Sint Jan dinyatakan sebagai loji paling berhasil dalam merekrut anggota.

Anggota Freemason Bandung didominasi orang-orang Eropa, meski ada juga tokoh pribumi yang ikut organisasi ini demi memantapkan statusnya sebagai elit yang sejajar dengan orang Eropa, salah satunya Raden Aria Wiranatakuusumah V yang tercatat masuk Freemason Bandung tahun 1922, dua tahun setelah diangkat sebagai Regent (Bupati) Bandung. Wiranatakusumah V alias Dalem Haji menjadi Master—level keanggotaan Freemason—pada 1926. Kemudian menjadi anggota Sint Jan pada 1935.

“Organisasi Freemason saat itu bukan orang yang bergerak penuh kerahasiaan dan misteri. Mereka beroperasi secara terbuka, para anggotanya membaur dengan masyarakat,” kata Ryzki.

Sebagaimana gerakan Freemason umumnya, gerakan Freemason di Bandung menghindari politik. Sejak awal abad ke-20, Freemason Hindia Belanda termasuk Loji Sint Jan Bandung fokus pada kegiatan sosial, termasuk membangun perpustakaan umum. 

Awalnya, tahun 1891, Freemason Sint Jan Bandung membangun perpustakaan di Kweekschool dan dikenal sebagai perpustakaan terlengkap di Bandung dengan 2.500 koleksi buku.

Perpustakaan tersebut dipindahkan ke Sint Jan yang selesai dibangun. Nama perpustakaannya Volksbibliotheek atau Perpustakaan Rakyat. Dari perpustakaan inilah Sukarno yang dipenjara di Banceuy mendapat pasokan buku.

Kegiatan lain Freemason Bandung ialah membangun taman kanak-kanak, Sekolah Dasar, dan mendukung pendirian rumah buta di Bandung. Pada 16 September 1901, Bandoengsche Blinden Instituut didirikan atas prakarsa Dr CHA Westhoff dan kawan-kawan.

Ryzki mencatat, gerakan Freemason di Bandung menemui masa kegelapan ketika Jepang datang ke Nusantara. Anggota Freemason menjadi target perburuan tentara Jepang. Tercatat, 300 anggota Freemason dari 21 loji Hindia Belanda ditahan di kamp interniran Baros, Cimahi. 

Setelah kemerdekaan, Freemason di Bandung nyaris tak berbekas. Pada 1962 Sukarno melalui Kepres Nomor 264 melarang Feemason di Indonesia. “Setahun sebelumnya, entah dasar apa Sukarno juga memerintahkan pembongkaran bangunan Loji Sint Jan yang lama terbengkalai,” tulis Ryzki.

Kartu Pos bergambar Loji Sint Jan di Jalan Wastukencana, Bandung. Kini, lahan bekas bangunan loji dipakai Masjid Al Ukhuwah. (Foto repro buku Okultisme di Bandoeng Doeloe: Menelusuri Jejak Gerakan Freemasonry di Bandung karya M Ryzki Wiryawan)
Kartu Pos bergambar Loji Sint Jan di Jalan Wastukencana, Bandung. Kini, lahan bekas bangunan loji dipakai Masjid Al Ukhuwah. (Foto repro buku Okultisme di Bandoeng Doeloe: Menelusuri Jejak Gerakan Freemasonry di Bandung karya M Ryzki Wiryawan)

Konon, catat Ryzki, bangunan Freemason Sint Jan itu dijual seorang muslim yang punya hubungan baik dengan anggota loji. Hubungan ini tercermin dari nama mesjid Al Ukhuwah yang menempati lahan bekas berdirinya bangunan Loji Sint Jan. Al Ukhuwah sendiri berarti persahabatan atau persaudaraan.

“Arsitektur masjid ini konon juga menggunakan konsep segitiga sacred geometri dari araitektur masonry,” ungkap Ryzki, salah satu pendiri Komunitas Aleut, dalam buku setelab 116 halamannya.

Loji Sint Jan menyimpan sisi lain yang menambah pandangan miring pada gerakan Freemasonry. Bagi orang Sunda, pelafalan Loji Sint Jan sering campur aduk dengan lafal setan. Sehingga loji tersebut kerap disebut Loji Setan dan dihubungkan dengan praktek ritual pemujaan setan.

Ryzki mengutip keterangan sastrawan Sunda, Us Tiarsa, yang menyinggung bahwa “Gedung Setan” dipakai orang tua untuk menakuti anak-anak masa itu. “Bangunan Loji St. Jan lebih dikenal masyarakat Bandung saat itu sebagai “Gedung Setan”, mungkin karena pelafalan “St. Jan” dalam Bahasa Sunda,” tutur Ryzki.

Informasi Buku

Judul: Okultisme di Bandoeng Doeloe: Menelusuri Jejak Gerakan Freemasonry di Bandung

Penulis: M Ryzki Wiryawan

Penerbit: Penerbit Khazanah Bahari

Cetakan: November 2014

Editor: Redaksi

COMMENTS

//