• Literasi
  • Tiga Perpustakaan Pertama di Bandung yang Tinggal Sejarah

Tiga Perpustakaan Pertama di Bandung yang Tinggal Sejarah

Tradisi panjang literasi di Bandung kurang mendap perhatian serius dari pemegang kebijakan. Sejumlah inovasi memang digaungkan, namun dalam perjalanannya melempem.

Kotak Literasi Cerdas (Kolecer) atau street library terkunci di jalur pejalan kaki Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika, Bandung, Rabu (1/9/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Putra Wahyu Purnomo24 September 2021


BandungBergerak.idPada masa kolonial Kota Bandung dikenal sebagai salah satu kota literasi. Ada tiga tempat yang menandainya, yakni Central Bibliotic, Lisbook Bibliotic, dan Volks Bibliotic. Ketiganya punya peran penting dalam perkembangan awal literasi di Bandung.

Pertama adalah Central Blibliotic atau perpustakaan utama, yang terletak di Gedung Sate. Perpustakaan ini terbentuk dari gabungan beberapa jawatan pemerintahan kolonial yang dipindahkan dari Batavia. Dari beberapa jawatan inilah masing-masing membawa koleksi buku untuk disimpan dalam satu perpustakaan utama.

"Perpustakaan besar yang disebut The Central Bibliotic itu lokasinya ada di Gedung Sate, koleksi awalnya dua ratus dua puluh ribu buku," terang Atep Kurnia, seorang pegiat literasi dalam diskusi Balada On Bla yang tayang di kanal Youtube Bala Bala Studio Bandung, Kamis (23/9/2021).

Tempat kedua adalah Lisbook Bibliotic atau taman baca yang terletak di bilangan Kebon Sirih, tepatnya di Loji Sint Jan. Dan yang ketiga adalah Volks Bibliotic atau perpustakaan rakyat di Jalan Braga. Dua tempat terakhir, menurut sejarah muncul di tahun 1891.

Volks Bibliotic di Jalan Braga menempati sebuah toko jahit kepunyaan seorang Belgia bernama August Hegelstin. Taman baca dan perpustakaan rakyat di kota Bandung tempo dulu umumnya diprakarsai oleh para pelancong dari Eropa yang merasa bertanggung jawab untuk memajukan Kota Bandung.

"Ada dua orang Belgia yang sangat terkenal di Bandung pada masa itu (1906-1922) namanya Kamil Korde dan August Hegelstin," terang Atep Kurnia.

Kini, ketiga perpustakaan tinggal nama. Namun menilik sejarah literasi yang dipaparkan Atep, rupanya tradisi perpustakaan di Kota Bandung sudah berlangsung lama. Sayangnya, tradisi perpustakaan ini kurang mendapat perhatian serius dari pemegang kebijakan. Sejumlah inovasi memang digaungkan, namun dalam perjalanannya inovasi tersebut redup dan kurang terakses oleh masyarakat.

Salah satu inovasi di bidang perpustakaan yang ada di Kota Bandung adalah Kotak Literasi Cerdas (Kolecer) atau street library. Kolecer, misalnya, terdapat di jalur pejalan kaki Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika, Bandung.

Pantauan BandungBergerak.id pada 1 September 2021 lalu, street library itu tak bisa diakses masyarakat dan hanya jadi pajangan di atas trotoar saja. Kotak berisi segelintir buku itu pun tergembok dan entah kapan bisa dibuka.

Kolecer merupakan program literasi Provinsi Jawa Barat untuk meningkatkan minat baca masyarakat dengan cara mendekatkan buku di ruang-ruang publik. Siapa pun bisa mengakses Kolecer termasuk ikut menyumbang buku. Dibanding negara-negara lain di dunia, minat baca orang Indonesia dari anak-anak sampai dewasa berada di level bawah.

Unesco menyebutkan Indonesia berada di urutan ke dua dari bawah dalam hal literasi. Sangat memprihatinkan, presentasenya hanya mencapai 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 orang di Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. 

Baca Juga: Tiada Buku di Perpustakaan Alun-alun Bandung
FKIP Unpas Gelar Workshop Literasi Sains untuk para Dosen

Kotak Literasi Cerdas (Kolecer) atau street library terkunci di jalur pejalan kaki Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika, Bandung, Rabu (1/9/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Kotak Literasi Cerdas (Kolecer) atau street library terkunci di jalur pejalan kaki Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika, Bandung, Rabu (1/9/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Upaya Pelurusan Sejarah

Upaya yang saat ini sedang digalakkan oleh Atep Kurnia salah satunya adalah pelurusan terhadap sejarah yang berkembang di masyarakat. Menurutnya saat ini masih terdapat sejarah yang dapat dikoreksi jika menilik kenyataan pada masa silam. Salah satu contoh adalah sejarah tentang toko serba ada pertama di Kota Bandung.

"Salah satunya dalam buku karya Haryanto Kunto, yang menyebut Clas de Vrij adalah paman dari J.R. de Vrij, padahal dari data yang saya dapat itu sebaliknya, jadi toko serba ada pertama kali yang ada di Bandung itu J.R. de Vrij," ungkap Atep Kurnia.

Hal-hal semacam itulah yang akhirnya penting untuk diungkapkan kebenarannya. Selain upaya untuk meluruskan sejarah yang sudah ada, ada pula upaya untuk memperkenalkan sejarah mengenai tempat maupun asal usul wilayah yang sebelumnya tidak dikenali oleh masyarakat. Sehingga masyarakat menjadi paham terhadap sejarah kota tempat tinggalnya sendiri.

"Puncak atas apa yang saya himpun sejauh ini mudah-mudahan ya jadi kearifan gitu bagi orang lain," pungkas Atep Kurnia.

Minat Besar terhadap Buku

Sedari kanak-kanak, Atep Kurnia sudah menaruh perhatian lebih pada bidang literasi terutama sejarah. Meski tumbuh di keluarga yang tidak mengenyam pendidikan formal, dirinya tetap semangat untuk belajar.

"Tapi di lingkungan, tetangga ada anak-anak yang sekolah, sehingga saya dari situ mulai menyukai buku," terang Atep.

Keterbatasan yang dialaminya selama masa kanak-kanak inilah yang makin membentuk kecintaannya terhadap dunia literasi. Sampai saat ini tujuannya menggeluti bidang literasi ialah untuk menghimpun data yang nantinya dapat menjadi pengetahuan atau informasi bagi masyarakat awam. Selain itu, literasi dapat pula digunakan untuk membaca pola-pola atas kejadian yang terjadi di masa lalu, sehingga dapat dibaca keterkaitannya dengan masa kini.

"Ya paling tidak dua itulah ya, pola-pola dan kesinambungan dengan hari ini," ujar Atep.

Selain sebagai pegiat literasi, Atep dikenal sebagai salah satu penulis sejarah di Kota Bandung. Menurut penuturannya, awal mula ia belajar menulis adalah saat dirinya masih bekerja di salah satu pabrik tekstil yang ada di Bandung. Ia banyak membaca buku untuk mengisi waktu luang di sela pekerjaannya sebagai teknisi.

"Dengan suasana yang temaram gitu, saya membawa kliping, waktu itu awal-awal saya paling suka Catatan Pinggir Goenawan Mohamad," ujar Atep.

Atep menerangkan, pada saat ia melakukan pembacaan secara anotatif, yaitu membaca sembari mencatat. Kemudian dirinya berusaha untuk menuliskan ulang bagaimana cara Goenawan Mohamad menulis. 

"Bagaimana dia memulai tulisan, kemudian masuk ke inti tulisan kemudian bagaimana dia mengakhiri saya tulis ulang, nah itu disebut dengan anotatif," jelasnya.

Selain belajar menulis secara mandiri lewat cara anotatif tersebut. Atep pun mendapatkan bimbingan langsung dalam menulis dari Hawe Setiawan, dosen sastra sekaligus penulis.

Saat ini Atep Kurnia tengah mempersiapkan dua naskah terbaru yang kemungkinan akan diterbitkan pada akhir tahun ini. Dua naskah tersebut masing-masing berjudul "Orang-orang Eropa Beken di Bandung" dan "Kopi dalam Kebudayaan Sunda".

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//