• Kampus
  • Indonesia Kekurangan Insinyur

Indonesia Kekurangan Insinyur

Dari total kebutuhan sekitar 260 ribu orang insinyur, saat ini baru 30-40 persennya terpenuhi.

Suasana lokasi proyek pembangunan depo Stasiun Tegalluar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (14/4/2021). Indonesia membutuhkan tambahan 260 ribu orang insinyur dan baru 30-40 persen di antaranya terpenuhi. (Foto: Prima Mulia)

Penulis Tri Joko Her Riadi12 April 2021


BandungBergerak.idIndonesia masih kekurangan insinyur dalam jumlah yang sangat besar. Dari total kebutuhan sekitar 260 ribu orang insinyur, saat ini baru 30-40 persennya terpenuhi.

“Oleh karena itu masih banyak insinyur-insinyur asing yang berkiprah di Indonesia,” tutur Direktur Jenderal Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Khalawi Abdul Hamid dalam pidato pamit wisudawan di upacara Wisuda Angkatan I Program Profesi Insinyur (PPI) Tahun Akademik 2020/2021 di Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Sabtu (10/4/2021), dilansir dari situs https://unpar.ac.id/. 

Menurut Khalawi, ada banyak bidang pembangunan yang membutuhkan kiprah para insinyur Indonesia. Salah satunya program penyediaan rumah untuk masyarakat. Saat ini ada sekitar 7,8 juta penduduk Indonesia, terutama mereka yang berpenghasilan rendah, belum memiliki rumah.

Sesuai amanat Undang-undang Nomor 11 Tahun 204 tentang Keinsinyuran, penyelenggaraan Program Profesi Insinyur (PPI) merupakan sebuah keharusan bagi perguruan tinggi. Lewat program ini, diharapkan lulusan sarjana keteknikan semakin kompeten sehingga sanggup bersaing di dunia industri baik dalam negeri maupun global.

Khalawi siang itu menjadi bagian dari 78 mahasiswa yang dilantik secara hibrida sesuai protokol kesehatan selama pandemi Covid-19. Sebanyak 14 wisudawan hadir secara langsung.

Rektor Unpar Mangadar Situmorang, dalam pidatonya, menyatakan bahwa gelar profesi insinyur bukan sekadar pengukuhan, tetapi juga pengakuan atas kompetensi, komitmen, dan dedikasi di dunia keteknikan. Ia mengingatkan, tantangan berikutnya bagi para insinyur adalah berkontribusi bagi negeri lewat kerja yang berdedikasi, bertanggung jawab, serta humanis.

“Di sini yang kita tegaskan agar para insinyur lulusan Unpar itu sungguh-sungguh peduli dan memperhatikan konteks sosial ekonomi masyarakat. Ini yang kita sebut sebagai karakter lulusan Unpar yang berpihak, kontributif, peduli, dan membangun kemajuan masyarakat,” ujarnya.

Melalui PPI, Unpar berupaya memenuhi kebutuhan insinyur Indonesia secara berkesinambungan. Bukan semata meluluskan insinyur atau mengeluarkan banyak sertifikat, yang dikejar Unpar adalah melahirkan para profesional yang memang punya hati, komitmen, dan dedikasi demi kemajuan yang diharapkan terus berkembang dan berkelanjutan. 

Pemetaan 

Gelar profesi insinyur diberikan kepada seseorang yang lulus dari Program Profesi Insinyur (PPI) yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang bekerja sama dengan kementerian terkait dan Persatuan Insinyur Indonesia (PPI). Merujuk laman PPI di http://www.pii.or.id/, mereka yang bisa mengikuti PPI adalah “sarjana bidang teknik atau sarjana terapan bidang teknik, baik lulusan perguruan tinggi dalam negeri maupun perguruan tinggi luar negeri yang telah disetarakan atau sarjana pendidikan bidang teknik atau sarjana sains yang disetarakan dengan sarjana bidang teknik atau sarjana terapan bidang teknik maupun program penyetaraan”. 

Untuk memasuki dunia kerja, merujuk UU Nomor 11 Tahun 2014, setiap insinyur wajib memiliki Sertifikasi Insinyur Profesional (SIP). Ada ketentuan tentang penjatuhan denda positif dan ancaman kurungan bagi insinyur yang belum tersertifikasi. 

Namun, di sisi lain, program Sertifikasi Insinyur Profesional membuka peluang bagi insinyur-insinyur Indonesia menjadi setara dengan insinyur-insinyur di kawasan Asia Tenggara. Program ini sekaligus memungkinkan para pengambil kebijakan untuk memetakan sumber daya manusia di bidang keinsinyuran.

Keteknikan di Bandung

Bandung memiliki riwayat panjang dengan dunia keteknikan atau keinsinyuran. Pertumbuhan kota ini tidak lepas dari hadirnya teknologi. Setelah pembangunan Jalan Raya Pos, kehadiran jalur kereta api pada akhir abad ke-19, misalnya, serta-merta mengubah wajah Bandung yang dikelilingi kawasan perkebunan.

Dari kampung kecil yang tidak menarik perhatian, Bandung menjadi kota urban. Pada awal abad ke-20, menyusul rencana memindahkan ibu kota pemerintahan kolonial dari Batavia (Jakarta), Bandung sibuk mendirikan bangunan-bangunan baru, mulai dari gedung hingga taman, terutama di kawasan sekitar jantung kota. Inilah masa ketika banyak arsitek dan perencana kota ternama didatangkan dari Negeri Belanda. Inilah masa ketika Bandung menjadi laboratorium arsitektur raksasa yang mewadahi tren yang sedang .

Salah satu bangunan baru yang didirikan adalah Technische Hoogeschool (sekarang ITB), sekolah tinggi teknik pertama di Hindia Belanda. Sukarno, yang kelak menjadi presiden pertama Indonesia, merupakan salah satu mahasiswa angkatan pertamanya.

Salah satu kajian penting tentang kaitan antara perkembangan teknologi dengan pertumbuhan nasionalisme di Hindia Belanda dilakukan oleh Rudolf Mrazek, seorang peneliti Indonesia kelahiran Ceko, dalam bukunya Engineers of Happy Land (2006). Ia, misalnya, mencatat bagaimana Jalan Daendels, yang mulanya disebut sebagai “mujizat kecepatan praabad kedua puluh”, semakin tidak memadai terutama untuk kepentingan pengangkutan orang dan barang secara cepat.

Pada 1842 Raja Belanda Willem II mengeluarkan dekrit berisi rencana pembangunan jalur rel kereta api di Hindia Belanda. Namun baru 25 tahun kemudian rencana itu diwujudkan. Pada 1888 delapan jalur utama kereta api, semua di Jawa, beroperasi menghubungkan 15 kota besar.

Kehadiran silih berganti teknologi ini, yang diterapkan oleh para insinyur terbaik, bukannya tidak mendatangkan persoalan. Mrazek mengutip ucapan Rietsema van Eck, seorang insinyur kereta api terkemuka, yang menyebut peradaban yang dibangun Belanda di koloni sebagai “sebuah kewibawaan lapisan atas atau permukaan yang ditebarkan, dan menutupi kewibawaan penduduk asli.”

Mrazek juga menampilkan tulisan Mas Marco Kartodikromo di surat kabar Doenia Bergerak yang dengan kritis mengungkap permasalahan serius yang muncul di tengah deru pembangunan jalan raya: “Kaum tani menggali pasir, bukan menggali di ladang mereka… Sudah pasti bahwa akan selalu kekurangan pasir… dan, pada akhirnya, tak aka nada mobil yang mogok di jalanan yang bagus itu.”

Editor: Redaksi

COMMENTS

//