• Kolom
  • Mendengar Bukit Algoritma Sukabumi, Teringat Bandung Teknopolis

Mendengar Bukit Algoritma Sukabumi, Teringat Bandung Teknopolis

Sebelum rencana pembangunan Bukit Algoritma Sukabumi sebagai Silicon Valley-nya Indonesia berembus kencang, pernah ada BandungTeknopolis. Sekadar gimik?

Tri Joko Her Riadi

Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id

Warga menikmati waktu bersepeda mereka di kawasan Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Gedebage. Kawasan ini merupakan bagian dari konsep pengembangan kota terpadu berbasis teknologi seluas 800 hektare yang dinamai Bandung Teknopolis.

13 April 2021


BandungBergerak.id - Kabar tentang rencana pembangunan Bukit Algoritma Sukabumi bertebaran di media daring dalam tiga hari terakhir. Memang betul begitu. Yang dikabarkan adalah rencana.

Meski masih berupa rencana, kabar ini dijamin sukses berat menarik perhatian pembaca. Resepnya, nama Silicon Valley dibawa-bawa. Siapa tak terpesona mendengar kisah dan mitos tentang lembah di California selatan yang jadi markas Apple, Google, Facebook, Netflix, dan sederet nama lain yang menjulang di jagat teknologi hari ini?

Kita diajak membayangkan perusahaan-perusahaan raksasa seperti itu kelak muncul di lahan seluas 888 hektare di Cikidang dan Cibadak, Sukabumi. Kita diajak bermimpi bahwa mereka nantinya mampu bicara banyak di kancah internasional sembari memberi sumbangan signifikan bagi upaya menyejahterakan bangsa. Atau sedikitnya menekan angka kemiskinan di rumahnya sendiri, Kabupaten Sukabumi, yang pada 2020 lalu tercatat di angka 7,09 persen, atau setara dengan sekitar 175 ribu jiwa.

Kita tahu, rencana membangun ‘Silicon Valley berikutnya‘ di Sukabumi ini bukan yang pertama kali muncul ke publik. Ia jadi kelatahan yang diomongkan pejabat di berbagai kota di Indonesia. Di Bandung, pernah muncul gagasan membangun sebuah kota kecil baru yang dikelola dan dikembangkan berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Namanya tak kalah keren dari Bukit Algoritma Sukabumi itu: Bandung Teknopolis.

Kita tahu, inisiatif Pemerintah Kota Bandung membangun ekosistem digital itu kini tidak jelas keberlanjutannya. Yang terbukti memanen hasil adalah, dan ini sebetulnya sudah dikhawatirkan banyak pihak sejak ide Bandung Teknopolis digulirkan, bisnis properti.

400 Ribu Tenaga Kerja

Bandung Teknopolis, istilah yang dipopulerkan oleh Wali Kota Ridwan Kamil, berlokasi di Gedebage, sebuah kecamatan di kawasan timur Kota Bandung yang masih memiliki ruang terbuka hijau (RTH), terutama berupa sawah, cukup luas. Di era Dada Rosada (2003-2013), Gedebage sudah digadang-gadang bakal menjadi pusat pertumbuhan primer baru. Termasuk, lokasi pemindahan pusat pemerintahan dari kota lama (Alun-alun dan Balai Kota).

Ridwan Kamil (2013-2018), berlatar belakang seorang arsitek, menambahkan dimensi baru dalam pengembangan Gedebage, yakni penciptaan kawasan yang modern dan canggih. Dinamai teknopolis, konsep ini secara formal dimasukkan ke dalam dokumen Rencana Detail Tata Ruang dan Kawasan (RDTRK). Lalu, dipromosikan ke banyak forum. “Bandung Teknopolis, The Silicon Valley of Indonesia”, begitu salah satu kalimat yang tertulis.

Kawasan modern tempat tumbuhnya ekosistem digital itu akan jadi kota terpadu tempat orang tinggal dan bekerja. Diklaim, 400 ribu tenaga kerja bakal terserap. Begitulah mantra lain sang wali kota.

Teknopolis direncanakan dibangun di lahan seluas 800 hektare dari total luas Gedebage 978 hektare. Jangan bayangkan sebuah lahan seluas itu berupa tanah kosong atau sawah. Jangan pula bayangkan semua lahan itu merupakan aset pemerintah. Ada delapan pemangku kepentingan di sana. Pemilik lahan terluas, sekitar 300 hektare, adalah sebuah pengembang.

Ketika pengguliran konsep Teknopolis ternyata berjalan beriringan dengan promosi properti si pengembang, banyak orang mulai bertanya. Betulkah Bandung Teknopolis dibuat untuk warga kota? Atau jangan-jangan ia ditiupkan demi bisnis properti?

Kekhawatiran itu makin membesar karena tidak ada perubahan signifikan di Gedebage, selain makin rapatnya iring-iringan truk pengangkut tanah keluar-masuk lokasi proyek dan makin cemasnya para penghuni kawasan perumahan lama setiap kali hujan deras mengguyur. Gedebage, salah satu titik terendah di Cekungan Bandung yang secara alamiah menjadi tempat parkir air, rentan menderita banjir genangan. Ridwan Kamil tentu saja membantah semua kekhawatiran itu.

Gimik?
Ketika mengomentari rencana pembangunan Bukit Algoritma Sukabumi, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengingatkan agar istilah Silicon Valley digunakan secara hati-hati. Untuk membangun ekosistem digital seperti Silicon Valley, ada sedikitnya tiga unsur pendukung yang harus dihadirkan, yakni industri pendukung inovasi, perguruan tinggi riset, serta institusi finansial.

“Kalau tiga poin tadi tidak hadir dalam satu titik, yang namanya istilah Silicon Valley itu hanya gimik branding saja,” kata Ridwan Kamil, dikutip dari Kompas.com.

Kita bisa menelusuri apa yang sudah dikerjakan Pemerintah Kota Bandung di bawah Ridwan Kamil untuk menyulap Gedebage menjadi Silicon Valley. Pada 27 Januari 2015, Ridwan menawarkan peluang itu ke Duta Besar Kerajaan Belgia untuk Indonesia Patrick Hermann. Bidang yang disasar adalah pengembangan teknologi perkeretaapian.

Pada Februari 2016 giliran sang wali kota mempromosikan teknopolis kepada duta besar 14 negara Uni Eropa yang berkunjung ke Bandung. Selanjutnya, pada 23 Maret 2017 Ridwan menyebut-nyebut peluang berinvestasi di Bandung Teknopolis kepada perwakilan Pemerintah Kota Toyota.

Seberapa jauh hasil promosi-promosi itu? Sudahkah ada nota kesepahaman yang ditandatangani? Berapakah jumlah investor yang sudah berkomitmen menjadi bagian dari Bandung Teknopolis? Kita belum tahu informasinya.

Yang jelas pada Juli 2017 Summarecon Bandung, pengembang pemilik lahan terluas di Bandung Teknopolis, mengumumkan kerja sama hibah lahan seluas 6.027 meter persegi dari PT Summarecon Agung Tbk., melalui anak perusahaannya, PT. Mahkota Permata Perdana kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) untuk pembangunan Institut Teknologi Bandung (ITB) Innovation Park. Ke depan luas total lahan pusat riset itu akan ditambah hingga menjadi genap satu hektare.

Bagaimana tindak lanjut kerja sama itu? Sejauh apa Pemkot Bandung bisa berperan dalam kerja sama kedua institusi? Kita juga belum tahu banyak.

Yang kita tahu, pada akhir Januari 2021, seperti dilaporkan Tempo.co, ITB malah melontarkan gagasan membangun kawasan yang menonjolkan industri digital 4.0, semacam Silicon Valley, di Jatinagor. Bukan Gedebage. Namanya pun sudah disebut dengan sangat spesifik: Jatinangor Valley.

Kita lalu bisa mengajukan pertanyaan lebih jauh lagi. Misalnya, bagaimana nasib pemangku kepentingan lain di Bandung Teknopolis itu? Apakah pusat riset juga akan didirikan di sana? Bagaimana caranya mereka dijadikan bagian dari Bandung Teknopolis? Jangan-jangan kekhawatiran orang itu benar: Bandung Teknopolis ini proyek eksklusif.

Pengembangan lahan-lahan yang jadi aset Pemkot pun begitu lambat. Berbagai rencana besar mengelola dan mengembangkan kawasan Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), misalnya, tinggal jadi rencana.

Kesinambungan Bandung Teknopolis kian samar setelah Ridwan Kamil meninggalkan Bandung untuk menjadi Gubernur Jawa Barat pada 2018. Oded M. Danial, penggantinya, sepertinya tidak terlalu berminat menjadikannya program jagoan. Gedebage disebut sebagai Pusat Kota Tambahan.

Begitulah riwayat Bandung Teknopolis. Saat ini belum terlihat 400 ribu pekerjaan yang berulang kali dijanjikan. Belum terlihat antrean perusahaan teknologi untuk berkantor di Gedebage. Yang terlihat: kavling-kavling rumah megah yang laris terjual di satu sisi, sementara di sisi lainnya warga yang cemas membayangkan banjir selama musim penghujan.

Bukan Kerja Semalam

Membangun sebuah kawasan yang jadi jantung ekosistem digital, yang bisa dinamai apa saja agar lebih ‘menjual’ entah Bandung Teknopolis atau Bukit Algoritma Sukabumi, bukan kerja semalam. Dibutuhkan komitmen dan kehendak politik yang betul-betul kuat.

Ridwan Sutriadi dalam bukunya Teknopolis: Perspektif Perencana Kota (2018) menyebut delapan komponen yang ditemukan di teknopolis-teknopolis di berbagai belahan dunia yang tidak semua berhasil gilang-gemilang, tapi juga ada yang gagal berantakan. Ke-8 komponen itu adalah fokus pengembangan, guna lahan, konsep tata ruang dengan wilayah sekitarnya, aktor-aktor serta struktur kekuasaan dan kewenangan, tata kelola kawasan atau perkotaan, peluang pengembangan sumber daya saing wilayah dan kota, inovasi untuk pengembangan berkelanjutan, serta karakteristik lahan.

Dari sini kita bisa berpendapat kalau keberhasilan menggoda investor besar atau mendirikan pusat riset (yang baru satu buah) belum akan membuat segala-galanya mulus. Perjalanan masih sangat jauh. Masih ada sekian banyak kerja besar yang harus dituntaskan agar mimpi memiliki Silicon Valley tidak jadi igauan di siang bolong.

Kita belum tahu seperti apa ujung kisah Bukit Algoritma Sukabumi. Tapi, kalau akhirnya ia mengulangi apa yang terjadi di Bandung Teknopolis, bolehkah kita menyebutnya, mengutip kata-kata Gubernur Ridwan Kamil, sebagai sekadar gimik? 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//