• Riset
  • RISET UNPAR: Menyiapkan UMKM Menghadang Resesi

RISET UNPAR: Menyiapkan UMKM Menghadang Resesi

Pengendalian internal menjadi kunci keberlanjutan ekonomi UMKM. Mayoritas belum optimal.

Pedagang menunggu pembeli kios suvenirnya di Teras Cihampelas, Bandung, yang semakin sepi oleh pembeli, 10 Mei 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Tim Penulis BandungBergerak.id24 November 2022


Riset BandungBergerak.id—Belum reda kecemasan akibat dampak kenaikan harga BBM, media ramai-ramai memberitakan mengenani ancaman resesi. Peringatan tersebut disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani, disusul Presiden Joko Widodo. Presiden menyinggung situasi global yang berpotensi memicu krisis resesi. Mulai dari pelemahan mata uang akibat pengetatan likuiditas global, perang Rusia-Ukraina, hingga inflasi di banyak negara.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno punya pandangan berbeda. Menteri cum pengusaha ini tidak menampik potensi ancaman resesi dan pelambatan ekonomi yang mengancam di 2023. Resesi akan berdampak pada ketersediaan lapangan kerja. Resesi yang dipicu inflasi membutuhkan perbaikan pada sisi suplai. Namun dia optimis UMKM yang menjadi penyangga perekonomian akan bertahan, malah berpeluang tumbuh asalkan dipersiapkan sejak awal.

Sektor UMKM menjadi lini usaha yang paling banyak di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 menyebutkan jumlah UMKM mencapai 65,46 juta unit. Jumlahnya setara dengan 99,99 persen dari seluruh unit usaha di Indonesia. Jenis usaha kategori besar sendiri hanya5.637 unit usaha atau setara 0,01 persen saja. Serapan tenaga kerja sektor UMKM juga paling besar. Tahun 2019 ada 119,56 juta tenaga kerja bekerja di sektor UMKM. Angka itu setara 96,2 persen pangsa tenaga kerja yang ada yang jumlahnya 123,368 juta orang.

UMKM pun masih tumbuh di tengah situasi pandemi Covid-19. Data BPS mencatat penambahan 1,271 juta UMKM baru di tahun 2019. Kendati masih tumbuh, pandemi mendistrosi serapan tenaga kerja di sektor UMKM yang justru turun 2,58 juta orang. Tahun 2019 serapan tenaga kerja di sektor UMKM mencapai 116,978 juta orang atau setara 97 persen pangsa pasar tenaga kerja saat itu.

Sejumlah situasi krisis perekonomian yang melanda Indonesia menjadi pembuktian UMKM sebagai sektor usaha yang bisa terus bertahan, bahkan tumbuh. Sektor tersebut menjadi penyangga perekonomian nasional. Tak mengherankan jika penguatan UMKM selalu menjadi rumus  baku pemulihan ekonomi Indonesia. Namun penguatan apa yang efektif bagi UMKM Indonesia?

Penelitian yang dilakukan Samuel Wirawan, Hamfri Djajadikerta, dan Amelia Setiawan dari Fakultas Ekonomi, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung menjadi relevan karena membedah tata kelola UMKM yang justru dibutuhkan untuk keberlanjutan lini usaha. Hasil penelitian tersebut terbit dalam Jurnal Administrasi Bisnis Volume 10 Nomor  1, Maret 2021, dengan judul “Penerapan Pengendalian Intern pada 13 UMKM di Bandung”.

Baca Juga: RISET UNPAR: Seni Terpadu atau Integrated Arts sebagai Alternatif Pendidikan Kesenian
RISET UNPAR: Model Matematika untuk Mencegah Penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD) pada Kelompok Usia Muda
RISET UNPAR: Pandemi Mengubah Perilaku Warga, Belanja Daring Jadi Pengisi Kesenangan

Kunci UMKM Bertahan

Peneliti berpijak pada hasil penelitian Bruwer, Coetzee, & Meiring (2018) di Afrika Selatan yang menemukan hanya 25 persen UMKM di Afrika Selatan yang memiliki kompetensi manajerial. Ketiadaan kompetensi manajerial tersebut menjadi penyebab 75 persen UMKM di Afrika Selatan tutup di tahun ketiga usaha mereka. UMKM umumnya menemukan kendala saat lini usahanya mulai berkembang. Yakni gagap saat mengelola risiko, serta kesulitan menjaga aset perusahaan dan sumber. Bruwer dkk. mendapati pengendalian internal jadi kunci sukses agar UMKM mengatasi masalah tersebut.

Enow dan Karmala (2016) juga menemukan banyak UMKM yang belum menerapkan pengendalian internal dengan baik. Kemudian Umrani dan Johl (2016) menemukan 50 persen UMKM di Malaysia bangkrut karena penyalahgunaan aset perusahaan, penyalahgunaan dana perusahaan, kesalahan laporan, dan investasi ilegal; ini adalah faktor-faktor yang menjadi perhatian dalam pengelolaan pengendalian internal.

Penelitian yang dilakukan Samuel Wirawan, Hamfri Djajadikerta, dan Amelia Setiawan menelisik penerapan pengendalian internal UMKM di Indonesia. Penelitian dilakukan pada 13 UMKM di Bandung yang bergerak di bidang kuliner. Penelitian tersebut membedah penerapan pengendalian internal dikaitkan dengan efisiensi dan operasi, pelaporan keuangan, kepatuhan pada peraturan, serta analisis penerapan komponen dalam pengendalian internal itu sendiri.

Ratusan tenda PKL, sebelum dipindahkan ke kawasan Monumen Juang (Monju), menutup akses Jalan Sentot Alibasyah dan wilayah sekitar Gasibu, Kota Bandung, Jawa Barat, pada Januari 2014 lalu. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Ratusan tenda PKL, sebelum dipindahkan ke kawasan Monumen Juang (Monju), menutup akses Jalan Sentot Alibasyah dan wilayah sekitar Gasibu, Kota Bandung, Jawa Barat, pada Januari 2014 lalu. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Membedah Jeroan UMKM

Efektivitas dan efisiensi menjadi salah satu tujuan menerapkan pengendalian internal pada suatu organisasi. Efektivitas terkait pencapaian tujuan, sedangkan efisiensi dengan optimalisasi penggunaan sumber daya. Pengendalian internal yang baik akan memudahkan pemisahan fungsi dalam organisasi, penyusunan pelaporan keuangan yang memadai, melakukan pengawasan dan pengendalian yang efektif. Pengendalian internal akan banyak membantu dalam pengelolaan risiko sekaligus melakukan aktivitas pengendalian yang memadai.

Ada 13 UMKM yang diteliti. Umumnya bergerak di bisnis restoran dan kafe. Minuman kopi menjadi sajian utama, selain aneka ragam dan minuman.

Dari UMKM yang diteliti tersebut 23,1 persen berada pada skala usaha mikro; 30,8 persen usaha kecil; dan 46,2 persen usaha kategori menengah. Dari segi bentuk badan usaha yang paling banyak yakni 61,5 persen merupakan usaha perorangan, sisanya yakni 38,5 persen sudah berbadan hukum dengan bentuk Perusahaan Terbatas.

Seluruh UMKM yang diteliti mempekerjakan pelayan untuk melayani pelanggan. Berkisar 53,18 persen mempekerjakan 11-30 orang karyawan; 30,8 persen memiliki karyawan kurang dari 10 orang; hanya 15,4 persen yang mempekerjakan karyawan lebih dari 30 orang.

Umumnya UMKM yang diteliti melakukan berbagai aktivitas seperti pembelian, penjualan, produksi, keuangan, dan pengelolaan sumber daya manusia. Sekitar 70 persennya melakukan semua aktivitas tersebut dengan efektif. Namun pengelolaan sumber daya manusia merupakan aktivitas paling sedikit yang dilakukan UMKM karena dianggap sebagai aktivitas pengendalian yang paling kompleks.

Pengelolaan biaya-biaya operasi masih menjadi tantangan bagi UMKM. Semua UMKM yang diteliti belum bisa dengan optimal melakukan pengelolaan biaya operasi.

Pengelolaan biaya yang terkait dengan proses produksi relatif dilakukan lebih efisien. Hal ini dikarenakan aktivitas proses produksi baru dilakukan setelah melakukan aktivitas pemesanan. Aktivitas pemasaran dan promosi membutuhkan biaya yang tidak sedikit dinilai tidak memberi dampak langsung. Pengelolaan biaya terkait aktivitas sumber daya manusia dan pembelian menjadi biaya yang dianggap paling inefisien karena hasilnya dinilai bisa memberi dampak langsung  pada penjualan. 

Aktivitas UMKM yang langsung berkaitan dengan biaya keuangan juga belum dilakukan dengan efisien. Umumnya disebabkan terbatasnya akses keuangan pada perbankan sehingga memaksa manajemen memenuhi kebutuhan pembiayaan pada pihak lain yang sering meminta tingkat bunga pengembalian yang besar.

UMKM yang diteliti umumnya telah memiliki prosedur operasi baku (POB) baik dalam bentuk tertulis, atau hanya sebatas lisan. Namun, hanya sedikit yang memiliki POB yang mengatur aktivitas pengelolaan sumber daya manusia.

POB ini akan mempengaruhi efektivitas dan efisiensi pada kegiatan operasi. Namun UMKM yang diteliti menganggap POB dalam bentuk tertulis belum jadi prioritas. POB tertulis umumnya hanya untuk memandu proses operasi. POB dalam bentuk tertulis umumnya hanya digunakan untuk memandu aktivitas produksi agar aktivitas tersebut bisa dilakukan mengikuti tahapan yang terstruktur agar mendapat hasil produksi yang konsisten. UMKM yang diteliti umumnya belum memiliki POB tertulis untuk memandu aktivitas pembelian karena aktivitas tersebut langsung ditangani pemilik.

Menyusun Laporan Keuangan

Analisa selanjutnya ditujukan pada keandalan laporan yang merupakan tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan pengendalian internal. Keandalan laporan yang dimaksud dalam arti yang luas. Tidak hanya laporan keuangan, tapi keandalan laporan manajemen. Laporan yang andal akan membantu pengambilan keputusan organisasi.

Penyusunan laporan keuangan umumnya masih menjadi kendala. UMKM yang diteliti umumnya menganggap Laporan Arus Kas adalah Catatan Kas Masuk dan Kas Keluar.

Dari 13 UMKM yang diteliti tersebut 61,5 persennya belum melakukan pelaporan keuangan yang sepenuhnya terkomputerisasi. Ada 23,1 persenya masih melakukan dengan manual. Hanya 15,4 persen yang telah melakukan pencatatan keuangan dengan terkomputerisasi penuh. Perusahaan skala mikro umumnya masih melakukan pencatatan keuangan dengan manual karena alasan biaya.

Mayoritas UMKM yang diteliti menyusun laporan keuangan sendiri tanpa bantuan pihak luar. Alasannya biaya yang dikeluarkan untuk jasa tersebut relatif masih mahal bagi UMKM. Laporan keuangan yang dilakukan UMKM juga umumnya belum melewati proses audit karena sebagian besar masih merupakan usaha milik pribadi. Hanya bentuk usaha PT yang wajib melakukan audit laporan keuangan.

Kepatuhan pada Peraturan

Selanjutnya, analisa yang dilakukan pada ketaatan pada peraturan sebagai tujuan pengendalian internal. Peraturan yang dimaksud adalah peraturan secara luas yang meliputi regulasi yang ditetapkan pemerintah, termasuk kebijakan dan peraturan yang ditetapkan manajemen untuk internal perusahaan untuk mencapai target. Ketaatan pada peraturan akan mengurangi risiko munculnya masalah.

Salah satu regulasi yang terkait erat dengan badan usaha adalah aturan upah minimum, Analisa Dampak Lingkungan, serta pajak. Dari tiga aturan tersebut 92,3 persen menaati aturan pajak; 84,6 persen patuh pada aturan lingkungan; namun hanya 46,2 persen yang mematuhi aturan upah minimum.

Aturan perpajakan paling banyak dipatuhi karena memiliki sanksi yang jelas dan besar karena bersifat akumulatif jika diabaikan. Aturan lingkungan umumnya masih dipatuhi karena adanya keterlibatan masyarakat lingkungan sekitar yang bisa menuntut perusahaan jika merugikan lingkungan. Sementara aturan mengenai upah relatif paling rendah dipatuhi karena UMKM yang diteliti paling banyak menggunakan tenaga kerja paruh waktu dan tidak memiliki keahlian khusus sehingga memiliki daya tawar yang lemah untuk menuntut mendapat bayaran secara profesional.

Pengendalian Internal UMKM

Selanjutnya analisa dilakukan pada komponen pengendalian internal. Komponen tersebut meliputi lingkungan pengendalian, menaksir risiko, aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi serta pemantauan. Pada perusahaan dengan jumlah karyawan yang banyak akan menerapkan setiap komponen pengendalian ini dengan memadai. Namun tidak semuanya harus diterapkan, masing-masing entitas bisa menyesuaikan diri mengikuti kemampuannya masing-masing. Pada UMKM sering kali hanya sebagian kecil komponen pengendalian internal yang diterapkan.

Mayoritas UMKM yang diteliti menilai lingkungan pengendalian yang dilakukan manajemen masih belum memadai. Mayoritas aktivitas sehari-hari masih di intervensi oleh pemilik secara langsung karena sebagian besar UMKM masih berbentuk perusahaan perseorangan.

Mengenai pengendalian risiko, UMKM yang diteliti umumnya memberikan penilaian cukup memadai. Padahal industri kuliner merupakan jenis usaha yang memiliki risiko tinggi karena persaingannya yang ketat dan loyalitas konsumen yang tidak terlalu tinggi. Dengan manajemen risiko yang hanya cukup memadai menjadi tantangan tersendiri bagi UMKM.

Selanjutnya, sebagian besar UMKM menilai rancangan aktivitas pengendalian dan penerapannya sudah memadai. Khusus UMKM yang masuk skala usaha mikro merasakan belum memadai, namun dengan jumlah karyawan masih masih relatif sedikit, manajemen masih merasa mampu mengawasi langsung aktivitas karyawannya.

Umumnya UMKM yang diteliti menilai telah memiliki informasi dan komunikasi yang memadai karena umumnya merupakan usaha kecil dan menengah dengan aktivitas keterlibatan manajemen atau pemilik langsung relatif tinggi. Umumnya tidak ada kendala untuk berkomunikasi intensif dengan karyawan yang terlibat.

Mayoritas UMKM menilai pemantauan yang dilakukan sudah cukup memadai. Manajemen juga memberikan porsi yang relatif besar pada pengendalian internal. Pemantauan menjadi hal yang penting untuk memastikan pengendalian internal berada dalam jalurnya.

Saran

Penelitian yang dilakukan Samuel, Hamfri, dan Amelia tersebut memberi gambaran penerapan pengendalian internal yang dipraktekkan oleh 13 UMKM yang bergerak di bidang kuliner di Bandung. Mayoritas telah melakukan pengendalian internal yang relatif memadai yang diharapkan bisa menjadi gambaran untuk membantu UMKM lainnya menilai dan melakukan perbaikan pada pengelolaan usahanya.

“Temuan dari penelitian ini diharapkan dapat membantu UMKM untuk mengelola usahanya menjadi lebih efektif dan efisien; menyediakan laporan yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan; dan mendukung kepatuhan pada peraturan,” tulis peneliti.

*Artikel RISET UNPAR terbit sebagai bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Unpar Bandung

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//