Pengesahan KUHP sebagai Pukulan Mudur terhadap Hak Asasi Manusia
Penolakan terhadap KUHP ini meluas di berbagai kota di Indonesia. Di Bandung, demonstrasi menuntut penundaan pengesahan RKUHP dilakukan organisasi masyarakat sipil.
Penulis Iman Herdiana7 Desember 2022
BandungBergerak.id - DPR telah mengesahkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) melalui rapat paripurna, Selasa (6/12/2022). Pengesahan undang-undang yang banyak ditentang ini dinilai sebagai pukulan mudur dalam melindungi hak asasi manusia (HAM). Sebab KUHP membatasi kebebasan berkumpul yang dijamin di Indonesia selama lebih dari dua dekade.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan bahwa pengesahan RKUHP menjadi KUHP merupakan pukulan mudur bagi kemajuan Indonesia yang telah diraih dengan susah payah dalam melindungi hak asasi manusia dan kebebasan dasar selama ini.
“Fakta bahwa pemerintah Indonesia dan DPR setuju mengesahkan hukum pidana yang secara efektif melemahkan jaminan hak asasi manusia sungguh mengerikan,” kata Usman Hamid, dalam siaran pers yang dikutip Rabu (7/12/2022).
Usman Hamid mengatakan KUHP baru yang kontroversial dan melampaui batas ini hanya akan lebih memperburuk ruang sipil yang sudah menyusut di Indonesia.
Menurutnya, pemberlakuan kembali ketentuan yang melarang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, pemerintahan yang sedang menjabat serta lembaga negara akan semakin menghambat kebebasan berpendapat sambil mengkriminalisasi perbedaan pendapat yang sah dan damai.
Begitu juga dengan larangan demonstrasi publik tanpa izin dianggap dapat membatasi hak untuk berkumpul secara damai.
“KUHP yang baru secara praktis memberikan wewenang kepada mereka yang berkuasa di masa sekarang dan ke depan untuk menekan pendapat yang tidak mereka sukai melalui penegakan hukum yang selektif. Ini dapat menciptakan iklim ketakutan yang menghambat kritik damai dan kebebasan berkumpul,” terang Usman Hamid.
Hal lain yang diatur KUHP ini antara lain melarang hubungan seks di luar nikah. Larangan ini dinilai pelanggaran atas hak privasi yang dilindungi oleh hukum internasional.
Ketentuan ‘moralitas’ tersebut bahkan berpotensi disalahgunakan untuk mengkriminalisasi korban kekerasan seksual. Berpotensi juga menyasar warga hanya karena mereka memiliki identitas dan ekspresi gender tertentu seperti komunitas LGBTI.
“Hubungan seksual konsensual tidak boleh diperlakukan sebagai kriminal,” tandasnya.
Menurut Usman, KUHP seharusnya tidak pernah disahkan sedari awal dan merupakan kemunduran dramatis dari kemajuan hak asasi manusia di Indonesia. Alih-alih menghancurkan kemenangan hak asasi yang diperoleh dengan susah payah, pemerintah Indonesia dan DPR seharusnya memperbaiki kondisi kemunduran kebebasan sipil dan memenuhi komitmen hak asasi manusia dan kewajiban konstitusional mereka untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Diketahui, Selasa (6/12/2022), DPR mengesahkan KUHP yang baru, sebuah revisi terhadap KUHP produk era kolonial Belanda yang sebagian besar tidak berubah sejak 1908.
Pasal-pasal Bermasalah
KUHP baru disahkan DPR di tengah kritik publik yang meluas atas ketentuan yang berpotensi disalahgunakan dan disalahtafsirkan untuk membatasi hak asasi manusia secara berlebihan, termasuk hak atas kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat secara damai, privasi, serta hak reproduksi seksual.
KUHP baru mengembalikan pasal-pasal yang melarang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden – yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006 – baik secara langsung maupun melalui sarana audiovisual atau digital, masing-masing dapat dihukum hingga 3,5 tahun dan 4,5 tahun penjara.
Di dalam KUHP kemudian terdapat pasal-pasal yang mengkriminalisasi penghinaan terhadap lembaga pemerintah dan negara yang sah, dan juga melarang demonstrasi publik tanpa izin yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Ketentuan luas ini dapat disalahgunakan untuk menekan kritik yang sah dan pertemuan damai.
KUHP juga mempertahankan penjara sebagai hukuman untuk pencemaran nama baik dan penodaan agama, sementara tetap mempertahankan ketentuan makar yang selanjutnya dapat membatasi hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi serta kebebasan beragama atau berkeyakinan.
Hubungan seks di luar nikah diancam hukuman pidana satu tahun penjara dan kohabitasi di luar nikah selama enam bulan penjara. Ini juga berpotensi mengkriminalisasi promosi kontrasepsi sambil mempertahankan aborsi sebagai tindakan kriminal.
Selain itu, ketentuan baru tentang genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam KUHP yang menghilangkan prinsip retroaktif bertentangan dengan hukum internasional hak asasi manusia dan berpotensi menutup akses korban pelanggaran HAM berat masa lalu terhadap keadilan, kebenaran, dan pemulihan yang komprehensif.
Penolakan terhadap KUHP ini meluas di berbagai kota di Indonesia. Di Bandung, demonstrasi menuntut penundaan pengesahan RKUHP dilakukan organisasi masyarakat sipil dan komunitas pers, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, LBH Bandung, Aksi Kamisan Bandung, mahasiswa, dan lain-lain.
AJI Bandung menggarisbawahi sedikitnya ada 17 pasal dalam KUHP yang membahayakan kebebasan pers. Sementara itu LBH Bandung melalui akun Instagram resminya menyatakan bahwa produk hukum ini bisa memenjarakan siapa saja. KUHP dinilai merugikan rakyat dan hanya menguntungkan kalangan tertentu.
“Dengan beragam pasal yang berpotensi memenjarakan siapa saja. Pengesahan RKUHP, tidak hanya akan semakin memperkuat kesewenang-wenangan negara, tetapi juga menguntungkan para pemodal dalam memuluskan agendanya untuk mengeruk keuntungan. Sementara rakyat akan dipaksa menyepakati seluruh kebijakan negara sekalipun itu merugikan. Maka dari itu pengesahan RKUHP perlu ditolak! #TolakRKUHP #semuabisakena,” demikian pernyataan LBH Bandung.
LBH Bandung mencatat sedikitnya ada 11 pasal bermasalah yang mengancam kebebasan berekspresi, di antaranya kritik terhadap pemerintah, menyiarkan berita yang dianggap bohong, pacaran, pulang malam, belajar pemahaman di luar Pancasila, konvoi suporter, dan lain-lain.