Tahun Politik yang Penuh Gosip
Salah satu cara menekan dampak gosip politik bernuansa negatif dan tanpa data yang dapat memecah bangsa yakni dengan penghayatan pada etika politik.
Agustinus Siswani Iri
Rohaniwan Katolik, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
24 Januari 2023
BandungBergerak.id—Pemilu serentak tahun 2024 diperkirakan akan melelahkan dan membebankan moralitas. Melelahkan baik tenaga, pikiran dan perasaan serta dapat membebankan moralitas kehidupan. Tahun 2023, setahun menjelang pemilu serentak bakal menjadi tahun yang penuh gosip politik. Gosip politik dapat dikatakan baik untuk melihat kepribadian calon pemimpin publik, namun menjadi tidak baik bila mengarah pada kebencian dan tanpa dukungan data yang akurat.
Gosip dianggap sebagai gambaran dan cerminan masyarakat masa kini. Gosip atau gibah, memang lekat dengan kehidupan sehari-hari. Baik itu obrolan di tempat kerja, berbagi berita keluarga, atau teks grup antar teman. Tidak dapat dihindari bahwa setiap orang berbicara tentang orang lain di mana saja dan kapan saja dengan media maupun tanpa media. Faktanya, sebuah studi observasi tahun 1993 menemukan bahwa partisipan pria menghabiskan 55% waktu percakapan dan partisipan wanita menghabiskan 67% waktu percakapan dalam diskusi tentang topik yang relevan secara sosial.
Masa kampanye panjang akan menjadi medan pertempuran saling menjatuhkan. Forum debat kontestan di layar televisi lebih banyak mempertontonkan rendahnya kualitas intelektualitas politisi yang saling sindir dan bergosip menjelekkan satu sama lain tanpa data yang akurat. Terlihat di awal tahun 2023 ini yang ditonjolkan pada publik, sebatas mampu mengungkit kelemahan masa lalu dengan melakukan serangan pribadi ataupun kepada partai yang merupakan lawan tandingan ketimbang gagasan untuk membangun Indonesia ke depannya.
Di awal tahun politik 2023 ini terlihat hiruk-pikuk penggosip mulai dari para politisi sampai ke rakyat akar rumput. Mengherankan bahwa gosip yang menjurus ke arah yang negatif dengan saling jegal kandidat bakal calon pemimpin diumbar terbuka di ruang publik.
Orang cenderung menganggap gosip identik dengan rumor jahat, fitnah, atau penyebaran berita yang menghebohkan. Dalam meta-analisis 2019 yang diterbitkan dalam jurnal Social Psychological and Personality Science, Robbins dan rekannya menemukan bahwa 467 subjek menghabiskan waktu untuk bergosip rata-rata 52 menit sehari.
Bila gosip negatif dengan intensitas seperti ini di pertahankan, hal ini akan menjadi pembelajaran buruk bagi generasi yang akan datang. Gosip tanpa makna akan menjauhkan rakyat dari impian tampilnya pemimpin andalan masa depan. Situasi ini diperparah dengan berita-berita tanpa verifikasi berisi ujaran kebencian, isu SARA dan bahkan hoaks di sejumlah platform media sosial di tahun politik ini dan diprediksi akan menguat ke depannya.
Saat ini siapa pun bisa memproduksi informasi lewat postingan di media sosial dan menyebarkannya tanpa memerlukan verifikasi. Hal ini akan sulit untuk dicegah. Bahkan media arus utama (konvensional) pun tidak bisa mengimbanginya. Efeknya bisa bermacam-macam seperti polarisasi antara masing-masing pendukung pasangan calon sampai terjadinya disintegrasi bangsa.
Lebih khusus lagi, maraknya gosip politik identitas akan mengancam persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia. Penggunaan isu politik identitas dalam menghimpun dukungan politik mempunyai lubang besar yang bisa saja ditumpangi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dan memang menginginkan perpecahan Indonesia.
Salah satu contohnya dapat terlihat pada pilkada DKI dan pilpres 2014 . Berdasarkan hasil survei Polmark, sebanyak 5,7% responden merasa bahwa pilkada DKI Jakarta 2018 telah merusak hubungan pertemanan. Angka ini naik dari survei serupa pada pilpres 2014. Saat itu, sebanyak 4,3% pemilih menganggap pilpres memicu keretakan hubungan pertemanan di masyarakat. Hal serupa juga terjadi pada pemilu 2019.
Bila kita membandingkan dengan contoh kasus di negara lain terkait perpecahan bangsa, maka dapat dilihat pada negara Kenya. Kasus perpecahan bangsa setelah pemilihan umum (pemilu) pernah terjadi di Kenya tahun 2007. Persaingan antara dua kandidat calon presiden, berujung konflik yang mengakibatkan 630 ribu orang kehilangan tempat tinggal dan 1.133 orang terbunuh.
Potensi pelanggaran etik pada pemilu 2024 bisa saja tidak jauh berbeda dengan kejadian-kejadian pelanggaran etik pada pemilu-pemilu sebelumnya. Ada sejumlah kasus pelanggaran etik berpotensi akan terulang kembali. Jika hal ini terus berlanjut, semangat persatuan dan kesatuan yang rendah akan meningkatkan potensi polarisasi masyarakat bahkan elite politik.
Isu politik identitas juga berpotensi menghancurkan prinsip-prinsip demokrasi. Kita tahu bahwa sistem demokrasi telah menjadi sistem pemerintahan yang dianut Indonesia mengingat pluralisme masyarakatnya. Apabila populisme dalam politik identitas semakin menguat, tidak akan ada lagi keadilan sosial, persamaan hak untuk seluruh rakyat Indonesia, bahkan kebebasan untuk orang lain maupun diri sendiri.
Baca Juga: Kemudahan Kredit Motor dan Lemahnya Sistem Transportasi Publik Menyumbang Kemacetan di Kota Bandung
Belajar Mencintai Diri Apa Adanya dengan Memahami Hubungan Intrapersonal
Pengembangan Penggunaan Bisnis Digital dalam Usaha Konvensional di Era Digitalisasi
Penguatan pada Etika Politik
Salah satu cara dalam menekan gosip yang bernuansa negatif dan tanpa data yang dapat berujung pada perpecahan bangsa yakni dengan penghayatan akan etika politik. Etika politik mesti dikedepankan oleh setiap orang, kelompok orang, politisi, partai politik, pemerintah serta penyelenggara pemilu.
Di dalam bidang kehidupan sosial terlebih kehidupan bernegara, politik memiliki ajaran-ajaran moral. Etika mengkaji dan mempelajari tentang ajaran-ajaran moral dalam bidang politik, misalnya pemilu yang luber-jurdil, etika berkampanye, kewajiban masyarakat dalam menggunakan hak konstitusional, dan sebagainya.
Manusia yang memiliki sikap merupakan cerminan dari bentuk tanggung jawab sebagai makhluk yang bermartabat. Maka standar perilaku ideal dalam praktik pemilu yang bermartabat tidak lagi hanya menyandarkan diri pada ukuran-ukuran kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum legalistik sesuai prinsip rule of law saja. Namun, praktik penyelenggaraan pemilu harus dapat ditingkatkan ke tahap rule of ethics.
Hukum sangat penting, tetapi tidak lagi mencukupi untuk mengawal dan mengendalikan perilaku ideal masyarakat pasca modern ini. Pemilu yang hanya mengandalkan kontrol hukum dan keadilan hukum hanya dapat berjalan secara formalistik. Pertimbangan etis merupakan syarat mutlak dalam pemilu. Dengan mengedepankan pertimbangan etika untuk menyempurnakan logika hukum demi tegaknya keadilan substantif, maka kualitas pemilu dapat ditingkatkan tidak sekedar sebagai ritual demokrasi prosedural, tetapi menjadi lebih substansial dan berintegritas.
Etika politik dalam konteks penguatan pemerintahan demokratis yang secara khusus penguatan sistem pemilu maka seyogyanya memperhatikan proses dan hasil pemilu yang tidak sekadar demokratis dan berkualitas saja, tetapi juga berintegritas. Proses itu sangat ditentukan oleh sistem peraturan dan perundangundangan, electoral laws, dan electoral process dari penyelenggaraan pemilu itu sendiri. Pada kerangka penanganan kode etik penyelenggara pemilu menyangkut tindakan, sikap, dan perilaku jajaran penyelenggara. Penegakan kode etik penyelenggara pemilu tidak hanya mengedepankan asas prosedur formal, tetapi juga hendaklah dengan rasa keadilan susbtantif terhadap suatu kasus dugaan pelanggaran kode etik yang ditangani.
Mari kita mengawal dan menegakkan etika politik dalam percakapan kita sehari hari, di ruang-ruang formal dan nonformal antarpartai, sambutan-sambutan resmi pemerintah, di media sosial. Etika politik itu dihidupi tanpa dilihat orang maupun dilihat orang, dan mesti melekat erat ke mana saja kita berada dan kapan saja kita bertindak; dengan itu maka etika politik menjadi embrio transformasi etika pemerintahan yang baru tahun 2024 atas hasil pemilu yang bermartabat.