• Opini
  • Melawan Intoleransi dan Diskriminasi dengan Mengurangi Prasangka

Melawan Intoleransi dan Diskriminasi dengan Mengurangi Prasangka

Membiasakan diri pada keberagaman diperlukan demi mengurangi rasa takut atas perbedaan yang jadi akar prasangka untuk melawan perilaku intoleran dan diskriminatif.

Jason Matthew Limantoro

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Ratusan murid perwakilan dari 70 SMP di Kota Bandung menghadiri Ikrar Toleransi di Taman Dewi Sartika, Senin (31/1/2023). Acara ini digagas untuk menghilangkan aksi-aksi intoleran berlatar SARA dan perundungan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

3 Februari 2023


BandungBergerak.id – Agama di Indonesia memiliki peran penting yang telah menjadi bagian dari identitas individu, identitas etnis, identitas politik, dan identitas bangsa. Indonesia merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Namun, Indonesia merupakan negara yang menganut keberagaman kepercayaan dan agama. Indonesia memiliki penganut dari berbagai agama yang berbeda dengan mayoritas (sekitar 90 persen) adalah beragama Islam.

Undang-Undang 1945 memberikan sebuah basis bagi Indonesia untuk menjadi sebuah negara yang percaya akan Tuhan yang Maha Esa. Kebebasan beragama dan kepercayaan dilindungi oleh Konstitusi. Pengakuan dan perlindungan kebebasan agama juga dilindungi oleh hukum hak asasi manusia Indonesia. Selain itu, Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi hak asasi manusia internasional yang menjamin adanya kebebasan beragama dan kepercayaan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa adanya diskriminasi (Nicola Colbran, 2010).

Walaupun Indonesia melindungi setiap kebebasan beragama warga negaranya, intoleransi agama marak terjadi di Indonesia. Pemerintah Indonesia sering dituntut karena dianggap tidak mampu untuk melindungi warga negaranya dari intoleransi dan ekstremisme agama serta dianggap aktif berperan dalam melakukan intoleransi (Nicola Colbran, 2010).

Beberapa waktu yang lalu, terdapat perilaku intoleran yang dilakukan oleh seorang guru SMA di Jakarta Utara berinisial E yang meminta agar ketua OSIS sekolahnya tidak boleh beragama nonmuslim. Guru E merupakan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kemahasiswaan di sekolah tersebut. Guru E pun dilaporkan dan mendapatkan sanksi pemberhentian sementara dari jabatannya oleh Dinas Pendidikan (Detik.com, 2022).

Guru E tidak menyetujui jika ketua OSIS di sekolahnya nonmuslim karena ia berpendapat bahwa seorang ketua OSIS nonmuslim akan membuat program yang cenderung tidak pro Islam. Guru E pun dituntut untuk dilepaskan jabatan mengajarnya karena telah melanggar sumpahnya dan janjinya untuk berperilaku sesuai Pancasila (Nikita Rosa, 2022).

Baca Juga: Menakar Ambisi Manusia dalam Menjelajahi Ruang Angkasa
Tanda Bahaya Penanganan Gangguan Kesehatan Mental di Indonesia
Memanfaatkan Omnichannel untuk Keberlangsungan Bisnis di Era Digital

Persepsi Identitas dan Stereotipe

Kasus diskriminasi terhadap ketua OSIS nonmuslim tersebut dapat dijelaskan melalui persepsi identitas dari sang guru. Stereotipe negatif dan prasangka buruk dari sang guru disebabkan oleh pemahaman terhadap “Si Liyan” atau ‘The Other’. Liyan dapat diartikan sebagai proses kategorisasi terhadap sebuah kebudayaan yang mengidentifikasikan sebagai sebuah persamaan atau perbedaan.

Hubungan terhadap diri sendiri dengan si liyan memiliki keterkaitan yang antagonistik, seperti persamaan-perbedaan, lokal-asing, dekat-jauh, teman-musuh, normal-menyimpang, mayoritas-minoritas, dan seterusnya. Selain itu, kategorisasi terjadi untuk membentuk kelompok-kelompok yang berbeda. Saat aspek-aspek perbedaan (otherness) telah ditentukan, maka seseorang dapat menentukan identitasnya. Oleh karena itu, identitas merupakan proses pengelompokkan perbedaan (otherness).

Perbedaan juga terlihat dari perbandingan antara kebudayaan sendiri dengan seperangkat nilai-nilai dan norma-norma yang dianggap normal. Perbedaan karakteristik dari si liyan dilihat dari citra diri dari karakteristik individu, lokal, wilayah atau nasional, dan rasial (C?t?lin-George Fedor, 2015).

Stereotipe muncul saat perbedaan (otherness) berhasil diidentifikasi. Stereotipe kerap digambarkan sebagai citra di pikiran seorang individu, yang disebut gambaran mental (mental images). Gambaran mental membantu manusia untuk memahami lingkungannya yang kompleks terhadap informasi mengenai orang lain dan kejadian-kejadian.

Menurut Hogg dan Vaughan, terdapat beberapa karakteristik utama dari stereotipe. Pertama, stereotip merupakan gambaran sebuah anggota kelompok lain yang disederhanakan yang biasanya mengambil perbedaan yang terlihat jelas di antara kelompok yang berbeda, seperti perbedaan fisik. Kedua, stereotipe merupakan jalan pintas cara berpikir (cognitive shortcuts) yang membuat kesan secara instan terhadap orang lain. Ketiga, stereotipe merupakan hal yang stabil karena fungsinya sebagai adaptasi cara berpikir (cognitive adaptation). Keempat, stereotipe merupakan suatu hal yang diperoleh sejak masa kecil individu. Kelima, stereotip semakin berkonotasi negatif saat terjadi ketegangan atau konflik yang muncul di antara kelompok (C?t?lin-George Fedor, 2015).

Stereotipe mempermudah proses kognitif terhadap kategorisasi sosial yang menyederhanakan dan mensistematisasi informasi yang diterima terhadap situasi komunikasi yang baru. Stereotipe digunakan sebagai generalisasi negatif yang digunakan oleh in-groups/us/kami terhadap out-group/them/mereka. Stereotipe didominasi oleh ide yang  sudah ditetapkan (premade ideas) oleh in-group yang membuahkan prasangka.

Prasangka merupakan sebuah kecenderungan untuk melakukan perilaku negatif terhadap suatu kelompok. Kecenderungan tersebut didasari oleh generalisasi yang keliru tanpa mempertimbangkan perbedaan individu.

Terdapat empat karakteristik dari prasangka. Pertama, prasangka merupakan pikiran yang kategoris atau digeneralisasikan yang membuat seorang individu dinilai berdasarkan keanggotaan terhadap suatu kelompok dan bukan atribut pribadi. Kedua, prasangka adalah hal yang tidak fleksibel karena seorang individu membentuk sebuah keterikatan emosional terhadap keyakinannya dan sulit melepaskannya saat dihadapkan dengan bukti yang bertentangan. Ketiga, prasangka biasanya negatif yang menggambarkan fitur kelemahan atau fitur sosial yang tidak diinginkan out-group. Keempat, prasangka didasari oleh stereotipe yang tidak tepat terhadap citra out-group (C?t?lin-George Fedor, 2015).

Mengatasi Perilaku Intoleran dan Diskriminatif

Proses othering juga menjadi hal yang penting dalam perilaku diskriminatif terhadap out-group. Othering merupakan proses secara sadar maupun tidak sadar bahwa suatu kelompok tertentu menunjukkan sebuah ancaman terhadap kelompok yang disukai (favoured group). Hal tersebut biasanya dilakukan oleh politikus dan media massa.

Sebagian besar orang yang melakukan othering tidak memahami atau dekat dengan kelompok yang mereka bedakan. Hal tersebut menyebabkan sebuah proses untuk mengecualikan (exclusion) dan dehumanisasi terhadap kelompok out-group. Proses othering sering digunakan secara strategis oleh elit-elit konservatif untuk menciptakan dan menggunakan rasa takut terhadap out-group (John A. Powell, 2017).

Dalam kasus diskriminasi yang dilakukan oleh guru E terhadap Ketua OSIS di Jakarta Utara, terdapat stereotipe sang guru terhadap Ketua OSIS yang beragama nonmuslim. Terdapat perbedaan (otherness) terhadap ketua OSIS yang dipersepsikan oleh guru E. Guru E mengategorikan sang ketua OSIS sebagai seseorang yang termasuk out-group. Ketua OSIS tersebut beragama non-Islam yang menjadikannya berbeda dengan guru E. Hal tersebut mendorong adanya stereotipe-stereotipe negatif terhadap sang ketua OSIS yang akhirnya menimbulkan sikap prasangka dari guru E bahwa sang ketua OSIS akan membuat program-program yang tidak pro Islam. Hal tersebut tentunya menggeneralisasikan semua karakteristik dari seorang nonmuslim. Selain itu, terdapat penyederhanaan kesan guru E memberikan kesan instan yang negatif terhadap sang ketua OSIS.

Perilaku diskriminatif dan intoleran harus segera diatasi. Terdapat beberapa cara untuk mengurangi atau mencegah terjadinya stereotipe negatif dan prasangka buruk terhadap kelompok minoritas. Pertama, pembentukan inisiatif untuk edukasi mengurangi prasangka. Kegiatan-kegiatan seperti kurikulum pendidikan yang memasukkan multikulturalisme dan diskusi lintas agama untuk membantu mengurangi prasangka. Hal tersebut dilakukan dalam upaya untuk menguji stereotipe-stereotipe dari out-groups. Selain itu, kegiatan-kegiatan masyarakat untuk menerima keberagaman perlu dilakukan untuk mengurangi rasa takut dari perbedaan yang menjadi akar dari prasangka. Hal tersebut dilakukan dengan memberikan pengetahuan dan berdiskusi antara in-groups dan out-groups.

Selain menggunakan pendidikan dan pelatihan, peran media diperlukan untuk mencegah adanya prasangka dan stereotipe. Media perlu memberikan pesan anti-prasangka terhadap publik dengan menggunakan poster, periklanan, program televisi, dan sebagainya (The Scottish Government, 2015).

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//