Tanda Bahaya Penanganan Gangguan Kesehatan Mental di Indonesia
Jumlah tenaga kesehatan jiwa di Indonesia terbilang sedikit. Akibatnya hanya sebagian kecil penderita gangguan kesehatan mental yang menjalani pengobatan medis.
Irfan Fadhilah
Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
2 Februari 2023
BandungBergerak.id – Mental health atau kesehatan mental merupakan sebuah frasa yang sering dilontarkan di dunia maya dan dalam percakapan sehari-hari. Dalam beberapa bulan terakhir, kata-kata seperti healing yang sering diartikan sebagai relaksasi dari masalah-masalah pribadi juga semakin sering digunakan. Namun, di luar menjadi kata yang sering digunakan, kesehatan mental merupakan sebuah aspek yang sangat penting pada setiap individu. Kesehatan mental akan mencerminkan juga kesehatan fisik seseorang. Seberapa efektif sebenarnya penanganan gangguan mental di Indonesia?
Kesehatan mental dan kesehatan fisik merupakan dua hal yang berkaitan satu dengan yang lain. WHO (World Health Organization) mengatakan bahwa kesehatan mental merupakan keadaan sejahtera di mana individu menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan hidup secara normal, dapat bekerja secara produktif dan bermanfaat, serta mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya. Dalam mengartikan “sehat”, WHO juga tidak hanya menyatakan sehat secara fisik, melainkan dirumuskan dalam cakupan yang sangat luas, yaitu keadaan sempurna secara fisik, mental maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan/cacat.
Menurut Charles Goodstein, profesor klinis psikiatri di Langone School of Medicine New York University, pikiran serta perasaan kita akan memicu pelepasan sistem endokrin yang mengatur pelepasan hormon dalam tubuh. Hormon-hormon tersebut akan memengaruhi sistem kerja organ tubuh seseorang. Seseorang yang kesehatan mentalnya kurang baik cenderung tidak akan mengurus dirinya dengan baik pula. Sebagai contoh, seseorang yang kondisi mentalnya sedang tidak baik dapat melewati waktu makan, tidak memiliki motivasi untuk melakukan aktivitas, mengalami kesusahan dalam tidur, dapat menjadi kecanduan terhadap narkotika, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut menyebabkan kesehatan fisik orang tersebut juga menurun bahkan menjadi sakit.
Baca Juga: Edukasi dan Masalah Kesehatan Mental pada Remaja
Belajar Mencintai Diri Apa Adanya dengan Memahami Hubungan Intrapersonal
Jalan Sukses bagi Penderita Psikosomatis
Kesehatan Mental Emosional di Indonesia
Berdasarkan data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2018, prevalensi gangguan mental emosional di Indonesia meningkat dari data Riskesdas 2013 menjadi 9.8% dari subyek yang dianalisis. Prevalensi gangguan mental emosional tertinggi terdapat di provinsi Sulawesi Tengah (19.8%), sedangkan prevalensi terendah terdapat di Provinsi Jambi (3.6%). Dari semua data provinsi yang diberikan Kementerian Kesehatan melalui Riskesdas, Pulau Sulawesi merupakan pulau dengan rata-rata prevalensi gangguan mental tertinggi yaitu 13.45%.
Walaupun peningkatan persentase gangguan mental emosional di Indonesia bervariasi setiap provinsinya, perlu diperhatikan bahwa tidak ada satu pun dari 34 provinsi di Indonesia yang mengalami penurunan gangguan mental emosional dari tahun 2013 ke 2018. Perlu diingat juga bahwa data tersebut merupakan data yang diambil sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Dengan isolasi mandiri dan permasalahan ekonomi di rentang waktu pandemi tersebut, dapat diprediksi bahwa prevalensi gangguan gangguan mental di Indonesia akan kembali meningkat pada data tahun 2023.
Tingginya angka-angka tersebut membuktikan bahwa kesehatan mental masih menjadi salah satu masalah besar yang ada di Indonesia. Terlebih lagi, setiap penduduk-penduduk tersebut hidup dengan mendapatkan stigma negatif karena penyakit mereka. Faktanya, gangguan mental pada umumnya disebabkan oleh gen ataupun trauma yang dialami seseorang pada masa lalunya. Namun, mereka yang sudah dicap mengalami gangguan mental akan kembali dihadapkan oleh diskriminasi di lingkungan sosial.
Walaupun dengan jumlah penderita yang tidak sedikit, mereka yang memiliki gangguan mental sering dianggap tidak bisa bekerja dan berkarya. Dalam dunia pekerjaan, perusahaan sering merasa ragu untuk mempekerjakan penderita yang menyandang penyakit jiwa. Hal tersebut didasarkan atas ketakutan bahwa mereka nantinya harus mengatasi performa pekerjaan yang buruk. Pada akhirnya, mereka yang memiliki gangguan mental tidak hanya harus menghadapi penyakit mereka sendiri, tetapi juga melawan diskriminasi dan stigma negatif yang sudah melekat kuat di Indonesia.
Tenaga Kesehatan dan Penanganan Gangguan Jiwa di Indonesia
Dengan jumlah penduduk terbanyak ke-4 di dunia, jumlah tenaga kesehatan jiwa profesional di Indonesia masih sangat minim. Berdasarkan pernyataan dari Dr Eka Viora SpKJ, Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI, jumlah tenaga kesehatan jiwa di Indonesia masih belum memenuhi kuota minimal yang ditetapkan oleh WHO. Saat ini, Indonesia baru memiliki sekitar 451 psikolog klinis (0,15 per 100.000 penduduk), 773 psikiater (0,32 per 100.000 penduduk) dan 6.500 perawat jiwa (2 per 100.000 penduduk). Dengan jumlah penduduk di Indonesia, angka-angka tersebut masih sangat jauh dari optimal. Secara garis besar, 1 tenaga kesehatan jiwa harus mengatasi sekitar 250,000 penduduk. Sedangkan, minimal jumlah tenaga psikolog dan psikiater yang telah ditetapkan WHO adalah 1 per 30.000 penduduk.
Distribusi tenaga kesehatan jiwa di Indonesia juga menjadi sebuah masalah. Sebagian besar dari tenaga kesehatan jiwa di Indonesia terkonsentrasi di pulau Jawa, khususnya di kota-kota besar. Sebaliknya jumlah psikolog klinis yang lebih fokus kepada konsultasi penyembuhan gangguan jiwa, hanya sekitar 1.143 orang saja pada Ikatan Psikolog Klinis (IPK) di tahun 2019. Dr Eka Viora juga menyebutkan bahwa sebagian besar puskesmas di Indonesia bagian timur belum memiliki psikolog, “Tiga puluh persen puskesmas di wilayah Timur Indonesia tidak memiliki dokter umum, apalagi tenaga kesehatan jiwa,” tuturnya. Sulitnya akses penanganan gangguan kesehatan mental tersebut menyebabkan masyarakat kurang mendapatkan penanganan yang diperlukan. Menurut data dari Riskesdas 2018, hanya 9% dari penderita depresi di Indonesia yang menjalani pengobatan medis.
Penanganan penderita gangguan mental di Indonesia tentunya perlu ditingkatkan. Hal yang bisa dilakukan pemerintah yaitu dengan mengintip kepada negara-negara yang memiliki tingkat kesehatan mental yang tinggi. Mungkin Indonesia tidak bisa mengikuti negara seperti Swedia yang faktor utama kesehatan mentalnya merupakan lingkungannya yang hijau dan mengundang ketenangan, tetapi Indonesia dapat mengambil contoh dari negara-negara seperti Kanada yang menyediakan mental health care gratis bagi penduduknya. Selain itu, bidang psikiater serta psikologi klinis di Indonesia seharusnya juga lebih dipaparkan ke generasi muda. Bagaimanapun, jumlah tenaga kesehatan jiwa di Indonesia harus ditingkatkan agar bisa menandingi jumlah penduduk Indonesia yang terus berkembang.