• HAM
  • Jawa Barat Peringkat Dua dalam Catatan Pelanggaran Kebebasan Beragama

Jawa Barat Peringkat Dua dalam Catatan Pelanggaran Kebebasan Beragama

Jakatarub menggelar NGAIS atau Ngaji Inklusif membahas laporan Setara Institute mengenai Kondisi Kebebasan Beragama sepanjang tahun 2022.

Suasana Ngaji Inklusif (NGAIS) yang diselenggarakan Jakatarub membahas laporan Setara Institute mengenai Kondidi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Indonesia tahun 2022 di Gereja Kristen (GKI) Kebonjati, Bandung, Jumat (24/2/2023). (Foto Dini Putri/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul25 Februari 2023


BandungBergerak.id – Tahun 2022 menjadi tahun pertama kalinya bagi Provinsi Jawa Barat menduduki posisi kedua pada laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Beryakinan (KBB) terbanyak yang dikeluarkan oleh Setara Institute. Jawa Timur menduduki posisi pertama sebagai provinsi dengan pelanggaran KBB terbanyak sepanjang tahun 2022 dengan jumlah peristiwa sebanyak 34 dan Jawa Barat 25 peristiwa.

Setara Institute memberikan perbedaan definisi terkait peristiwa dan tindakan dalam konteks KBB. Sebab dalam suatu peristiwa pelanggaran KBB, bisa terjadi beberapa tindakan terhadap peristiwa yang terjadi. Beberapa tindakan yang mungkin terjadi misalnya ujaran kebencian, pembiaran polisi terhadap pelanggaran yang terjadi, maupun perusakan dan tindakan-tindakan lainnya.

Peneliti Setara Institute, Syera Anggreini Buntara, mendapati data hasil penelitian lima tahun menunjukkan situasi KBB relatif tidak berubah. Angkanya naik turun, tapi agregatnya relatif stagnan.

Catatan Setara Institute pada tahun 2017 terjadi terjadi 156 peristiwa dengan 203 pelanggaran KBB, tahun 2018 terjadi 160 peristiwa dengan 201 pelanggaran, serta tahun 2019 terjadi 200 peristiwa dengan 327 pelanggaran.

Selanjutnya pada tahun 2020 bersamaan dengan pandemi Covid-19 memang terjadi penurunan dengan catatan 180 peristiwa dengan 424 pelanggaran KBB, lalu tahun 2021 terjadi 171 peristiwa dengan 318 pelanggaran. Kemudian tahun 2022 sat situasi pandemi mulai melonggar relatif terjadi kenaikan peristiwa KBB kendati tidak banyak yakni 175 peristiwa dengan 333 pelanggaran.

“Dari setidaknya lima tahun terakhir ini kita bisa melihat cukup stagnan, penurunannya tidak terlalu banyak,” ujar Syeira di sela kegiatan NGAIS Jakatarub, Mengintip Laporan Setara Institute di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Kebonjati, Bandung, Jumat (24/2/2023).

Syera mengatakan, laporan tahunan tersebut diakuinya memiliki keterbatasan. Jumlah peristiwa yang sebenarnya di lapangan bisa jadi jauh lebih besar. Sebabnya data yang dikumpulkan hanya berasal dari laporan yang masuk serta memantau pemberitaan di media.

Data yang dikumpulkan tersebut berasal dari pelaporan korban maupun saksi, pelaporan yang diterima melalui jaringan Setara Institute di berbagai daerah, serta dengan mengikuti pemberitaan di media mengenai pelanggaran KBB kemudian menyisirnya melalui triangulasi informasi terhadap pemberitaan tersebut.

“Jadi sangat mungkin sekali sebenarnya yang terjadi lebih dari itu. Di lapangan ini adalah fenomena gunung es, yang kita pantau ini tidak mungkin mencakup semua. Mungkin ini lebih banyak realitanya,” ujar Syera.

Baca Juga: Kompak KBB: Bupati Kabupaten Bogor Harus Menjamin Perlindungan Beribadah pada Jemaat HKBP BethlehemPresiden Jokowi: Negara telah Melakukan Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu

Aktor Negara Menjadi Pelaku Pelanggaran KBB Tertinggi

Penelitian pada peristiwa KBB tahun 2022 menunjukkan pergeseran. Sebelumnya riset mendapati pelaku pelanggaran yang dominan adalah aktor non negara, tapi di tahun 2022 aktor negara yang tertinggi. Dari 332 pelanggaran KBB yang terjadi, 168 pelanggaran dilakukan aktor negara dan sisanya aktor non negara.

Aktor negara yang terbanyak melakukan tindakan pelanggaran KBB adalah pemerintah daerah dengan jumlah 47 tindakan. Disusul oleh kepolisian 23 tindakan, Satpol PP 17 tindakan, institusi pendidikan negeri 14 tindakan, dan Forkopimda 7 tindakan. Syera mencontohkan salah satu tindakan yang dilakukan oleh institusi pendidikan dengan pemaksaan menggunakan atribut agama tertentu di sekolah.

“Kasus-kasus seputar rumah ibadah sangat erat berkaitan dengan pemerintah daerah (Pemda). Banyak daerah sebenarnya sudah memenuhi persyaratannya tapi Pemdanya yang tidak tegas karena ada masyarakat yang menolak akhirnya izinnya tidak diberikan. Peran penting Pemda tidak tegas dan ada juga yang tidak memfasilitasi,” papar Syera.

Dalam laporan penelitian tersebut ada lima tindakan pelanggaran tertinggi yang dilakukan aktor negara di tahun 2022 . Peringkat pertama adalah diskriminasi dengan 40 tindakan pelanggaran, kebijakan diskriminatif 25 tindakan, pelarangan usaha 18 tindakan, penolakan tempat ibadah 13 tindakan, dan pentersangkaan penodaan agama 10 tindakan.

Adapun aktor non negara pelaku pelanggaran KBB terbanyak adalah warga dengan 94 tindakan, individu 30 tindakan, ormas keagamaan 16 tindakan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) 16 tindakan, dan Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKUB) 10 tindakan.

Syera menerangkan bahwa MUI sebenarnya tergolong kepada ormas keagamaan. Namun sejak 2007 karena dilihat ada pola MUI yang banyak melakukan pelanggaran maka dipisah datanya dan dilakukan pemantauan khusus.

“Ini sebenarnya cukup miris karena FKUB tugasnya untuk memfasilitasi pendirian rumah ibadah, untuk antar iman, mediasi tapi justru faktanya mempersulit memberikan izin pendirian rumah ibadah. Dan itu terjadi di banyak sekali daerah dan ini menjadi aktor top kelima juga karena mempersulit pendirian rumah ibadah,” ujar Syera.

Tindakan pelanggaran KBB tertinggi yang dilakukan aktor non-negara adalah penolakan pendirian tempat ibadah sebanyak 38 tindakan. Disusul intoleransi 37 tindakan, pelaporan penodaan agama 17 tindakan, pelarangan ibadah 15 tindakan, penolakan ceramah 14 tindakan, dan perusakan tempat ibadah tujuh tindakan.

Sepanjang tahun 2022, Setara Institute mencatat pelanggaran KBB paling banyak dialami oleh individu sebanyak 41 peristiwa, warga 34 peristiwa, umat Kristiani sebanyak 33 peristiwa, 3 peristiwa dialami oleh umat Katolik). Selain itu pengusaha 19 peristiwa, pelajar 13 peristiwa, umat Islam 12 peristiwa, umat Buddha 7 peristiwa, jemaat Ahmadiyah Indonesia 6 peristiwa, dan penghayat kepercayaan 6 peristiwa.

Resya memerinci dari 33 pelanggaran KBB pada umat Kristiani tersebut, paling banyak yakni 30 peristiwa dialami oleh umat Protestan. Tiga sisanya dialami umat Katolik. Umat Protestan mengalami pelanggaran KBB lebih banyak  di antaranya karena kesulitan dalam mendirikan rumah ibadah dan mendapatkan perizinannya.

Selain itu, 12 peristiwa pelanggaran KBB yang dialami oleh umat Islam yang dimaksud adalah aliran Muslim yang banyak dianut oleh masyarakat. Di antaranya Muhammadiyah yang mengalami tindakan KBB yaitu sulit mendirikan masjid di beberapa daerah di Indonesia.

Adapun 10 provinsi dengan pelanggaran KBB terbanyak di tahun 2022 adalah Jawa Timur menduduki urutan pertama dengan jumlah 34 peristiwa, Jawa Barat 25 peristiwa, DKI Jakarta 24 peristiwa, Banten 11 peristiwa, Jawa Tengah 10 peristiwa, Sumatera Utara 10 peristiwa, Aceh dan Kalimantan Barat 7 peristiwa, Nusa Tenggara Barat 5 peristiwa, serta Riau 5 peristiwa.

Suasana Ngaji Inklusif (NGAIS) yang diselenggarakan Jakatarub membahas laporan Setara Institute mengenai Kondidi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Indonesia tahun 2022 di Gereja Kristen (GKI) Kebonjati, Bandung, Jumat (24/2/2023). (Foto Dini Putri/BandungBergerak.id)
Suasana Ngaji Inklusif (NGAIS) yang diselenggarakan Jakatarub membahas laporan Setara Institute mengenai Kondidi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Indonesia tahun 2022 di Gereja Kristen (GKI) Kebonjati, Bandung, Jumat (24/2/2023). (Foto Dini Putri/BandungBergerak.id)

Tiga Sorotan Pelanggaran KBB di Tahun 2022

Penelitian Setara Institute mendapati sepanjang 2022 ada tiga kasus yang menjadi sorotan karena berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pertama adalah kasus gangguan tempat ibadah yang terus mengalami kenaikan signifikan selama enam tahun terakhir, yang kedua adalah penodaan agama, dan ketiga adalah penolakan ceramah yang juga mengalami kenaikan yang sangat pesat.

Kasus gangguan pada tempat ibadah terus naik signifikan. Tahun 2017 terjadi 16 kasus, 2018 sebanyak 20 kasus, 2019 sebanyak 31 kasus, 2020 sebanyak 24 kasus, 2021 sebanyak 44 kasus, dan tahun 2022 sebanyak 50 kasus.

Pada tahun 2022 tempat ibadah yang mengalami gangguan terbanyak menimpa geraja dengan 21 kasus yang terdiri dari 18 gereja Protestan dan tiga gereja katolik. Selanjutnya gangguan dialami oleh rumah ibadah juga menimpa 16 masjid, 6 vihara, 4 musala, 2 pura, dan 1 tempat ibadah penghayat.

Resya menerangkan, kasus gangguan pada tempat ibadah terjadi salah satunya pada kasus pendirian rumah ibadah  akibat interpretasi mengenai syarat dukungan untuk mendirikan rumah ibadah.

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9 dan No. 8 Tahun 2006 mensyaratkan dukungan tersebut terdiri dari 90 pengguna tempat ibadah dan 60 dukungan dari warga setempat. Untuk syarat dukungan warga setempat ada yang mengartikan harus berasal dari warga yang berbeda agama, ada pula yang mengartikan sebaliknya.

Menurut Resya interpretasi masyarakat yang berbeda tersebut menghambat pendirian rumah ibadah. Padahal dalam aturan tersebut tidak disebutkan interpretasi 60 dukungan dari warga yang berbeda agama atau yang sama agama.

“Karena di PBM ditulis 60, tapi kan enggak jelas boleh atau tidak boleh itu sama agama. Akhirnya orang-orang di Pemda dan masyarakat setempat punya interpretasi sendiri yang semakin membatasi hak minoritas. Ini yang perlu menjadi perhatian pemerintah untuk semakin mempermudah syarat pendirian rumah ibadah,” ujar Resya.

Sorotan kedua tren naiknya kasus penodaan agama. Di tahun 2021 terjadi 10 kasus dan meningkat menjadi 19 kasus di tahun 2022.

Yang terakhir adalah kasus penolakan ceramah trennya juga naik. Di tahun 2020 dan 2021 masing-masing terjadi 1 peristiwa, namun pada tahun 2022 naik jadi 14 peristiwa. Dari peristiwa pelarangan ceramah sepanjang 2022 tersebut tiga kasus terjadi di Jawa Barat, selebihnya terjadi paling banyak terjadi di Jawa Timur. Alasannya seragam yakni menuduh sang penceramah intoleran.

Resya mengaku ada hal yang dilematis dalam kasus pelarangan ceramah tersebut. Satu sisi tidak ingin memberikan ruang untuk penyebaran paham intoleransi, namun dalam kerangka hak asasi manusia (HAM) tergolong pembatasan terhadap keadilan berekspresi.“Itulah karena kita menggunakan kerangka pikir HAM di sini jadi dimasukkan sebagai pelanggaran HAM, pelanggaran KBB,” ujarnya.

Resya menyebutkan untuk mengatasi kasus intoleransi banyak pendekatan yang bisa dilakukan, tidak melulu dilakukan dengan membatasi hak berekspresi. Bisa juga dilakukan dengan menggencarkan narasi-narasi alternatif, menyadarkan pentingnya toleransi, dan dengan berdialog.

Peserta kegiatan sedang bermain games dengan membaca narasi toleransi yang diberikan dalam kegiatan Ngaji Inklusif (NGAIS) yang diselenggarakan Jakatarub membahas laporan Setara Institute mengenai Kondidi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Indonesia tahun 2022 di Gereja Kristen (GKI) Kebonjati, Bandung, Jumat (24/2/2023). (Foto Dini Putri/BandungBergerak.id)
Peserta kegiatan sedang bermain games dengan membaca narasi toleransi yang diberikan dalam kegiatan Ngaji Inklusif (NGAIS) yang diselenggarakan Jakatarub membahas laporan Setara Institute mengenai Kondidi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Indonesia tahun 2022 di Gereja Kristen (GKI) Kebonjati, Bandung, Jumat (24/2/2023). (Foto Dini Putri/BandungBergerak.id)

Kritis dan Kreatif Berkegiatan

Kegiatan NGAIS merupakan salah satu agenda bulanan rutin yang dilakukan Jaringan Kerukunan Umat Beragama (Jakatarub), komunitas dialog lintas iman yang sudah berdiri di Bandung sejak 20an tahun yang lalu.

NGAIS sendiri merupakan singkatan dari Ngaji Inklusif. Namun dalam bahasa sunda juga diserap maknanya sebagai konsep acara yaitu mengasuh. Agenda bulan ini sengaja membedah laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Beryakinan (KBB) tahun 2022 yang diterbitkan Setara Institute pada Januari 2023.

Pegiat Jakatarub, Fikri Gusti menerangkan bahwa kegiatan yang diselenggarakan organisasinya haruslah memiliki dua prinsip yaitu kritis dan kreatif. Misalnya pada kegiatan NGAIS ini sengaja diawali dengan sesi seminar penjabaran data oleh Setara Institute untuk mengasah daya kritis terhadap persoalan KBB yang terjadi sepanjang 2022.

Selanjutnya, seluruh peserta dibagi menjadi tiga kelompok. Masing-masing kelompok akan mendiskusikan satu kasus dari tiga kasus yang menjadi sorotan utama sepanjang tahun 2022.

“Itu kan cara kita mengkritisi sebuah peristiwa. Peristiwa itu kan pelanggaran KBB, cuma dikemas pake cara yang kreatif,” ujar Fikri yang menjadi ketua pelaksana acara pada kegiatan kali ini.

Fikri menyebutkan bahwa lingkup yang dijalankan oleh Jakatarub dan Setara Institute berbeda. Namun pada prinsipnya memiliki tujuan yang sama untuk kemajuan toleransi di Indonesia.

Dalam kegiatan ini hadir peserta dari beragam agama dan kepercayaan. Fikri juga menyebutkan salah satu ciri khas dari acara Jakatarub adalah ketika pelaksanaan doa, dilakukan oleh kepercayaan yang bukan mayoritas Pada setiap agendanya Jakatarub mendorong setiap orang berlatar belakang agama maupun kepercayaan untuk memimpin doa.

Jakatarub meyakini semua orang harus didorong untuk maju ke depan dengan memberikan kesempatan yang sama pada setiap orang dengan tidak melihat latar belakang agama dan kepercayaannya.

“Perbedaan bukan halangan buat saling mencaci tapi buat saling berkolaborasi, Jakatarub punya kepercayaan itu,” pungkas Fikri.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//