• HAM
  • Kompak KBB: Bupati Kabupaten Bogor Harus Menjamin Perlindungan Beribadah pada Jemaat HKBP Bethlehem

Kompak KBB: Bupati Kabupaten Bogor Harus Menjamin Perlindungan Beribadah pada Jemaat HKBP Bethlehem

Setara Institute (2007-2022) mencatat, telah terjadi 573 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah dalam satu setengah dekade terakhir.

Peta sebaran wilayah pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia tahun 2021. Data longitudinal Setara Institute (2007-2022) menunjukkan, telah terjadi 573 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah dalam satu setengah dekade terakhir. (Sumber: Setara Institute)*

Penulis Iman Herdiana18 Januari 2023


BandungBergerak.id“Beragama dan beribadah itu dijamin oleh konstitusi,” demikian disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi), dalam Rapat Koordinasi Nasional Kepala Daerah dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah se-Indonesia Tahun 2023, dikutip dari siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil Pembela Hak Konstitusional Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (Kompak KBB), Selasa (17/1/2023).

Dalam rapat yang dihadiri bupati dan wali kota se-Indonesia itu Jokowi mengingatkan pentingnya kebebasan beribadah dan kebebasan beragama.

“Kemudian ini mumpung juga ketemu bupati dan wali kota. Mengenai kebebasan beribadah dan kebebasan beragama. Ini hati-hati. Ini yang beragama Kristen, Katolik, Hindu, dan Konghucu, hati-hati. Ini memiliki hak yang sama dalam beribadah. Memiliki hak yang sama dalam hal kebebasan beragama dan beribadah,” kata Presiden.

Jokowi meminta agar tiap kepala daerah memahami ketentuan konstitusional. Jokowi tak ingin konstitusi dikalahkan oleh kesepakatan.

Presiden Jokowi dalam kesempatan yang sama juga menyampaikan kepada Dandim, Kapolres, Kapolda dan Pangdam, “… Ini harus ngerti. Dandim, kapolres, kapolda, pangdam harus ngerti ini, Kejari-kejati. Jangan sampai yang namanya konstitusi itu kalah oleh kesepakatan. Konstitusi tidak boleh kalah dengan kesepakatan," lanjut Jokowi.

Kompak KBB merupakan koalisi terdiri dari Teo Reffelsen (LBH Jakarta), Syera Anggreini Buntara (Setara Institute), Thowik (SEJUK), Angelique Tjoa (Sobat KBB), M. Isnur (YLBHI), Syamsul Alam Agus (Yayasan Satu Keadilan), Ardi Manto (IMPARSIAL), Andreas Harsono (Human Rights Watch).

Kompak KBB menilai pernyataan Presiden Jokowi dalam pidatonya menyampaikan pesan kuat bahwa pemerintah daerah dan jajarannya serta Forkompimda untuk menjamin peribadatan seluruh warga negara dari latar belakang agama apa pun, terutama agama minoritas, sesuai dengan ketentuan konstitusi Indonesia.

Namun demikian, menurut Kompak KBB Presiden Jokowi kurang cermat bahwa berbagai persoalan terkait dengan larangan peribadatan dan penolakan tempat ibadah salah satunya karena dampak dari peraturan yang tidak kompatibel dengan HAM, seperti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 (PBM) tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah.

“Regulasi tersebut dalam implementasinya sangat membatasi dan melahirkan praktik-praktik pembatasan kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia, bahkan tak jarang mendorong terjadinya tindakan diskriminasi, permusuhan sampai kekerasan,” kata Kompak KBB.

Oleh karena itu, Kompak KBB meminta Presiden Jokowi memberikan perhatian serius terhadap PBM ini dan memerintahkan kepada Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri untuk mencabut peraturan bersama tersebut.

Kebebasan beragama atau berkeyakinan sebagaimana dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Pasal 22 ayat (2) UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, mewajibkan negara untuk menghormati dan melindungi hak warga negara dalam memanifestasikan agama di dalam hal pengajaran, praktik, beribadah dan melaksanakan ibadah.

Berkaitan dengan Pidato Presiden Jokowi tersebut, pernyataan verbal menjadi tidak berarti apa-apa jika masih terdapat pelarangan beribadah oleh negara dan aktor non-negara, seperti yang dialami oleh Jemaat HKBP Betlehem (Pos Parmingguan) di Batu Gede, Desa Cilebut Barat, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang dilarang melakukan ibadah Natal pada 24 dan 25 Desember 2022 oleh warga sekitar karena alasan ibadah dilakukan di rumah salah satu jemaat sebagai rumah ibadah sementara.

Setelah pelarangan oleh warga tersebut jemaat HKBP Betlehem kehilangan hak atas rasa aman dalam melaksanakan Ibadah dan berpindah-pindah tempat sampai dengan sekarang untuk melakukan ibadah.

Berdasarkan hal tersebut Kompak KBB mendesak:

  1. Bupati Kabupaten Bogor memastikan penghormatan dan perlindungan Jemaat HKBP Betlehem untuk beribadah dan melaksanakan Ibadah dan membangun rumah ibadah serta memastikan jaminan ketidakberulangan (guarantees of non-repetition);
  2. Bupati Kabupaten Bogor memerintahkan kepada jajaran di bawahnya untuk tidak membuat kesepakatan dan/atau rekomendasi yang melarang dan/atau membatasi hak jemaat HKBP Bethlehem untuk beribadah dan melaksanakan ibadah di rumah ibadah sementara;
  3. Kepala Kepolisian Resor Kabupaten Bogor memastikan jaminan rasa aman kepada jemaat HKBP Betlehem ketika melakukan ibadah kapan pun dan dimana pun.

Baca Juga: Catatan Akhir Tahun AJI 2022: Kekerasan terhadap Jurnalis Marak, Mayoritas Dilakukan Anggota Kepolisian
Keracunan Ciki Ngebul, Bagaimana Pengawasan Jajanan Anak di Sekolah selama ini?
Sampah Terus Menumpuk di TPS-TPS Kota Bandung, Para Pengangkut Kehilangan Upah

573 Gangguan terhadap Peribadatan dan Tempat Ibadah

Halili Hasan, Direktur Riset Setara Institute, menyatakan situasi faktual persoalan peribadatan dan pendirian tempat ibadah di Indonesia sangat serius. Data longitudinal Setara Institute (2007-2022) menunjukkan, telah terjadi 573 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah dalam satu setengah dekade terakhir.

Gangguan tersebut mencakup pembubaran dan menolakan peribadatan, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan lain sebagainya. Seluruh gangguan tersebut menimpa kelompok minoritas, baik dalam relasi eksternal maupun internal agama.

Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri diminta melakukan langkah progresif untuk menghilangkan ketentuan-ketentuan diskriminatif di dalam PBM 2 Menteri (yang sering juga disebut sebagai SKB 2 Menteri). Aturan-aturan diskriminatif tersebut menjadi pemicu bagi terjadinya penolakan dan pembatasan hak seluruh agama (khususnya kelompok minoritas) untuk beribadah dan mendirikan tempat ibadah.

“Misalnya, syarat administratif dukungan 90 orang Jemaat dan 60 orang di luar Jemaat nyata-nyata memberikan hambatan serius bagi terjaminnya hak konstitusional untuk beribadah yang oleh Pasal 29 ayat (2) diberikan kepada setiap orang atau tiap-tiap penduduk. Peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi mestinya hanya mengatur untuk memfasilitasi hak warga negara yang dijamin oleh konsitusi negara,” papar Halili Hasan, dikutip dari laman resmi Setara Institute.

Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas, sebenarnya sudah sejak dua tahun lalu berjanji kepada publik untuk mempermudah pendirian tempat ibadah kelompok minoritas dan meninjau ulang PBM 2 Menteri tahun 2006. Hal itu disampaikan Menteri Agama dalam forum yang diselenggarakan oleh Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) pada 21 Januari 2021. Namun, hingga kini janji tersebut tak kunjung ditunaikan.

Dalam analisis Setara Institute, diskriminasi dan restriksi dalam bentuk pelarangan peribadatan dan pendirian tempat di daerah yang kerap terjadi, diakibatkan oleh rendahnya kapasitas daerah dalam isu tata kelola kebinekaan dan jaminan konstitusional atas kebebasan beragama/berkeyakinan.

Hal itu diperburuk dengan seringnya pemerintah pusat lepas tangan dalam kasus-kasus yang terjadi di daerah. Padahal urusan agama bukanlah urusan pemerintahan yang didesentralisasi dari pusat ke daerah oleh UU Pemerintahan Daerah.

“Dalam konteks tersebut, Setara Institute mengusulkan agar perizinan pendirian tempat ibadah atau rumah ibadah ditarik ke pusat dengan mekanisme administratif yang lebih dipermudah dan disederhanakan,” katanya.

Setara Institute juga mendorong agar terjadi pergeseran dan perluasan peran FKUB. FKUB sebaiknya tidak diberikan kewenangan untuk memberikan rekomendasi mengizinkan atau menolak pendirian rumah ibadah. FKUB lebih baik dioptimalkan perannya untuk mewujudkan dan memelihara kerukunan sesuai mandat organisasionalnya dengan memperluas kampanye toleransi, ruang-ruang perjumpaan lintas agama, serta mitigasi dan resolusi konflik yang mengganggu kerukunan antar agama, termasuk mediasi dan resolusi jika terjadi kasus penolakan peribadatan dan pendirian tempat dan rumah ibadah.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//