• Nusantara
  • Catatan Akhir Tahun AJI 2022: Kekerasan terhadap Jurnalis Marak, Mayoritas Dilakukan Anggota Kepolisian

Catatan Akhir Tahun AJI 2022: Kekerasan terhadap Jurnalis Marak, Mayoritas Dilakukan Anggota Kepolisian

Sepanjang 2022 terdapat 61 kasus kekerasan terjadap jurnalis. Ada 24 kasus kekerasan yang melibatkan aktor negara, di antaranya polisi (15 kasus).

Kekerasan terhadap jurnalis yang menghambat kebebasan pers cenderung meningkat setiap tahunnya. Aliansi Jurnalis Independen sebagai salah satu organisasi jurnalis yang aktif menyuarakan kebebasan pers. (Foto Ilustrasi: AJI, diakses Selasa, 9 Agustus 2022)*

Penulis Awla Rajul17 Januari 2023


BandungBergerak.idKeamanan bagi jurnalis merupakan bagian penting bagi kebebasan pers di suatu negara. Namun, kondisi ideal ini belum terjadi di negara yang menjunjung demokrasi seperti Indonesia. Sepanjang 2022 ada 61 kasus kekerasan terjadap jurnalis. Aktor-aktor negara seperti kepolisian menjadi pelaku mayoritas.

Erick Tanjung dari Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) menyebutkan bahwa dari 61 kasus yang terjadi sepanjang 2022, sebanyak 97 korban merupakan jurnalis dan pekerja media serta 14 organisasi media. Kasus ini pun meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 43 kasus.

Serangan yang dialami oleh jurnalis tersebut beragam, seperti di platform digital (15 kasus), kekerasan fisik dan perusakan alat kerja (20 kasus), kekerasan verbal (10 kasus), kekerasan berbasis gender (3 kasus), penangakapan dan pelaporan pidana (5 kasus) serta penyensoran (8 kasus).

Ada 24 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang melibatkan aktor negara, terdiri dari polisi (15 kasus), aparat pemerintah (7 kasus), dan TNI (2 kasus). Aktor nonnegara ada 20 kasus yang terdiri dari ormas, partai politik, perusahaan, dan warga. Sisanya berjumlah 17 kasus belum teridentifikasikan pelakunya.

Kebijakan-kebijakan terbaru yang dikeluarkan oleh pemerintah juga mengancam kebebasan pers, seperti UU No 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, Permen Kominfo 5/2020 tentang Penyelenggara Sistem Elekronik Privat, UU No 1 Tahun 2023 tentang KUHP, UU Cipta Kerja, dan Perppu Cipta Kerja.

Erick melanjutkan bahwa dari 61 kasus serangan kepada jurnalis dan organisasi media sepanjang 2022, terdapat 16 kasus yang dilaporkan secara resmi ke kepolisian. Lima kasus di antaranya dalam proses penyidikan dan satu kasus dihetikan karena tidak ditemukan bukti. Dari empat kasus tesebut yang terduga pelakunya ditangkap, sayangnya polisi hanya menggunakan KUHP untuk menjerat pelaku, tidak menggunakan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Polisi hanya menggunakan pasal 170 tentang pengeroyokan dari KUHP, tidak ada juncto pasal 18 ayat 1 misalnya dari UU pers,” ungkap Erick pada Laporan Catatan Akhir Tahun 2022 AJI yang bertajuk Serangan Meningkat, Otoritarianisme Menguat, diselenggarakan melalui Zoom Meeting, Senin (16/1/2023).

Kasus kekerasan lainnya divonis tindak pidana ringan (tipiring) oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Soasio, Kota Tidore Kepulauan. Kasus kekerasan ini melibatkan terlapor Wakil Wali Kota Tidore Kepulauan. Hal ini merupakan bentuk pengabaian terhadap UU Pers karena kasusnya terkait pemberitaan sehingga harus menggunakan UU Pers.

Sekjen AJI, Ika Ningtyas membeberkan dari total 61 kasus, hanya 16 kasus yang dilaporkan ke kepolisian. Hal ini dilatarbelakangi beragam faktor, yaitu perusahaan media yang tidak memberikan bantuan sepenuhnya kepada jurnalis korban kekerasan, seperti tidak adanya bantuan pengacara, kesejahteraan, dan lainnya. Kealfaan dari peran perusahaan media ini akan berdampak pada besarnya risiko serangan balik terhadap jurnalis.

Ika juga menjelaskan terkait penegak hukum yang mengabaikan UU Pers. Dalam menindak kasus kekerasan terhadap jurnalis, penegak hukum sering kali hanya menggunakan KUHP. Padahal harusnya juga menambah dengan UU Pers sebagai aturan yang khas dan khusus mengenai pemberitaan. Akibatnya adalah terjadinya impunitas yang dilakukan oleh negara dan mengambat kebebasa pers di Indonesia.

“Belum sepenuhnya melakukan implementasi terhadap UU Pers. Ini menunjukkan bagaimana keberpihakan negara terhadap kebebasan pers,” ungkap Ika.

Ketua AJI Indonesia, Sasmito Madrim menegaskan dibutuhkan pembenahan internal kepolisian. Sebab kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis mayoritas dilakukan oleh kepolisian. Dalam penanganan kasus pun polisi dinilai tidak professional karena adanya pengabaian UU Pers. Sasmito juga menyinggung kekerasan terhadap jurnalis yang kerap dilakukan oleh kepolisian menunjukkan masih lekatnya militeristik di tubuh kepolisian.

“Impunitas membuat jurnalis dapat diserang dan dibungkam, membuat personel polisi lainnya berani untuk melakukan serangan serupa. Oleh karena itu, Presiden Jokowi dan Kapolri harus mengevaluasi penggunaan kekuatan yang berlebihan dan pengamanan demonstrasi yang tidak sesuai dengan prinsip HAM. Evaluasi tersebut harus diikuti dengan menindak dan memproses secara hukum anggota polisi yang telah melakukan kekerasan pada jurnalis,” ungkap Sasmito.

Baca Juga: Aliansi Sipil untuk Kebebasan Berekspresi Kecam Tindakan Represif Polisi Menangani Demonstrasi Anti-UU KUHP di Bandung
Aliansi Sipil Bandung Menolak Sosialisasi Formalitas RKUHP, Mahasiswa Kembali Turun ke Jalan Menyerukan Pembatalan Kenaikan Harga BBM
Komite Keselamatan Jurnalis dan Jaringan CekFakta: Peretasan Akun Ketua AJI sebagai Teror terhadap Demokrasi P

Persoalan Kesejahteraan Jurnalis

Selain persolaan kekerasan, jurnalis juga masih menghadapi ancaman PHK dan lemahnya perlindungan sosial. Edi Faisol dari Bidang Ketenagakerjaan AJI menyebutkan beberapa kasus PHK sepihak yang terjadi pada awak BeritaSatu TV, VIVA.co.id, dan Media Lampung Post.

Jurnalis juga masih belum terlindungi oleh jaminan sosial yang diberikan oleh perusahaan medianya. Dari 144 jurnalis yang disurvei AJI pada Juni-Juli 2022 lalu, 112 jurnalis sudah menjadi peserta BPJS Kesehatan, sisanya belum terdaftar. Namun, sebagian besar jurnalis yang memiliki BPJS Kesehatan pun karena inisiatif mendaftar sendiri sebanyak 56 persen.

“Dari sejumlah survei yang kita lakukan itu menyebutkan 55 persen tidak memiliki BPJS Ketenagakerjaan. Dan ini kan ironis ya perusahanan tidak menjaminkan pekerjanya pada jaminan sosial. Dan ini ancaman ekonomi untuk jurnalis juga,” beber Edi.

Persoalan kesejahteraan jurnalis ini masih menjadi masalah laten karena akan berdampak pada persoalan etika dan profesionalitas jurnalis, seperti menerima uang atau hadiah dari narasumber.

Edi juga menyebutkan persoalan jurnalis daerah yang memiliki upah yang berbeda dengan nasional. Ada jurnalis daerah upah yang diterima belum sesuai dengan upah daerah. Edi menegaskan bahwa perusahaan media berkewajiban untuk mensejahterakan jurnalisnya.

Di samping itu, ia menghawatirkan mekanisme upah jurnalis yang mendapatkan komisi dari berita-berta clickbait atau berita-berita sensasional yang tidak berdampak pada publik.

Persoalan Etika dan Gender

Bersamaan dengan persoalan kesejahteraan jurnalis, persoalan suap dan gratifikasi yang dilakukan oleh jurnalis juga mengemuka dalam Catatan Akhir Tahun AJI. Salah satunya adalah pelanggaran kode etik jurnalistik (KEJ) pasal 6 yaitu dengan menerima uang atau hadiah dari narasumber.

Edy Can dari Bidang Pendidikan, Etik, dan Profesionalisme menyebutkan budaya amplop masih tejadi di kalangan jurnalis.

“Fenomena seperti ini akan semakin marak ketika tingkat kesejahteraan dan ancaman PHK meningkat di tahun lalu,” jelas Edy.

Persoalan lainnya adalah profesionalisme jurnalis yang yang berdampak pada lemahnya verifikasi. Contoh kasusnya adalah ketika kasus pembunuhan Brigadir J dan jurnalis melahap mentah siaran pers dari Humas Polri. Edy menegaskan bahwa jurnalis perlu meningkatkan upaya verifikasi. Ia juga menegaskan bahwa perusahaan media harus menegakkan KEJ dan memberikan pelatihan etik secara regular kepada jurnalisnya.

Catatan lainnya mengenai gender. Dalam survey AJI dan PR2Media terhadap 405 jurnalis perempuan di 34 provisni menemukan bahwa 16,8 persen responden mengakui adanya diskriminasi dalam pemberian remunerasi di tempat kerja. Selain itu jurnalis perempuan pun dihadapi ancaman kekerasan seksual, baik secara langsung maupun daring.

Nani Afrida, Bidang Gender Anak, Perempuan dan Kelompok Marjinal menegaskan pentingnya bagi jurnalis untuk mengikuti pelatihan gender dasar. Upaya lainnya yang pelu dilakukan adalah dengan membangun sensitivitas di ruang redaksi agar tidak terbiasa melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan seperti candaan seksis.

“Mendorong semua media untuk punya SOP KS (kekerasan seksual), karena ini penting,” tegas Nani.

SOP Kekerasan Seksual, lanjut Nani selain sebagai acuan terhadap penanganan kekerasan seksual di internal media, juga menjadi proteksi kredibilitas suatu media.  

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//