Ramadan di Bandung Dulu dan Kini (1): Baju Baru Ganjaran Berpuasa
Mendapatkan baju baru untuk lebaran bukan perkara mudah bagi anak-anak kecil di Bandung tempo dulu. Setelah menuntaskan 30 hari puasa, mereka baru dapat ganjaran.
Penulis Tri Joko Her Riadi14 April 2021
BandungBergerak.id - Bagi anak-anak Bandung tempo dulu, baju baru yang dipakai saat perayaan lebaran bukan sesuatu yang dengan mudah bisa diperoleh. Mereka akan mendapatkan ganjaran itu hanya jika sanggup menuntaskan 30 hari puasa. Haryoto Kunto, dalam buku Ramadhan di Priangan (1996), menceritakan tradisi itu.
Setiap kali menjelang ramadan, Haryoto kecil diajak orangtuanya ke Pasar Baru. Di sana, ia dibebaskan untuk memilih sendiri jajanan yang ingin dimakan.
Haryoto, lahir di Bandung pada tahun 1940, masih mengingat beberapa nama pedagang makanan di pasar yang pada tahun 1935 disebut-sebut sebagai pasar paling bersih di seantero Jawa itu. Ada Bi Atjim yang menjual gado-gado dan Bah Ojie yang menjajakan satai dan gulai di belakang pasar.
“Namun yang istimewa digemari oleh orang dulu adalah hidangan soto pakai santan yang dimasak dalam kuali gabah tanah liat,” tulis Haryoto.
Jongko soto itu terletak di seberang Toko Babak Kuya. Bagi bocah kecil seperti Haryoto, satu porsi soto santan terlampau banyak. Setengah porsi soto, dihias tebaran kerupuk Cikoneng, lebih pas di perut.
Dari Pasar Baru, Haryoto kecil dibawa jalan-jalan menyusuri kawasan pertokoan di seberangnya. Ada Toko Eropa, Aurora, De Zon, ABC, Tjioda, dan Royal.
Sambil melongok koleksi-koleksi terbaru itulah, keluar janji dari orangtua ke anak-anaknya. Bila tuntas berpuasa selama 10 hari pertama ramadan, mereka diganjar tas sekolah lengkap dengan alat tulisnya. Bila tamat puasa 10 hari berikutnya, mereka berhak atas sepasang sepatu baru. Nah, baru setelah mereka tuntas puasa 10 hari terakhir, satu stel baju baru boleh dimiliki.
“Jadi kalau di hari lebaran di rumah ada anak yang mengenakan pakaian bubututan, jelas dia tidak tamat puasanya,” begitu tulis Haryoto.
Terancam Gulung Tikar
Ramadan tahun 2021 ini berlangsung di tengah Pandemi Covid-19 yang sudah satu tahun umurnya. Nasib Pasar Baru, yang kini dinamai Pasar Baru Trade Center, tidak jauh beda dengan pusat-pusat keramaian lainnya: sepi. Bahkan lebih buruk lagi, sempat beredar kabar pasar tertua di Bandung ini bakal gulung tikar.
Pernah tutup selama beberapa pekan awal pandemi, Pasar Baru dibolehkan kembali beroperasi sesuai protokol kesehatan per 15 Juni 2020. Namun dari bulan ke bulan kondisi pasar bukannya membaik malahan semakin buruk. Jumlah pembelian terus terjun bebas, sementara nilai insentif yang diberikan pemerintah tidak signifikan. Akhirnya, biaya sewa jongko tak terjangkau lagi oleh para pedagang. Per Februari 2021 lalu, sekitar 3.500 pedagang meninggalkan pasar.
Saat ini tersisa 2.700 orang pedagang yang sekuat tenaga bertahan. Datangnya ramadan dan lebaran, yang identik dengan tradisi makan bersama dan belanja, membersitkan harapan atas perbaikan nasib.
“Dua pekan menjelang ramadan ini mulai ada perbaikan. Jongko-jongko yang menjual baju muslim dan kurma mulai ramai (pengunjung). Kuliner juga (ramai pengunjung),” kata ketua Himpunan Pedagang Pasar Baru (HP2B) Iwan Suhermawan lewat sambungan telepon, Rabu (14/4/2021) sore.
Kawasan pertokoan di seberang Pasar Baru, yang dulu jadi lokasi Haryoto Kunto ber-window shopping, sama saja kondisinya. Mereka sedang berjuang bisa menarik lagi banyak pembeli di tengah beragam pembatasan, mulai dari penutupan akses jalan hingga peniadaan kerumunan. Sama seperti para pedagang di Pasar Baru, ramadan dan lebaran juga jadi andalan.
Kalau Haryoto kecil mengingat yang manis-manis dari Pasar Baru dan pertokoan di sekitarnya selama ramadan, entah kenangan seperti apa yang kelak akan dikisahkan seorang bocah Bandung dari kedua lokasi itu dalam cengkeraman pandemi seperti sekarang ini. Boleh jadi cerita tentang semakin banyaknya anak yang berlebaran tanpa memakai baju baru. Bukan karena mereka tidak tuntas berpuasa, melainkan karena tidak ada cukup uang yang dimiliki orangtua.