• Kolom
  • SALAMATAKAKI #11: Rumah Petik yang Merajut Sinar  

SALAMATAKAKI #11: Rumah Petik yang Merajut Sinar  

Bagaimana panggung kecil merangkum sejarah hidup seseorang dalam sajian musik eksperimental? Jawabannya ada di Rumah Petik, studio baru di Jalan Andir 188/79.  

Sundea

Penulis kelontong. Dea dapat ditemui di www.salamatahari.com dan Ig @salamatahari

Pertunjukan musik harpa oleh musikus Sisca di Rumah Petik, studio di Jalan Andir 188/79, Kota Bandung, 2023. (Foto: Sundea/Penulis)

7 Maret 2023


BandungBergerak.idAku menyaksikannya pada tanggal 6 Maret 2023 di peresmian Rumah Petik, studio baru di Jalan Andir 188/79. Studio ini dirintis oleh Fransisca Agustin, pemain harpa dan guzheng. Istimewanya, studio ini dibangun di rumah masa kecil Sisca, di area konveksi milik keluarganya yang didirikan pada tahun 1969, Konveksi Perajutan Sinar. Halaman rumah keluarga Sisca tidak terpisah dari halaman konveksi. Sejak kecil setiap hari Sisca menyaksikan ayahnya, Liauw Tjong Hwie, setia memulai hari dengan mengontrol konveksi. Keseharian Sisca tidak terpisah dari usaha keluarga yang menghidupi dan menyekolahkannya itu. Bunyi mesin jahit, kain yang digunting, serta dinamo adalah musik yang didengarnya setiap hari.

Beranjak dewasa, Sisca mencari nafkah sebagai musikus. Sementara itu, konveksi terus berjalan. Tidak lagi untuk membiayai Sisca dan kedua kakaknya, tetapi menjadi hidup bagi ayah ibu Sisca dan sumber penghidupan bagi sekian pegawai yang bekerja di sana dengan setia. Namun, datanglah pandemi yang mengguncang segalanya. Pada tahun 2021, konveksi Perajutan Sinar terpaksa mengalah kepada suratan takdir. “Serajin apa pun kamu, some things are just not meant to be,” ungkap Sisca menjelang tutupnya Konveksi Perajutan Sinar. Usaha merugi dan tutuplah konveksi yang sudah berusia 52 tahun itu.

Pertunjukan musik harpa oleh musikus harpa dan guzheng Sisca di Rumah Petik, studio di Jalan Andir 188/79, Kota Bandung, 2023. (Foto: Sundea/Penulis)
Pertunjukan musik harpa oleh musikus harpa dan guzheng Sisca di Rumah Petik, studio di Jalan Andir 188/79, Kota Bandung, 2023. (Foto: Sundea/Penulis)

Setelah seluruh alat konveksi habis terjual dan area itu menjadi sangat lengang, Sisca dan suaminya, Sugih, diputuskan pindah ke sana. “Tapi kalau tinggal di sini (Andir 188/79), harus udah ada usaha,” cerita Sisca. Berbagai pertimbangan membawa Sisca dan Sugih kepada pilihan membangun studio. Studio yang kemudian mereka namai Rumah Petik itu terbuka untuk berbagai kemungkinan penggunaan. Bisa untuk konser mini, latihan tari dan teater, bahkan untuk lokakarya-lokakarya.

Selepas pandemi, Sisca dan Sugih mulai membangun di Andir 188/79. Berdirilah studio seluas 82 meter persegi, dipasangi kaca besar, dilengkapi panggung mini dengan area yang dapat menampung kurang lebih 50 penonton, serta memiliki sirkulasi udara dan cahaya yang baik. Sebagain besar area yang dulunya ruang konveksi dimanfaatkan untuk tempat parkir.

Sebagai acara pembuka, menggandeng musikus multi instrumentalis Fauzie Wiriadisastra, Sisca mengadakan pertunjukan musik eksperimental bertajuk “Mestakung” alias “Semesta Mendukung”.  Di panggung, Sisca menggabungkan harpa dan guzheng, dua instrumen yang biasa ia gunakan sehari-hari, dengan suara-suara yang dihubungkan dengan papan sirkuit cetak.

Pengunjung mengunjungi Rumah Petik, studio di Jalan Andir 188/79, Kota Bandung, 2023. (Foto: Sundea/Penulis)
Pengunjung mengunjungi Rumah Petik, studio di Jalan Andir 188/79, Kota Bandung, 2023. (Foto: Sundea/Penulis)

Sebelumnya, Sisca pernah membuat eksperimen bertajuk the sound of stuff. Sisca menghubungkan sayur, buah, dan tahu yang dapat menjadi konduktor dengan program dan papan sirkuit cetak. Jika sayur, buah, dan tahu disentuh, akan timbul nada-nada.

Di Mestakung, Sisca sengaja mencoba membuat the sound of stuff dengan benda-benda yang tidak konduktif, tetapi ditempeli alumunium foil. Pilihan benda-bendanya merangkum perjalanan takdir Sisca. Di sisi kiri, Sisca menggantung pakaian anak-anak yang dibuat oleh Konveksi Perajutan Sinar. Pada pakaian-pakaian itu, Sisca menitipkan suara-suara yang ia dengar sejak anak-anak. Mulai dari peralatan konveksi, sampai lagu favorit ayahnya, “Boulevard”. Saat Sisca menyentuh pakaian-pakaian anak tersebut, lahirlah bebunyian peralatan konveksi yang lantas menjadi latarnya memainkan “Boulevard” dengan harpa.

Di sisi tengah, Sisca menggantung peralatan dapur yang memang mewakili “dapur rumah tangga”. Pada saat itulah pandemi datang melanda. Sisca menitipkan suara-suara yang pasti masih segar dalam ingatan kita. Ambulans, berita Covid-19, monitor rumah sakit, suara napas yang berat, petir. Sisca menyentuhnya satu per satu. Awalnya ia menyentuhnya perlahan-lahan sehingga bunyi tak saling bertumpuk. Kian lama kian chaos dan akhirnya mereda kembali dan ditutup suara monitor rumah sakit yang semakin lama semakin menghilang.

Selepas suara-suara pandemi yang meneror penonton, Sisca mengambil waktu untuk hening sebelum masuk ke sisi kanan, sisi terakhir dalam episode kisah perjalanan takdir yang disuguhkannya. Pada pakaian-pakaian panggungnya, Sisca menitipkan suara-suara perayaan. Mulai dari janji pernikahan sampai suara piring yang beradu dengan alat makan. Bagian tersebut menceritakan hidup yang mulai berjalan seperti biasa, pekerjaan bermusik yang kembali memanggil, dan tentunya Rumah Petik yang lahir sebagai fase baru dari Andir 188/79. Suara-suara perayaan tersebut menjadi latar untuk lagu “Beautiful in White” yang Sisca mainkan dengan harpa serta “The Myth” yang Sisca mainkan dengan guzheng. Sungguh segala peristiwa, termasuk pandemi, adalah bentuk mestakung yang mengantar Sisca sampai kepada Rumah Petik.

“Dinamain ‘Petik’ karena kamu pemain alat musik petik, Sis?” tanyaku.

“Petik bisa punya banyak makna. Petik hasilnya, petik hikmahnya….” jawab Sisca.

Salamatakaki mengunjungi Rumah Petik, studio di Jalan Andir 188/79, Kota Bandung, 2023. (Foto: Sundea/Penulis)
Salamatakaki mengunjungi Rumah Petik, studio di Jalan Andir 188/79, Kota Bandung, 2023. (Foto: Sundea/Penulis)

Aku mengamati panggung. Panci-panci digantung tepat di tengah, berbagi tempat dengan mesin jahit yang berfungsi sebagai meja operator. Kusadari, pandemi mengoyak sekaligus menjahit kembali. Meranggaskan tetapi lantas menumbuhkan. Mematikan sekaligus menghidupkan. Seperti Sisca yang terus bergerak ke kanan searah jarum jam di pertunjukan 15 menitnya, tak ada yang dapat melawan waktu.

Di sela-sela suara perayaan yang dititipkan pada kostum panggung Sisca, aku menangkap kalimat janji pernikahan, “Aku bersumpah untuk setia kepadamu, dalam untung dan malang”. Saat mendengarnya, hatiku merasa hangat. Entah disadari atau tidak, ada kesetiaan dalam untung dan malang terhadap Andir 188/79 yang bersambung dari generasi ke generasi. Konveksi Perajutan Sinar berumur panjang dan mampu melewati krisis moneter 1998. Ketika ia akhirnya tak bisa lagi bertahan akibat pandemi, Sisca memberinya nyawa baru untuk berjalan ke depan. Meskipun fungsi usahanya jauh berbeda ketimbang sebelumnya, aku sadar apa pun yang dibuat di sana saat ini berangkat dari embrio cinta yang sama.

Namanya tak lagi Perajutan Sinar. Namun, ia yang telah memetik hikmah tetap merajut sinar dengan caranya.

Kunjungi @sisca_guzheng_harp untuk informasi mengenai Rumah Petik.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//