Perempuan Paling Dirugikan dalam Fenomena Pernikahan Dini
Adanya temuan pernikahan dini di Kota Bandung mencerminkan tingginya fenomena serupa di kabupaten/kota di Jawa Barat.
Penulis Iman Herdiana10 Maret 2023
BandungBergerak.id - Indonesia masih tercatat sebagai negara dengan angka pernikahan dini yang tinggi. Potret ini terjadi di perkampungan maupun perkotaan, tak terkecuali di Kota Bandung, Jawa Barat. Menurut siaran pers Pemkot Bandung, Kamis (19/1/2023), Pengadilan Agama (PA) Kota Bandung melaporkan ada 143 warga Bandung mengajukan dispensasi menikah karena berbagai alasan.
Dispensasi merupayan syarat untuk melangsungkan pernikahan di bawah umur. Permohonan dispensasi harus diajukan ke pengadilan.
Kepala Divisi Obstetri dan Ginekologi Sosial RSHS Dini Hidayat memaparkan hasil temuannya di Kelurahan Kujangsari, Kecamatan Bandung Kidul, bahwa ada kaitan erat antara nikah dini dan kasus stunting (terganggunya tumbuh kembang anak).
"Ada tiga penyebab terbesar stunting di Kota Bandung, yakni pola makan calon ibu, permasalahan sanitasi dasar, dan penanganan remaja menikah usia dini," ujar Dini pada diskusi membahas Hasil Audit Stunting I di Auditorium Balai Kota Bandung, dalam siaran pers, Jumat (21/10/2022).
Khusus mengenai temuan nikah dini di Kota Bandung, Dini menuturkan hal ini dilatarbelakangi persoalan ekonomi.
"Ada yang umur 14 tahun dinikahkan orang tuanya karena merasa sudah tidak sanggup secara ekonomi. Akhirnya saya cuma bisa memberi saran agar menunda kehamilan dulu," ungkap Dini.
Kota Bandung, ibu kota provinsi Jawa Barat yang relatif lebih maju dibandingkan kabupaten/kota lain di Jawa Barat, masih memiliki masalah nikah bawah umur walaupun angkanya mungkin lebih kecil dibandingkan di perdesaan.
Namun faktanya pernikahan dini masih terjadi. Fakta lain, perempuan menjadi pihak yang paling dirugikan dari pernikahan dini ini. Sebab dari angka-angka pernikahan dini, perempuan paling banyak menjadi “korban”.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Sonny Dewi Judiasih menjelaskan, berdasarkan data UNICEF, Indonesia menduduki peringkat ke-8 di dunia dan ke-2 di ASEAN dengan jumlah pernikahan dini terbanyak. UNICEF mencatat bahwa Indonesia berada pada peringkat ke-8 tertinggi dengan angka absolut “pengantin anak” sebesar 1.459.000 kasus.
“Secara nasional, terdapat 11,2 persen anak perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun, dan 0,5 persen dari anak perempuan tersebut menikah pada saat mereka berusia 15 tahun,” ungkap Sonny dalam orasi ilmiahnya berjudul “Kontroversi Perkawinan Bawah Umur: Realita dan Tantangan bagi Penegakan Hukum Keluarga di Indonesia”, dikutip dari laman Unpad, Jumat (10/3/2023).
Sonny mengungkapkan, realita di masyarakat, perkawinan bawah umur di Indonesia banyak dilakukan oleh anak perempuan. Perbandingannya, 1:9 anak perempuan menikah di bawah umur, sedangkan untuk anak laki-laki perbandingannya 1:100.
Dampak Pernikahan Dini
Praktik perkawinan di bawah umur di Indonesia disebabkan berbagai hal. Mulai dari pengaruh adat, kebiasaan masyarakat, agama, faktor ekonomi, pendidikan rendah, hingga pergaulan remaja yang menyebabkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan.
Di sisi lain, pernikahan dini menimbulkan dampak terhadap pendidikan, psikologis, kesehatan, dan sosial. Dampak pendidikan, perempuan yang melakukan pernikahan di bawah umum akan kehilangan kesempatan untuk menempuh pendidikan selanjutnya. Hal tersebut disebabkan, anak yang sudah melangsungkan perkawinan kerap tidak ternotivasi untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
“Hal lain disebabkan, anak tersebut terlalu sibuk mengurus rumah tangga sehingga mengesampingkan pendidikannya,” ujarnya.
Sementara dampak secara psikologis, anak di bawah umur dianggap belum memiliki emosi dan kematangan berpikir yang stabil. Hal ini akan memicu lahirnya masalah yang akan mengganggu keharmonisan rumah tangga dan memicu stres pada anak perempuan.
Di sisi kesehatan, kata Sonny, kehamilan di usia muda akan menyebabkan dampak yang buruk bagi kandungannya berupa infeksi pada kandungan. Risiko kematian ibu dan bayi mengintai anak-anak ketika ia harus hamil atau melahirkan di bawah usia 19 tahun.
Selain itu, pernikahan di bawah umur berpotensi pada tingginya tingkat perceraian di kemudian hari. Emosi anak yang belum stabil akan memicu pertengkaran di rumah tangga.
“Pertengkaran yang terus menerus dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, terutama pada istri. Keadaan seperti itu menyebabkan pasangan suami istri lebih memilih untuk bercerai dibandingkan melanjutkan perkawinan,” tuturnya.
Pemerintah memang telah mengatur pernikahan bawah umur hanya bisa ditempuh melalui dispensasi dari pengadilan. Artinya, pasangan yang masih di bawah umur hanya dapat melakukan perkawinan setelah mereka memiliki penetapan dispensasi kawin dari pengadilan. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 telah menetapkan batas usia melangsungkan perkawinan adalah 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan.
KUA sendiri akan menolak menyelenggarakan perkawinan bawah umur tanpa adanya dispensasi dari pengadilan. Surat penolakan tersebut akan menjadi dokumen untuk mengajukan dispensasi ke pengadilan.
Sonny menyayangkan, banyak masyarakat yang keberatan akan pengajuan dispensasi ini. Tidak jarang para pihak mencari alternatif lain dengan melangsungkan perkawinan siri atau bawah tangan.
“Ini yang berbahaya. Fungsi dispensasi kawin adalah menyelamatkan anak dari kemudaratan yang lebih besar,” tegasnya.
Sonny berpendapat, dibutuhkan sinergi yang kuat antar lembaga, akademisi, tokoh masyarakat, hingga media dalam mencegah praktik perkawinan di bawah umur. Perubahan cara pandang terhadap agama, adat, budaya perlu dilakukan untuk meminimalisir praktik tersebut.
“Hal tidak kalah penting adalah penguatan peran orang tua dalam mencegah praktik tersebut,” pungkasnya.
Potret Pernikahan Dini di Jawa Barat
Temuan pernikahan bawah umur di Kota Bandung menjadi petunjuk bahwa fenomena ini marak di kota dan di desa. Di masa lalu, Jawa Barat pernah menduduki provinsi dengan fenomena pernikahan dini tertinggi di Indonesia, seperti pernah ditelaah dalam makalah ilmiah Perkawinan Usia Muda Di Indonesia Dalam Perspektif Negara dan Agama Serta Permasalahannya yang ditulis Surmiati Ali dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Menurut hasil penelitian Sosiologi Indonesia (ISI), Jawa Barat menduduki peringkat pertama dalam pernikahan usia dini (Ikatan Sosiologi Indonesia, 2012). Dari 1.000 penduduk usia 15 tahun sampai 19 tahun terdapat 126 telah melahirkan dan menikah muda.
Kondisi tersebut hampir sama dengan data Provinsi jawa Barat tahun 1985 di mana rata-rata umur perkawinan pertamanya paling rendah di Indonesia, yakni di Subang, Karawang, Bandung, Tasikmalaya.
Surmiati Ali memaparkan, berdasarkan penelitian berjudul Women in West Java, Food Healt and Develoment: Case study of Cipari Village in West Java pada tahun 1979-1981, banyak ditemukan yang menikah pada umur dibawah 15 tahun sebayak 61 persen dan tidak ada wanita yang menikah pada umur 20 tahun ke atas.
Demikian pula penelitian LIPI pada tahun 1988, yang melihat pola perkawinan pada tiga generasi Cilayamaya dan Karawang ditemukan keadaan umur perkawinan pertama 12 dan 13 tahun.
Menurut Surmiati, fenomena sosial pernikahan dini yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia penyebab utamanya adalah bahwa prilaku seksual remaja yang melakukan hubungan seks di luar nikah sering berakhir dengan pernikahan dini.
Selain itu, tuntutan sosial budaya yang masih berlaku pada masyarakat, bahwa wanita yang sudah berusia 16 tahun dianggap sudah cukup dewasa untuk menikah.
“Apabila sudah melewati usia itu, orang tua sangat khawatir, bahwa anaknya akan menjadi pembicaraan masyarakat sebagai gadis yang tidak laku, oleh karena itu akan menjadi bahan ejekan dengan sebutan perawan tua,” paparnya.
Melihat fenomena banyaknya usia menikah yang sangat muda, tentunya akan banyak mengalami masalah dalam kehidupan sosial. Pada usia tersebut mereka terpaksa melahirkan, memicu pasangan muda memiliki banyak anak karena tingkat fertilitas atau kesuburan yang tinggi.
“Jika kesuburan sampai 40 tahun, berarti jika dua tahun sekali melahirkan maka jumlah anak mencapai 15 orang, jika tiga tahun sekali, maka jumlah anak mencapai 10 orang,” tulis Sumiati.
Sementara secara fisik dan mental mereka belum siap untuk melahirkan, bagaimanapun juga mereka harus berhadapan dengan berbagai macam risiko kehidupan seperti kematian ibu, kematian bayi dan juga berakhirnya rumah tangga dengan perceraian.
Perkawinan usia diperparah dengan kuatnya adat istiadat serta pemenuhan tuntutan sosial budaya dan ekonomi untuk menikah sebelum melampaui usia perkawinan yang dianggap cukup. Hal ini menyebabkan anak perempuan sangat singkat menempuh pendidikan, di pihak lain karena kurangnya kesadaran orang tua arti pentingnya pendidikan untuk masa depan anaknya.