NGABUBURIT MENYIGI BUMI #1: Memindahkan Jalan Raya agar tidak Memotong Landasan Pacu Lanud Margahayu
Kapan terjadi pemindahan jalan raya agar tidak memotong landasan pacu Lanud Margahayu? Tanggal pendirian SD Angkasa 1 Lanud Sulaiman bisa jadi patokan.
T. Bachtiar
Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)
23 Maret 2023
BandungBergerak.id - Seperti lazimnya kelokan jalan raya, kelokan satu ini dibuat dengan kemiringan tertentu sehingga para pengendara dapat melaju dengan aman. Ia menjadi penanda kawasan karena bila kita berkendara mulai dari pertigaan Jalan Pasirkoja dengan Jalan Kopo, Kota Bandung, menerus ke arah selatan-barat di Jalan Terusan Kopo, jalan sepanjang 6,05 kilometer itu relatif lurus. Itulah sebabnya belokan itu dikenal oleh masyarakat sebagai jalan dengdek, jalan yang miring.
Hanya 350 meter dari jalan dengdek ke arah barat daya, ada Pal-6 yang kemudian menjadi nama geografi Palgenep. Dari titik itu, jalan bercabang ke arah barat sedikit ke utara, dinamai Jalan Palgenep.
Sementara itu, jalan rayanya berbelok sedikit ke selatan, sekarang dikenal dengan sebutan Pos-1 Lanud Sulaiman, lalu menerus ke arah barat daya sejauh 1,03 kilometer. Lokasi ini sekarang dikenal dengan sebutan Pos-4 Lanud Sulaiman. Dari sana, jalan raya menerus sampai ke Soreang, yang bila berbelok ke selatan-timur, akan sampai di Banjaran dan ke selatan menerus ke Pangalengan. Bila terus melaju ke arah selatan-barat, sampailah kita di Ciwidey.
Itulah keadaan jalan raya Bandung–Soreang seperti yang terdapat dalam Peta Lembar Pameuntasan yang direvisi pada tahun 1904-1905 dan diterbitkan oleh Topographisch Bureau tahun 1906 (Peta digital: KITLV Heritage Collection). Jalur jalan ini masih sama, seperti keadaan jalan tahun 1924 yang terdapat dalam peta Java tourist map, Bandoeng and environs: Boekit Toenggoel - Tangkoebanprahoe - Patoeha – Malabar yang diterbitkan oleh Weltevreden: Official tourist bureau, pada tahun 1928 (Peta digital: Koninklijk Instituut voor de Tropen/KIT).
Dalam peta lembar Bandoeng-Zuid yang direvisi oleh Biro Topografi pada tahun 1931, kemudian diterbitkan tahun 1934, keadaan jalur jalan masih sama (Peta digital: KITLV Heritage Collection).
Lima tahun kemudian, pada tahun 1939, jalur jalan belum berubah, seperti yang terdapat dalam peta Toeristenkaart van Bandoeng en omstreken, Tourist map of Bandoeng and environs. Peta ini diterbitkan di Batavia oleh: Officieële Vereeniging voor Toeristenverkeer (Peta digital koleksi: Koninklijk Instituut voor de Tropen/KIT).
Demikian juga yang terdapat dalam peta Lembar Bandoeng, peta yang digambar ulang dari peta Belanda tahun 1940, diterbitkan oleh U.S. Army, dan diterbitkan pada tahun 1943 (Peta digital: KITLV Heritage Collection).
Jalan raya Bandung–Soreang dibangun karena bernilai sangat penting bagi Pemerintah Hindia Belanda. Di lereng-lereng gunung di selatan Bandung, terdapat banyak perkebunan, di antaranya Perkebunan Teh Patuhawati, Perkebunan Teh dan Kina Patuhalanden, dan Perkebunan Teh Rancabolang.
Sampai peta terbitan tahun 1943, jelas bahwa keadaan jalur jala raya Bandung–Soreang ini masih seperti jalan raya yang tergambar dalam peta tahun 1906.
Dari Lanud Margahayu ke Lanud Sulaiman
Pada tahun 1938, Pemerintah Hindia Belanda membeli lahan di selatan Bandung, yang sekarang termasuk Kecamatan Margahayu. Beberapa kampung yang dibebaskan yaitu Bantarmuncang, Bojongpacing, Bojongsempur, Bojongtanjung, Cedok, Cibadak, Cibodas, Cikadu, Cikahiangan, Cilisung, Cilokotot, Cimariuk, Jambatan, Leuwikorod, Masara, Pangguyunganbadak, Palgenep, Pasantren, Rengaswates, Sekekendal, Mariuk, Genteng, dan Sayati. Warga kampung-kampung itu pindah ke tempat lain karena lahan milik mereka dijadikan kantor, rumah sakit, landasan, perumahan, dan fasilitas pendukung lainnya.
Pembangunan tidak berlanjut setelah Jepang datang menjajah. Untuk memperkuat pertahanannya, Jepang menguasai seluruh pangkalan udara di tanah air dan meningkatkan kemampuan operasinya sebagaimana terjadi di pangkalan udara baru di Margahayu, Kabupaten Bandung. Pada tahun 1943, Jepang membangun landasan pacu dan taxi way.
Karena berada di kawasan Margahayu, pangkalan udara baru ini dinamai Pangkalan Udara (Lanud) Margahayu. Pada akhir kekuasaan Jepang, Lanud Margahayu beroperasi untuk kepentingan militer.
Jalan raya yang semula masuk ke kawasan yang kemudian menjadi Lanud Sulaiman TNI AU digeser melingkar seperti jalan desa yang selama ini sudah ada. Ada yang menjadi jalan raya utama, namun ada juga yang bersebelahan. Pertanyaannya, kapan jalan utama itu digeser agar tidak memotong landasan pacu Lanud Sulaiman?
Saya belum mendapatkan peta tahun 1950-an, tetapi keberadaan bangunan-bangunan yang menghadap ke jalan raya baru dapat dijadikan patokan kapan jalan itu dibuat. Di sepanjang jalan itu, terdapat Sekolah Dasar (SD) Angkasa 1 Lanud Sulaiman yang berdiri pada tanggal 1 Februari 1954, SMP Negeri 1 Margahayu tanggal 7 Agustus 1957, dan SMA Negeri 1 Margahayu tanggal 21 Agustus 1967.
Karena gedung SD Angkasa 1 Lanud Sulaiman berada di pinggir jalan raya yang baru, dapat disimpulkan bahwa jalan raya baru dibangun dalam rentang waktu 10 tahun tahun, antara 1945 hingga 1954.
Nama Lanud Margahayu sendiri digunakan sampai tahun 1966, dengan komandan kesembilan Komodor Udara (Anumerta) Sulaiman (1966–1966). Penggantian nama dari Lanud Margahayu menjadi Lanud Sulaiman merupakan penghormatan bagi sang komandan yang meninggal dalam kecelakaan pada saat terbang menuju Tasikmalaya. Pesawat helikopter yang ditumpangi Sulaiman jatuh di kompleks pabrik gas di Kiaracondong, Kota Bandung, pada tanggal 8 Juni 1966 pukul tujuh pagi. Sebanyak 12 orang perwira dan bintara AURI kehilangan nyawa.
Menyandang nama barunya, Pangkalan Udara Sulaiman dipimpin oleh komandan kesepuluh Letkol Udara Suwardi (1968–1969).