• Cerita
  • RAMADAN SETELAH PAGEBLUK #1: Masih Berjualan Kaus Bandung, Masih di bawah Teras Cihampelas

RAMADAN SETELAH PAGEBLUK #1: Masih Berjualan Kaus Bandung, Masih di bawah Teras Cihampelas

Hani Hadiyanti, penjual oleh-oleh khas Bandung di bawah Teras Cihampelas ,masih bertahan. Berharap setelah pandemi Covid-19, semua berangsur membaik.

Hani Hadiyanti menunggu pembeli di kios oleh-oleh khas Bandung miliknya di bawah Teras Cihampelas Kota Bandung pada hari pertama Ramadan, Kamis (23/3/2023).. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau23 Maret 2023


BandungBergerak.id - Menjelang pukul tiga sore di hari pertama Ramadan, Hani Hadiyanti (44 tahun) baru pulang dari pasar. Dia membawa sayur dan bahan-bahan membuat kolak untuk berbuka puasa.

Hari-hari pertama Ramadan memang selalu sepi bagi para pedagang di kawasan Jalan Cihampelas. Di bulan puasa, orang lebih mengincar baju untuk lebaran, bukan oleh-oleh khas Bandung. Sore itu baru enam tas senilai 160 ribu rupiah yang laku di kios Hani. Belum ada sehelai saja kaus khas Bandung yang terjual.

“Kalau kemarin udah mulai naik omzetnya. Sekarang ini puasa awal masih sepi,” tutur Hani, ditemui Bandungbergerak.id, Kamis (23/3/2023).

Subuh tadi Hani menyantap sahur bersama orang tua dan beberapa adiknya. Menunya tumisan buncis dan asinan cumi. Ditambah sambal tentu saja. Di bulan Ramadan, Hani membuka kiosnya dari pukul 9 pagi hingga pukul tujuh atau delapan malam.

Hani memperkirakan baru setelah pekan kedua Ramadan, jumlah pembeli akan membludak. Orang akan mulai memikirkan mudik ke kampung halaman dan mereka tentu membutuhkan buah tangan khas Bandung.

Menjual oleh-oleh khas Bandung, Hani mengambil keuntungan 10-20 persen dari total omzet penjualan per bulan. Kaus dia jual 20 ribu dan 25 ribu per helai. Harga baju setelan 35 ribu per helai, atau 100 ribu rupiah untuk tiga helai. Sama persis dengan banderol harga untuk kaus lengan panjang.

Sementara itu, untuk totebag Bandung, Hani memasang dua harga: 100 ribu rupiah untuk tiga helai totebag tali sumbu dan 100 ribu rupiah untuk empat helai totebag tali biasa. 

Bertahan di Masa Kritis

Dua tahun lalu, tepatnya Rabu (28/4/2021), masih di tengah pandemi Covid-19, BandunBergerak.id pernah berbincang dengan Hani Hadiyanti. Kiosnya masih sama, di bawah Teras Cihampelas. Barang-barang jualannya juga masih sama, yang dia ambil secara grosiran dari Pasar Baru. 

Sejak pagebluk melanda Maret 2020, Hani merasakan betul dampaknya. Pernah selama enam bulan aktivitas berjualan pernah berhenti sama sekali. Hani memaksa berjualan, namun personel Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bandung menyuruhnya segera menutup kios. Hasil berjualan secara daring (online) juga tidak mampu mencukupi 

Modal berjualan Hani akhirnya digunakan untuk menututupi biaya dapur. Dia terpaksa mengajukan pinjaman ke bank agar usaha tidak mandek. 

Di tahun sulit itu, Hani mengaku pernah kesulitan mebayar Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari salah satu bank. Beruntung dia bisa ikut program penangguhan pembayaran setahun dan tidak jatuh ke perangkap rentenir. 

“Ada yang beli, (uangnya) dipakai makan. Jadi ga muter uangnya,” ungkapnya.

Keadaan perlahan berubah mulai November 2021, seiring pelonggaran kebijakan penanganan pandemi. Hani bisa meraup omzet hingga 70 juta rupiah per bulan. Dari jumlah tersebut, keuntungan yang dia terima tidak lebih dari 20 persen. 

Sejak Februari 2022 hingga perayaan lebaran, situasi kembali memburuk. Penjualan kaus Bandung dan totebag di kios Hani seret. Banyak hal membaik menjelang akhir tahun 2022. Tidak sedikit pengunjung dari luar negeri seperti Malaysia, Arab, dan Filipina belanja di kiosnya. 

“Sekarang alhamdulilah ga ada (kesulitan),” katanya. “Udah mulai normal.” 

Sudah sejak 2013 Hani menjadi orang tua tunggal bagi kedua orang anaknya. Si sulung saat ini sedang berkuliah semester dua di sebuah universitas negeri di Semarang, Jawa Tengah. Sementara si bungsu masih duduk di bangku kelas 7 sekolah menengah pertama.

Menjelang sang anak masuk kuliah, Hani mengantarkan anak sulungnya dengan berboncengan mengendarai sepeda motor ke Semarang. Kendaraan itu lalu ditinggalkan untuk digunakan sang anak, sementara Hani kembali ke Bandung menggunakan transportasi umum.

Hani bersyukur si bungsu perempuan kreatif. Dia pandai berjualan di sekolah. Hasilnya digunakan untuk membayar biaya kegiatan ekstrakurikuler.

"Di sini (si bungsu) juga suka bantuin jualan,” ungkap Hani.

Di bawah Teras Cihampelas

Saat ini Hani bisa berjualan setiap hari karena dia mendapatkan tempat tak jauh dari warung kakak dan adiknya, di teras salah satu toko kosong yang sudah terjual. Jika toko itu sudah mulai dibuka, dia kemungkinan akan berjualan bergantian bersama saudaranya. Dua hari libur, dua hari berjualan. Bergantian.

Harapan terbesar Hani saat ini adalah agar para pedagang kaki lima (PKL) dapat diizinkan kembali berjualan di bawah Teras Cihampelas sehingga tak ada yang saling iri antara pedagang di atas dan pedagang di bawah.

Hani sempat kecewa ketika awal pembukaan Teras Cihampelas ia dan keluarga sudah sempat difoto dan didata namun pada saat peresmian ia dan keluarga justru tak sama sekali mendapat tempat untuk berjualan di atas. Bersyukur ia masih bisa berjualan di bawah.

“Harapannya jualannya normal bisa naik kayak dulu lagi, jadi anak-anak bisa kecukupan bisa lulus sekolah, orang tua sama adik juga biar jualannya pada lancar,” harapnya.

Hani merupakan salah satu pedagang kaki lima (PKL) yang telah lama berjualan di daerah Cihampelas. ia mengikuti jejak orang tuanya yang sudah berjualan kopi dan minuman terlebih dulu. Barulah 2008 ia beralih menjual kaos khas Bandung.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//