Ramadan di Tahun Pagebluk (11): Bertahan Hidup di bawah Teras Cihampelas
Hani Hadiyanti (42), salah satu pedagang kaki lima (PKL) yang tidak kebagian kios untuk berjualan di Teras Cihampelas. Pagebluk memberinya ujian berat.
Penulis Emi La Palau29 April 2021
BandungBergerak.id - Hani Hadiyanti (42) duduk menunggu pembeli di lapaknya di bawah Teras Cihampelas. Sudah pukul satu siang, belum ada satu pun barang dagangannya terjual. Kawasan Cihampelas, Rabu (28/4/2021) ini betul-betul lengang.
Hani masih punya lima jam sebelum menutup lapak menjelang magrib. Dia tetap melampungkan harapan tinggi-tinggi. Dua anaknya menunggu di rumah.
Pandemi Covid-19 menghantam keras para pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Cihampelas seperti Hani. Di lima bulan awal pandemi tahun lalu, mereka tidak bisa berjualan. Setelah izin berjualan kembali diberikan pemerintah, jumlah pendapatan tidak pernah kembali ke normal. Bulan Ramadan membuat situasi kian parah.
“Kalau Ramadan, (saya) lebih cepet beberesnya karena (pembelian) lebih sepi, Jadi magrib udah beberes. Ramadan makin-makin sepinya,” ungkap Hani, yang memilih tidak berjualan selama pekan pertama Ramadan, ketika berbincang dengan Bandungbergerak.id.
Hani menjual aneka kaos oleh-oleh Bandung. Kaus anak-anak dan dewasa dibanderol seharga Rp 20 ribuan per helai. Dia juga menjual daster seharga Rp 40 ribuan per helai atau Rp 100 ribu untuk tiga helai. Kaus dan daster dibeli Hani secara grosiran di Pasar Baru.
Selain kaus dan daster, Hani juga menjual tas rajut aneka ukuran. Yang ukuran kecil seharga Rp 15 ribu, sementara ukuran tas ransel seharga Rp 40 ribu. Tas-tas rajut ini diperoleh Hani dengan berbelanja ke Lembang.
Para PKL di kawasan Cihampelas mengandalkan wisatawan sebagai pembeli utama barang dagangan mereka. Di masa normal sebelum pandemi, Hani mengaku bisa memperoleh pendapatan harian paling sedikit Rp 300 ribu. Dia juga bisa berbelanja barang dagangan tiap hari sehingga pajangan di lapaknya terlihat selalu menarik.
Pagebluk membuat jumlah pengunjung kawasan Cihampelas, yang dulu kesohor sebagai pusat penjualan jin, melorot drastis. Menjelang lebaran seperti sekarang ini, tidak sedikit pedagang bersiasat dengan memperbanyak barang dagangan berupa baju-baju lebaran. Hani mengaku tidak mampu mengikuti tren ini. Modal yang dia miliki terlalu cekak.
Meski semakin sulit memperoleh pendapatan, Hani tetap bersyukur. Setidaknya dia bisa berjualan lagi. Bisa berjuang lagi untuk menghidupi keluarga.
“Tahun lalu (saya) gak jualan sama sekali. Masih untung Ramadan kali ini bisa jualan. Istilahnya buat bertahan hidup,” katanya.
Menjelang pukul dua siang, di tengah-tengah percakapan, datang satu pembeli. Hani sedikit lega.
Baca Juga: Ramadan di Tahun Pagebluk (10): Gundah dan Syukur Seorang Tukang Cukur
Ramadan di Tahun Pagebluk (9): Ira Marlina dan Empat Anaknya
Ramadan di Tahun Pagebluk (8): Tangan Eva Eryani Masih Mengepal
Tidak Kebagian Kios, Kena Razia
Hani Hadiyanti mulai berjualan kaus oleh-oleh khas Bandung di bawah Teras Cihampelas sejak 2012. Dia menumpang di lapak yang dimilik kedua orang tuanya sejak 1992. Mulanya mereka menjual kopi dan rokok, tapi sejak 2008 beralih menjual kaus khas Bandung.
Sebelum Teras Cihampelas dibangun pada tahun 2016, lapak Hani dan keluarganya terdiri dari empat meja. Namun, saat ini tinggal dua meja. Hani dan tiga pedagang lain menggunakannya secara bergiliran berjualan dua hari sekali. Artinya, Hani berjualan selama dua hari, lalu libur dua hari berikutnya.
Hani merupakan salah satu pedagang yang tidak kebagian lapak di Teras Cihampelas sebagaimana dijanjikan pemerintah. Dalam pendataan awal, namanya tercatat dalam daftar 170 pedagang yang akan direlokasi ke atas.
Di hari peresmiannya, ada 192 kios yang tersedia di infrastruktur baru tersebut. Hani tidak kebagian salah satu di antaranya. Dia pasrah mendapati banyak pedagang dari luar kawasan Cihampelas yang justru berhasil mendapatkan jatah kios.
Di bulan-bulan awal pembangunan Teras Cihampelas, berjualan di bawahnya bukan perkara mudah. Para petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sering melakukan razia. Hani berulang kali diminta menutup lapaknya.
“Kalau (petugas) Satpol PP baik, (dia) bilangnya jangan terlalu menonjol. Kalau (petugas) yang galak gak mau tahu. Pokoknya, katanya sudah aturan,” ucapnya.
Hani mengaku mendengar juga banyak keluhan para PKL di Teras Cihampelas tentang penjualan yang sepi. Di sepanjang pagebluk mereka bahkan harus tutup. Hani juga mendengar kabar tentang rencana pemerintah meminta semua pedagang pemilik kios kembali berjualan di atas Teras Cihampelas seusai lebaran.
Berjuang Sendirian
Hani Hadiyanti merupakan warga asli Bandung. Dia lahir sebagai anak kedua dari 10 bersaudara di sebuah keluarga yang sederhana. Ibunya berjuang sendirian untuk membesarkan anak-anaknya setelah suaminya memilih menikah lagi. Tak disangka, nasib yang mirip menimpa Hani.
Saat ini berjuang sendirian mencukupi kebutuhan hidup dua anaknya. Si sulung laki-laki yang berusia 18 tahun baru saja lulus sekolah menengah atas (SMA). Ia belum bisa melanjutkan pendidikan ke universitas karena ketiadaan dana. Sementara itu, si bungsu perempuan masih duduk di bangku kelas V sekolah dasar (SD).
Sebelumnya, sejak 2001, Yani mengikuti sang suami ke Kota Curup, Bengkulu. Di sana dia mengelola warung nasi padang milik mertua. Perangai sang suami membuat Hani tidak kuat lagi bertahan.
Pada tahun 2012, Hani memutuskan berpisah dengan suami, dan kembali ke Bandung membawa kedua anaknya. Keputusan ini bukanlah sebuah keputusan mudah, tapi dia sudah membulatkan niat. Setahun berselang, Hani resmi bercerai.
Sejak berpisah, menurut Hani, tidak pernah sekali pun sang suami mengirimkan nafkah. Termasuk ketika si sulung sekarang sedang membutuhkan dana untuk berkuliah. Selama sembilan tahun terakhir, Hani memikul tanggung jawabnya sebagai orang tua tunggal.
Di bawah Teras Cihampelas, infrastruktur berupa jembatan beton yang dibangun pemerintah dengan dana hampir Rp 50 miliar itu, tidak ada pilihan bagi Hani selain bekerja keras.