Ramadan di Tahun Pagebluk (8): Tangan Eva Eryani Masih Mengepal
Eva Eryani (51) saat ini menjadi satu-satunya warga Tamansari yang masih menolak proyek pembangunan rumah deret. Kesadaran melawan dia peroleh di lapangan.
Penulis Emi La Palau25 April 2021
BandungBergerak.id - Hari nahas itu masih lekat di ingatan Eva Eryani Effendi (51). Kamis, 12 Desember 2019. Rumah Eva, yang juga jadi tempatnya membuka usaha jahit, hancur digusur alat berat. Sebagian besar isinya rusak atau bahkan lenyap.
“Bahan rusak, baju yang udah jadi (rusak), mesin rusak, barang ada yang hilang, rumah tidak ada lagi,” ungkapnya ketika berbincang bersama BandungBergerak.id, Minggu (25/4/2021) siang.
Rumah Eva, yang dibangun sang kakek pada 1965, merupakan satu dari 18 rumah warga di RW 11 Tamansari, Bandung, yang dirobohkan paksa hari itu. Ratusan aparat, atas restu Pemerintah Kota Bandung, terlibat dalam aksi demi memuluskan proyek pembangunan rumah deret. Beberapa warga menderita luka.
Penggusuran itu, yang oleh pemerintah disebut tindakan pengosongan lahan, melahirkan hujan protes dari berbagai elemen masyarakat. Aksi sepihak ini berlawanan dengan klaim kota ramah hak asasi manusia (HAM) yang sebelumnya banyak digaungkan.
Nestapa yang menimpa Eva tidak berhenti sampai di situ. Pada 4 Februari 2020, ia kehilangan sang ayah. Penggusuran rumah itu membuatnya menderita depresi dan sakit-sakitan. Sebelumnya, pada 17 November 2019, kakak pertama Eva meninggal akibat sakit kanker pada saluran kencingnya.
Namun Eva menolak menyerah. Sekarang sudah lebih dari tiga tahun, dan dia memilih untuk tetap melawan. Dia bangun kembali rumahnya secara darurat di lahan seluas 80 meter persegi, berbatasan dengan lahan proyek rumah deret yang sedang berlangsung pembangunannya. Pagar-pagar seng berdiri kokoh sebagai garis pembatas keduanya.
Beberapa warga Tamansari yang sebelumnya berjuang bersama Eva menolak proyek rumah deret Tamansari satu per satu menerima skema yang ditawarkan pemerintah. Eva menjadi satu-satunya yang masih bertahan. Masih melawan.
Baca Juga: Ramadan di Tahun Pagebluk (7): Menunggu Godot di Pasar Buku Palasari
Ramadan di Tahun Pagebluk (6): Impian Sederhana Dewi Sulasti
Ramadan di Tahun Pagebluk (5): Sehari dalam Hidup Aan Aminah
Kerja Serabutan
Bertahan hidup di tahun pagebluk bukan perkara mudah. Apalagi bagi seseorang yang kehilangan rumah yang sekaligus menjadi tempat bekerja seperti Eva. Dia mengerjakan apa saja yang bisa dilakukan.
Jika seorang teman membutuhkan tenaganya untuk proyek pembuatan pakaian, Eva akan menjadi buruh pemotong bahan. Beberapa waktu lalu dia bekerja selama seminggu penuh dengan upah Rp 100 rribu per harinya. Uang sejumlah itu begitu berharga.
Di bangunan darurat yang dia dirikan di bekas rumahnya, Eva juga membuka jasa cuci pakaian. Tarifnya Rp 10 ribu per kilogram. Namun, pembongkaran dan pemagaran paksa oleh oknum preman dan ormas (organisasi massa) pada Kamis, 11 Februari 2021 lalu membuat mesin cuci Eva tertahan di samping masjid Al Islam. Tidak ada lagi akses jalan yang cukup luas untuk membawanya masuk ke rumah darurat yang dia bangun.
“Jualin kue orang juga. Kadang rangginang kalau ada. Atau rempeyek,” kata Eva. “Siap-siap (jualan) kue lebaran sekarang mah.”
Eva Eryani lahir di tengah keluarga sederhana sebagai anak kedua dari lima bersaudara. Dia tumbuh dan besar di Tamansari. Itulah kenapa bagi Eva, hilangnya rumah adalah juga hilangnya sebuah sejarah keluarga yang demikian panjang.
Keterampilan Eva menjahit diperoleh ketika dia belajar di jurusan jahit busana di sebuah sekolah menengah kejuruan (SMK). Sempat mengenyam pendidikan D3 sekolah pariwisata, dia merantau ke Batam untuk bekerja sebagai resepsionis hotel pada tahun 1988. Hanya bertahan selama 9 bulan, Eva kembali ke Bandung dan selama tiga bulan bekerja di sebuah hotel.
Dari hotel, Eva melakoni kerja sebagai petugas pemasaran di sebuah perusahaan swasta. Pada 1996, dia berangkat ke Malaysia untuk bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW) dan mampu bertahan selama empat tahun.
Kembali ke Indonesia, Eva sempat bekerja di beberapa tempat. Pada 2005 dia bekerja di toko butik di Cileungsi, Bogor. Tiga tahun berselang, dia memutuskan kembali ke Bandung untuk membuka usaha jahit di rumah sendiri di Tamansari.
Eva melayani penjahitan baju, jaket, kemeja, baju pengantin, dan memasang payet. Mampu mempertahankannya selama sembilan tahun, dia pernah menjalin kerja sama dengan dua label pakaian besar di Bandung dan Jakarta. Namun, perjalanan itu mandek seketika di hari penggusuran.
Kesadaran Melawan
Di sepanjang hayatnya, Eva Eryani tidak pernah terlibat dalam organisasi apa pun. Waktunya habis untuk bekerja dan menjadi buruh demi mencukupi kebutuhan hidup.
Kesadaran melawan tidak diperoleh Eva dari bangku sekolah. Kesadaran itu ketika dia mulai dihadapkan langsung pada persoalan pembangunan rumah deret yang akan menggantikan kampung halamannya. Eva mengingat, pada 2017 silam, dia disodori dokumen Undang-Undang Pokok Agraria oleh salah seorang sesepuh kampung yang tidak menerima proyek tersebut.
Sejak itulah sebagian pikiran dan tenaga Eva dicurahkan untuk mengikuti perkembangan proyek rumah deret. Dia menghadiri undangan buka bersama oleh Wali Kota Ridwan Kamil di Pendopo Kota Bandung pada Juni 2017 yang di kemudian hari diklaim sebagai sosialisasi proyek. Eva juga ada dalam pertemuan kedua antara warga dengan sang wali kota di kawasan Tamansari beberapa bulan kemudian.
“Dia (Ridwan Kamil) pada saat itu (datang) bukan sebagai wali kota, tapi sebagai (petugas) marketing yang mau jualan proyek ke warga,” ungkap Eva. “Aku juga pernah jadi (petugas) marketing, jadi tahu gaya-gaya orang jualan.”
Eva terus menggali informasi tentang proyek ini. Dia mengajukan diri untuk terlibat di setiap pertemuan sebagai tukang dokumentasi. Belakangan, Eva semakin banyak berdiskusi dan bertukar pikiran dengan para mahasiswa dan elemen-elemen masyarakat lain yang bersolidaritas dalam kasus rumah deret Tamansari.
“Saya memperjuangkan hak atas hidup yang layak, hak atas tanah sebagai warga negara. Saya merasa ini adalah hak saya untuk diperjuangkan,” kata Eva.
Dari tahun ke tahun, Eva semakin jauh terlibat dalam aksi menolak rumah deret. Dia ada di garis terdepan dalam setiap unjuk rasa atau audiensi.
Dari tahun ke tahun, tangan Eva semakin kuat mengepal. Bahkan ketika satu per satu warga penolak rumah deret mulai menerima tawaran pemerintah. Bahkan ketika dia menjadi satu-satunya orang yang bertahan.