• Cerita
  • Ramadan di Tahun Pagebluk (5): Sehari dalam Hidup Aan Aminah

Ramadan di Tahun Pagebluk (5): Sehari dalam Hidup Aan Aminah

Aan Aminah (47), seorang buruh perempuan korban PHK yang sedang menyandang status tahanan kota. Di bulan ramadan, dia tak berhenti melawan.

Aan Aminah (47) sedang membuat sumpia yang sejak satu pekan lalu menjadi sandaran penghasilan bagi keluarga kecilnya di sekretariat F-Sebumi, Ujungberung, Bandung, Selasa (20/4/2021) malam. (Foto: Emi La Palau)

Penulis Emi La Palau21 April 2021


BandungBergerak.idJari-jari berurat Aan Aminah (47) cekatan menggulung ratusan sumpia, jenis lumpia berukuran kecil berisi udang rebon. Dimulai satu pekan lalu, hasil penjualan penganan inilah yang jadi sandaran hidupnya bersama sang anak perempuan.

Awalnya Aan ragu. Dia cemas sumpia buatannya tidak akan laku. Seperempat abad umurnya dihabiskan sebagai buruh pabrik tekstil. Pengalaman berdagang sama sekali tidak dimilikinya.

Namun dukungan datang dari mana-mana. Banyak orang bersolidaritas. Mereka memesan dan mengabarkan usaha baru Aan ini ke berbagai relasi dan kenalan. Sudah 50 kilogram sumpia berhasil dijual Aan.

“Alhamdulillah kita menjalani (ini) karena kita yakin. Jadi, ada aja rezeki tanpa kita harus mengemis,” tutur Aan, ditemui BandungBergerak.id di sekretariat Federasi Serikat Buruh Militan (F-Sebumi) di Ujungberung, Bandung, Selasa (20/4/2021) malam.

Sekretariat itu sekarang jadi tempat tinggal Aan bersama anak perempuannya yang masih belajar di sekolah menengah kejuruan (SMK). Dia membesarkan anak itu sendirian sejak berpisah dengan sang suami 11 tahun lalu. Seluruh biaya pendidikan menjadi tanggungannya, termasuk tambahan biaya untuk kuota internet selama pembelajaran daring akibat pandemi Covid-19.  

Aan Aminah, seorang buruh korban PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) yang sedang menyandang status tahanan kota. Selasa selalu menjadi hari yang amat panjang baginya.

Sekitar pukul 07.30 WIB, Aan sudah bergegas ke Pengadilan Negeri Bandung untuk menghadiri sidang atas perkaranya. Menunggu selama beberapa jam, datang pengumuman tentang pembatalan sidang. Pihak pelapor tidak mampu menghadirkan dua orang saksi yang telah dijanjikan. Waktu dan tenaga Aan terkuras, seolah sia-sia.

Kegiatan berikutnya sudah menunggu Aan: diskusi kelompok terfokus (focus group discusiion) lewat aplikasi Zoom Meeting dengan Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat. Yang dibahas adalah indeks demokrasi, termasuk urusan kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum. Sebagai aktivis buruh, Aan sangat dekat dengan isu ini. Ia bahkan menjadi salah satu korbannya.

Dari pengadilan, Aan menyempatkan mampir ke pasar untuk membeli bahan-bahan pembuatan sumpia. Tidak lupa, bahan untuk santap berbuka puasa bersama rekan-rekan serikat pekerja yang juga tinggal di sekretariat. Ada tiga orang selain Aan.  Kali ini menunya adalah karedok leunca, bala-bala, dan capcay.

“Buat saya, segitu mewah,” ujar Aan.

Meski ramadan tahun ini terasa demikian berat, Aan menjalaninya dengan ikhlas. Senyum dan tawa rekan-rekannya ketika berbuka bersama dan membuat sumpia memberinya penghiburan.  

Perjuangan hidup Aan Aminah banyak disokong oleh rekan-rekan dan mereka yang bersolidaritas. Dalam satu pekan, datang pesanan 50 kilogram lumpia. (Foto: Emi La Palau)
Perjuangan hidup Aan Aminah banyak disokong oleh rekan-rekan dan mereka yang bersolidaritas. Dalam satu pekan, datang pesanan 50 kilogram lumpia. (Foto: Emi La Palau)

Tak Henti Melawan

Aan Aminah dilahirkan di keluarga kurang mampu di Langkap Lancar, Pangandaran, 47 tahun silam. Bangku sekolah hanya bsia ia nikmati hingga lulus sekolah dasar. Kedua orang tuanya tidak sanggup lagi menyediakan dana baginya untuk melanjutkan pendidikan.

Untuk bertahan hidup, Aan nekat merantau ke Jakarta dan bekerja bekerja sebagai pembantu rumah tangga.  Ketika majikannya pindah tugas ke Kendari, Sulawesi Tenggara, dia terpaksa pulang ke kampung halaman.

Pada awal tahun 1995, Aan kembali mengadu nasib. Kali ini dia ikut kakaknya mengadu nasib ke Bandung.

Setelah menganggur beberapa bulan, Aan bekerja di bagian pengemasan (packing) di CV Sandang Sari mulai April 1995. Dia, sama seperti rekan-rekan kerjanya yang lain, menerima bayaran setiap 14 hari sekali. Meski dua kali sebulan, nilai total bayaran itu masih belum memenuhi upah minimum kota (UMK) yang digariskan pemerintah.

Di pabrik tekstil di kawasan Sindang Jaya itu, Aan bertahan hingga 25 tahun lamanya. Dia aktif di serikat pekerja dan menyuarakan hak-hak sesama buruh. Aan bahkan ditandai sebagai salah satu tokoh yang paling berani.

Aan ada dalam gerakan memprotes keputusan perusahaan membayarkan Tunjangan Hari Raya (THR) tahun 2020 dengan dicicil. Dia juga ada dalam unjuk rasa dan aksi mogok yang berlangsung sejak April 2020.

Pada 4 Juni 2020, nama Aan Aminah masuk dalam daftar 10 buruh CV Sandang Sari yang di-PHK dengan alasan melanggar peraturan perusahaan lewat provokasi aksi protes dan unjuk rasa. Mereka merupakan pengurus Serikat Buruh F-Sebumi dengan Aan sebagai ketuanya.

Tidak cukup sampai di situ, Aan pun dituduh telah melakukan tindak penganiayaan terhadap petugas satuan pengamanan (satpam) dalam aksi unjuk rasa tanggal 22 Juni 2020. Tepat empat bulan kemudian, dia ditetapkan sebagai tersangka dan bahkan sempat ditahan selama 10 hari di penjara.

“Pas kena (PHK dan diperkarakan) kemarin, (saya) sempat nangis pas keluar dari rutan,” kata Aan.

Terhadap apa yang menimpanya, Aan bersikap pasrah. Dia menjadikannya pelajaran yang jadi bekal untuk terus melawan ketidakadilan. Dia paham kini, pemerintah tidak bisa sepenuhnya diandalkan untuk mengubah nasib buruh.

Baca Juga: Ramadan di Tahun Pagebluk (4): Menjahit Pakaian, Menyambung Kehidupan
Ramadan di Tahun Pagebluk (3): 30 Tahun Wahidin Menggenjot Becak
Ramadan di Tahun Pagebluk (2): Koran dan Majalah dalam Dekapan Wahyu

Aan mengakui, ketakutan beberapa kali menghampirinya. Dia merasa selalu diintai, diikuti. Beberapa orang mencurigakan terlihat mondar-mandir di sekitar sekretariat F-Sebumi tempatnya menginap.

Aan sepenuhnya sadar bahwa dia seorang perempuan, seorang ibu. Memilih jalan perlawanan, dia menyerahkan semuanya pada Tuhan. Aan juga berdoa agar semakin banyak orang memiliki kesadaran serupa sehingga solidaritas bisa tumbuh semakin kuat. 

“Saya menyayangi keturunan saya. Saya mungkin tidak punya warisan apa-apa kecuali bagaimana sistem ini bisa berubah,” kata Aan. “Mudah-mudahan anak cucu saya bisa menikmati hasilnya.”

Malam di Ujungberung semakin luruh dalam gelap, tapi semangat melawan dalam diri Aan Aminah tidak.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//