• Cerita
  • Ramadan di Tahun Pagebluk (2): Koran dan Majalah dalam Dekapan Wahyu

Ramadan di Tahun Pagebluk (2): Koran dan Majalah dalam Dekapan Wahyu

Wahyu Yuni Anto (63), yang sudah 23 tahun menjadi loper koran, menyaksikan redupnya bisnis media cetak. Dari ratusan, kini tinggal 15 pelanggan. Ia tetap bertahan.

Wahyu Yuni Anto (63) bersama koran dan majalah yang menjadi tumpuan hidup keluarganya selama 23 tahun terakhir, Jumat (16/4/2021), di seputaran Masjid Istiqomah, Bandung. (Foto: Emi La Palau)

Penulis Emi La Palau17 April 2021


BandungBergerak.idMatahari mulai condong ke ufuk barat. Hari menjelang sore. Wahyu Yuni Anto (63) berjalan menyusuri trotoar di kawasan Jalan Citarum, Bandung. Masih ada satu koran dan beberapa majalah dalam dekapannya.  

Wahyu, yang sudah 23 tahun menjadi loper koran, memulai pekerjaannya sejak subuh. Usai makan sahur bersama istri dan anak, ia bergegas menuju bursa koran Cikapundung. Udara masih segar. Wahyu memilih berjalan kaki dari rumah kontrakannya di kawasan Jalan Gatot Subroto, tidak jauh dari pusat perbelanjaan Trans Studio Mall (TSM).

Penjualan koran di bulan ramadan sedikit sepi. Banyak orang memilih keluar rumah setelah jam 11 pagi. Pada jam segitu, koran sudah tidak membangkitkan selera membaca.

“Kalau sudah siang, untuk ngelap kaca mungkin (korannya),” kata Wahyu kepada BandungBergerak.id, ditemui di seputaran Masjid Istiqomah, Bandung, Jumat (16/4/2021).

Pagi itu Wahyu mengambil 30 eksemplar koran, terdiri dari 15 Tribun Jabar, 10 Pikiran Rakyat (PR), dan 5 Kompas. Semua habis terjual, kecuali satu eksemplar koran PR. Salah seorang langganannya pulang kampung.

Selain koran, untuk menambah penghasilan, Wahyu juga menjual beberapa majalah, seperti Tempo, Bobo, Mombi, serta beberapa majalah tematik rumah dan masakan. Hari itu ia membawa 35 eksemplar majalah dan 13 eksemplar di antaranya belum terjual.

Selisih untung penjualan koran amat tipis. Setipis jumlah lembar halaman koran dewasa ini. Untuk semua nama koran, Wahyu mengantongi duit tidak lebih dari Rp 2.000 per eksemplarnya.

Keuntungan lebih besar diperoleh dari penjualan majalah. Majalah Tempo yang ia beli Rp 37 ribu bisa dijual seharga Rp 45 ribu. Majalah Bobo, yang didapatkan dengan harga Rp 11 ribu, dijual kembali seharga Rp 15 ribu. Majalah Mombi, diperoleh dengan harga Rp 9 ribu, bisa dijual Rp 14 ribu. Majalah-majalah tematik rumah dan masakan memberikan keuntungan yang jauh lebih besar.

“Majalah (tematik) rumah ngambil paling sedikit. Itu laku tiga saja sudah Alhamdulillah,” ujarnya.  

Semua koran dan majalah dibeli Wahyu dengan modal sendiri dulu. Koran harus habis di hari yang sama. Telat sehari, tidak ada orang mau beli. Beda dengan majalah yang bisa dijajakan selama satu pekan bahkan satu bulan.  

Korban Gusuran

Wahyu Yuni Anto lahir dan tumbuh di Purbolinggo, Jawa Tengah. Sejak tahun 1977, ia memberanikan diri merantu ke Kota Kembang. Pekerjaan pertamanya adalah kuli proyek bangunan.  

Wahyu pernah memiliki rumah berukuran 28 meter persegi di kawasan Cibangkong. Harga tanahnya, Rp 280 ribu, tergolong tinggi di tahun 1970-an. Ia berhasil menebusnya meski dengan susah-payah.

Proses pembangunan rumah berlangsung hingga tiga tahun lamanya. Keterbatasan dana memaksa Wahyu melakukannya secara mencicil. Satu per satu material dibeli, dari semen hingga pasir. Sisa batu bata bangunan pabrik tempatnya bekerja dikumpulkan.

Rumah kecil itu lenyap tergusur ketika proyek raksasa membangun sebuah mal bergulir. Bersama 22 kepala keluarga (KK) lain, Wahyu terpaksa menjualnya. Ia masih ingat nilai ganti rugi yang ia terima tidak lebih dari Rp 102 juta.

Dengan uang sejumlah itu, rumah sulit terbeli. Wahyu terpaksa mengontrak di kawasan Gatot Subroto bersama keluarganya. Satu kamar untuk dirinya dan sang istri, dan satu kamar lagi untuk anak-anak mereka.

Wahyu memiliki tiga orang anak. Si sulung telah berhasil lulus kuliah D3, si tengah masih berkuliah, sementara si bungsu baru saja lulus sekolah menengah atas.

Alhamdulillah, tiga anak beasiswa, (karena dapat) ranking. Kami cuman (membiayai) untuk ongkosnya saja,” ungkapnya.

Baca Juga: Ramadan di Tahun Pagebluk (1): Dari Terminal ke Terminal

Tinggal 15 Pelanggan

Di tahun-tahun pertama menjadi loper koran, Wahyu memiliki banyak langganan. Ada 130 rumah yang mengandalkannya sebagai pengantar informasi setiap pagi. Sebagian dari rumah itu melanggan tiga koran. Koran-koran yang laris di antaranya Pikiran Rakyat, Rakyat Merdeka, Republika, The Jakarta Post, dan Gala.

Wahyu memulai rutinitas kerja dengan memastikan ke-130 rumah itu terlayani pagi-pagi benar. Baru setelah itu ia berkeliling menjajakan koran dan majalah di jalan-jalan. Koran Lampu Merah banyak dibaca oleh para sopir.

Wahyu punya kebiasaan unik. Ia harus membaca terlebih dahulu berita-berita yang ada di koran-koran yang ia jual. Dalam satu jam ia mampu menuntaskan 16 judul koran.

“Jadi berita-berita itu sudah masuk ke otak. Soalnya dulu kalau ditanya pembeli ada berita apa, kalau gak bisa jawab, kacau. Jadi harus baca dulu sebelum dijual,” ungkapnya.

Selain ke rumah-rumah, Wahyu juga menjajakan koran ke kantor-kantor dan rumah sakit. Agar diizinkan masuk dan secara leluasa menjajakan koran ke lorong-lorong rumah sakit, ia punya trik yang manjur digunakan di depan petugas satuan pengamanan (satpam).  

“Saya bilang (ke satpam): tahu hukum gak? Ini pers loh! Jangankan masuk ke rumah sakit, masuk ke angkatan darat saja bisa. Kalau situ macam-macam, saya panggilin wartawannya,” katanya.

Begitulah Wahyu bisa melenggang masuk ke rumah sakit dan menawarkan koran ke rombongan pembesuk, sementara kawan-kawan loper lain tertahan di pintu gerbang.

Zaman sudah berubah. Masa kejayaan koran sudah lewat, tergantikan berita daring (dalam jaringan). Makin sedikit jumlah orang yang membaca koran. Wahyu kini tinggal punya 15 pelanggan. Sebagian besar adalah perkantoran.

Jika dulu Wahyu bisa membawa pulang uang Rp 400 ribu per hari, sekarang tinggal Rp 100 ribu. Tidak jarang kurang dari itu.  Toh ia tidak kehilangan rasa syukur.

Tidak ada pilihan selain tetap tekun menjajakan koran dan majalah. Putus asa bukanlah jalan yang diambil Wahyu. Setelah menjajakan koran di pengadilan, rumah sakit, dan kantor-kantor, bergeser ke persimpangan berlampu merah.  

“Kalau koran, bisa habis,” katanya. “Tapi majalah, (saya) harus berjuang bener-bener.”

Meski seharian menyeret kaki berpuluh-puluh kilometer jauhnya, Wahyu tetap menjaga puasanya. Belum pernah sekali pun, ia membatalkan puasa dengan alasan kecapaian. Berpuasa, menurutnya, terutama adalah urusan niat pada hati. Bukan soal fisik. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//