• Cerita
  • Ramadan di Tahun Pagebluk (4): Menjahit Pakaian, Menyambung Kehidupan

Ramadan di Tahun Pagebluk (4): Menjahit Pakaian, Menyambung Kehidupan

Sebagai tukang jahit pinggir jalan di kawasan Cipaera, Bandung, Yani Maryani (41) jadi tulang punggung keluarga. Dia mewarisi keterampilan itu dari sang ibu.

Yani Maryani (41) sedang menjahit pakaian pelanggannya di kawasan Cipaera, Kota Bandung , Senin (19/4/2021) sore. (Foto: Emi La Palau)

Penulis Emi La Palau20 April 2021


BandungBergerak.idHujan mengguyur deras kawasan Cipaera, Kota Bandung. Percik-percik air mulai membasahi sudut meja jahit bercorak kehijauan milik Yani Maryani (41). Itulah meja jahit yang jadi gantungan hidup keluarganya sejak 13 tahun lalu.

Yani melayani jasa menjahit permak, pasang risleting, pasang karet, pasang logo, serta mengecilkan dan membesarkan pakaian. Jemarinya cekatan memainkan mesin jahit dan menyulam benang untuk memperbaiki baju-baju, rok, serta celana pelanggan.  

Alhamdulillah ada aja yang ngejahit mah, cuman gak rame gak kayak tahun-tahun sebelumnya,” ungkapnya ketika ditemui Bandungbergerak.id, Senin (19/4/2021) sore.

Ramadan merupakan bulan berkah bagi para tukan jahit pinggir jalan seperti Yani. Sejak dari pekan-pekan pertama, warga sudah antre menjahit baju lebaran. Namun tahun ini suasananya berbeda. Buka dari pagi, Yani hari itu baru kedatangan empat pelanggan.

Namun tidak pilihan selain bertahan. Yani saat ini menjadi tulang punggung keluarga. Suaminya, seorang pekerja bangunan, sudah menganggur selama beberapa bulan. Pandemi Covid-19 membuat panggilan pekerjaan tidak kunjung datang.  

Yani bersyukur, ramadan tahun ini dia bisa menjahit lagi. Di sepanjang Ramadan tahun 2020 lalu, dia sama sekali tidak bisa menjahit akibat kebijakan pembatasan aktivitas warga. Yani dan suami bertahan hidup dengan mengandalkan paket bantuan sosial dari pemerintah.  

“Selebihnya (kami) ngejual barang-barang untuk bertahan. Jual cincin. Pokoknya kalau yang ada (bisa)dijual, ya dijual,” katanya.

Baca Juga: Ramadan di Tahun Pagebluk (3): 30 Tahun Wahidin Menggenjot Becak
Ramadan di Tahun Pagebluk (2): Koran dan Majalah dalam Dekapan Wahyu

Usai mengurus rumah, sekitar pukul setengah sepuluh pagi, Yani setiap hari mengayuh sepeda dari rumahnya di Gang Babakan Garut, Cibangkong menuju kawasan Jalan Cipaera, tidak jauh dari Pasar Kosambi. Jaraknya sekitar satu kilometer.

Sebagai perempuan, Yani tidak masalah harus bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga. Dia merasa tenang bisa memiliki penghasilan sendiri sehingga tidak bergantung kepada suami. Selain terhindar dari jerat rentenir, Yani sesekali juga bisa menyisihkan uang untuk orangtuanya.

Penghasilan sebagai tukang jahit pinggir jalan tidak menentu. Jika ramai pelanggan, Yani bisa membawa pulang uang Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu setiap harinya. Namun di tahun pagebluk ini, pendapatan anjlok hingga separuhnya. Bahkan kadang Yani pulang tanpa membawa sepeser pun uang.

Setelah lebaran, ada satu lagi musim panen yang ditunggu-tunggu dengan penuh harap oleh para penjahit, yakni tahun ajaran baru. Para orangtua biasanya berbondong-bondong menjahitkan seragam sekolah anak mereka. Namun di tengah pandemi, yang memaksa murid-murid belajar dari rumah, harapan menjadi kecemasan.   

Yani Maryani (41) mengukur panjang celana pelanggannya. Keterampilan menjahit diwarisi Yani sejak kecil dari sang ibu yang bekerja sebagai tukang jahit. (Foto: Emi La Palau)
Yani Maryani (41) mengukur panjang celana pelanggannya. Keterampilan menjahit diwarisi Yani sejak kecil dari sang ibu yang bekerja sebagai tukang jahit. (Foto: Emi La Palau)

Mandiri sejak Dini

Yani Maryani, lahir di Garut, dipaksa mandiri sejak dini. Kedua orangtuanya berpisah ketika dia berumur dua tahun. Yani dibesarkan oleh sang nenek. Begitu lulus sekolah menengah pertama, dia ke Bandung dan bekerja serabutan.

Yani pernah bekerja pada bagian pengemasan di sebuah pabrik pakaian anak-anak sejak tahun 1995. Lima tahun kemudian dia mengundurkan diri untuk menikah. Pekerjaan di pabrik begitu berat, membuatnya sering sakit-sakitan.

Hingga usia pernikahan yang ke-21 tahun, Yani belum juga dikaruniai momongan. Hal ini sesekali mengganggu pikirannya. Sudah beberapa kali dia dan suami memeriksakan diri ke dokter, namun belum terlihat hasilnya.

Belum lagi masih kuatnya stigma di tengah masyarakat terhadap perempuan berumur yang belum punya keturunan. Yani harus menghadapi tidak sedikit pertanyaan dari kenalan dan tetangga.  

“Ikhlas aja, mikirnya ini udah takdir Allah. Semuanya sudah ada yang ngatur,” tutur Yani. “Sedih mah sedih, penginnya punya anak kasep geulis. Tapi belum ada rezekinya.”

Yani sudah bisa menjahit sejak kecil. Ibunya, yang bekerja sebagai tukang jahit bendera dan jas hujan, yang mengajarkan keterampilan itu padanya. Keterampilan yang sejak 2008 lalu telah berjasa menyambung kehidupan keluarga kecilnya. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//