• Cerita
  • Ramadan di Tahun Pagebluk (3): 30 Tahun Wahidin Menggenjot Becak

Ramadan di Tahun Pagebluk (3): 30 Tahun Wahidin Menggenjot Becak

Wahidin (67) sudah 30 tahun menghidupi keluarganya dengan menggenjot becak yang tidak pernah ia miliki. Di tengah segala kesulitan, ia bertahan sekuat tenaga.

Wahidin (67), ditemui di kawasan Pasar Kosambi, Bandung, Sabtu (17/4/2021). Sudah 30 tahun ia menghidupi keluarga dengan menggenjot becak yang tidak pernah dimilikinya. (Foto: Emi La Palau)

Penulis Emi La Palau19 April 2021


BandungBergerak.idSudah lewat pukul sembilan pagi. Matahari di Sabtu (17/4/2021) itu lumayan terik. Baru ada tiga penumpang yang diangkut Wahidin (67) dengan becaknya. Bukan betul-betul becak miliknya, tapi becak kepunyaan orang lain yang ia kendarai.  

Selama ramadan, Wahidin bekerja dari pukul lima pagi hingga 11 siang. Artinya, tersisa satu setengah jam baginya untuk menambah penghasilan. Jika tak ada lagi orang memakai jasanya, ia akan membawa pulang uang sekitar Rp 30 ribu saja.

“Berat, nyari uangnya susah sekarang mah. Paling 20 ribu atau 10 ribu rupiah bisa dibawa pulang,” ungkapnya kepada BandungBergerak.id di pangkalannya di sekitar Pasar Kosambi, Bandung.

Sudah selama hampir 30 tahun Wahidin menjadi tukang becak di pasar di timur pusat kota itu. Keluarganya tinggal di Tanjungsari, Sumedang. Wahidin memilih melakukan perjalanan pergi pulang setiap kali bekerja.

Pagi-pagi sekali, usai sahur bersama keluarga pukul empat subuh, Wahidin bergegas ke Bandung dengan menumpang mobil elf yang melintas. Setiba di Kota Kembang, ia salat subuh, lalu mengambil becak. Pagi hari merupakan jam-jam sibuk pasar tradisional.  

Ongkos menumpang elf Rp 15 ribu sekali jalan. Kalau Wahidin mendapat uang Rp 30 ribu, habis sudah untuk membiayai perjalanan bolak-balik. Tidak ada sisa untuk diberikan kepada sang istri.

Biasanya Wahidin bisa mengangkut lima kali setiap hari. Uang sekitar Rp 50 ribu ia peroleh. Selain Rp 30 ribu ongkos perjalanan dari dan ke Sumedang, ia harus menyisihkan setoran Rp 7 ribu untuk sang pemilik becak. Barulah sisanya diberikan istri di rumah. Jumlahnya Rp 13 ribu.

“Di rumah, biasa aja makanannya,” kata Wahidin. “Telor, tahu, nyayur. Seadanya.”

Wahidin dan istrinya memiliki tujuh anak. Lima di antaranya sudah berkeluarga. Anak lelakinya yang ke-6 sudah setahun ini menganggur di rumah akibat kehilangan pekerjaan sebagai pesuruh kantor di Jakarta. Pandemi Covid-19 memaksa kantornya melakukan efisiensi. Beruntung, si bungsu bisa bekerja di Puskesmas Tanjungsari, meski sebagai lulusan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) bayarannya tidaklah seberapa.

Baca Juga: Ramadan di Tahun Pagebluk (1): Dari Terminal ke Terminal
Ramadan di Tahun Pagebluk (2): Koran dan Majalah dalam Dekapan Wahyu

Wahidin menjalani hidup yang keras sejak kecil. Sejak lulus sekolah dasar, ketika ayahnya meninggal dunia, ia harus bekerja untuk menyembung hidup dengan menjadi penjaga sebuah toko di Bandung. Berikutnya, ia melakoni pekerjaan sebagai buruh bangunan.

Sejak tahun 1990-an, Wahidin menjadi tukang becak di kawasan Pasar Kosambi. Dibandingkan buruh bangunan, penghasilan tukang becak lebih menjanjikan. Uang Rp 20 ribu bisa didapat dalam sehari. Sebagai buruh bangunan, ia baru bisa mengumpulkannya setelah satu pekan.

Di masa jayanya, Wahidin bisa mengantar penumpang dari Kosambi ke daerah-daerah yang jauh, seperti Buah Batu, Dipatiukur, Antapani, Cihaurgeulis, Gasibu, dan Cihapit. Tentu ketika itu kendaraan belum sebanyak sekarang. Angkot (angkutan kota) masih sulit, bus Damri belum ada.

Wahidin dan tukang becak lain di kawasan Pasar Kosambi, Bandung, bisa menunggu selama berjam-jam untuk mendapatkan satu saja penumpang. (Foto: Emi La Palau)
Wahidin dan tukang becak lain di kawasan Pasar Kosambi, Bandung, bisa menunggu selama berjam-jam untuk mendapatkan satu saja penumpang. (Foto: Emi La Palau)

Tiada Pilihan Lain

Masa jaya becak di Bandung tinggal kenangan. Tersisa beberapa gelintir orang pengunjung pasar saja yang menggunakan jasa Wahidin. Sebagian besar merupakan langganan.

Sudah jadi pemandangan biasa, Wahidin dan para tukang becak lain harus menunggu berjam-jam untuk mendapatkan satu saja penumpang. Namun, tak ada pilihan lain yang ia punya selain bertahan sekuat tenaga.

“Karena sudah tua, kalau kerja bangunan lagi sudah gak kuat. Angkat barang berat, tenaganya sudah menurun,” ungkapnya.

Di kampung halamannya di Tanjungsari, Wahidin tidak memiliki lahan untuk bertani. Pulang belum jadi pilihan dalam jangka dekat meski banyak kawan seangkatan Wahidin sudah lebih dahulu pensiun menggenjot becak dan memilih beristirahat di kampung.  

Di tengah semua kesulitan itu, Wahidin tidak kehabisan syukur. Di bulan ramadan ini ia masih bisa bekerja. Tahun lalu, di bulan-bilan awal pandemi, ia terpaksa menganggur tanpa sepeser pun pendapatan. Ia dan sang istri bertahan hidup dengan mengandalkan uang kiriman dari anak-anaknya.

Wahidin mengaku semakin sering untuk berhenti menggenjot becak. Ia merasa sudah terlalu lama bekerja di jalanan dan semakin lama jumlah penumpangnya semakin sedikit. Belum lagi sakit yang semakin sering menghampirinya.

Namun, teringat tanggung jawabnya pada keluarga di rumah, Wahidin bertahan. Ia cegat mobil elf setiap subuh, ia genjot becak sekuat tenaga.

“Kalau ke Bandung (setidaknya) dapet uang. Kalau diam di rumah, gak ada,” tutur Wahidin. “Yang penting udah berusaha.” 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//