Ramadan di Tahun Pagebluk (6): Impian Sederhana Dewi Sulasti
Dewi Sulasti, perempuan tiga anak, sudah lima tahun bekerja sebagai penyapu jalan di Kota Bandung. Impiannya sederhana saja, yakni bisa menguliahkan sang anak.
Penulis Emi La Palau22 April 2021
BandungBergerak.id - Matahari Kamis (22/4/2021) siang itu demikian terik, menyengat kulit. Peluh berlelehan membasahi kening Dewi Sulasti (48). Raut wajah perempuan itu tidak bisa berkelit. Dia kelelahan.
Namun Dewi harus terus bekerja. Sambil sesekali mengelap kucuran peluh itu, dia menyapu di sepanjang jalan Citarum, kawasan SMA 20 Bandung hingga ke Pusdai. Seolah sengatan matahari belum cukup, daun-daun terus berguguran sehingga membuat pekerjaan Dewi bertambah berat.
“Kan sekarang musim kemarau dan keadaan lagi puasa. Tapi (saya) harus kerja. Alhamdulillah masih bisa bertahan sampai azan magrib,” ungkapnya ketika berbincang bersama BandungBergerak.id
Dewi merupakan satu dari lebih dari 850 penyapu jalan di Kota Bandung. Selama bulan ramadan dia bekerja enam jam, dari pukul 11 siang hingga pukul lima sore. Di hari biasa, Dewi harus bekerja selama delapan jam dari pukul 12 siang hingga pukul delapan malam.
Baru sejak dua bulan lalu Dewi bertugas di kawasan Citarum. Dia meminta dipindahkan dari tempat tugas sebelumnya, yakni kawasan Cicendo, agar lebih dekat dengan rumah kontrakannya di kawasan Pusdai.
Dewi bekerja sebagai penyapu jalan sejak lima tahun lalu. Dia bersyukur pemerintah Kota Bandung ketika itu masih menerima lamaran dari mereka yang hanya memegang ijazah sekolah dasar. Sekarang syarat minimal bagi petugas penyapu jalan adalah lulusan sekolah menengah atas (SMA) atau sederajat.
Sebagai penyapu jalan, Dewi hampir-hampir tidak pernah punya hari libur. Pun jika lebaran tiba, dia dan teman-temannya harus bertugas. Namun lebaran tahun ini Dewi berencana minta izin untuk bisa merayakan lebaran bersama dengan anak dan suaminya.
Baca Juga: Ramadan di Tahun Pagebluk (5): Sehari dalam Hidup Aan Aminah
Ramadan di Tahun Pagebluk (4): Menjahit Pakaian, Menyambung Kehidupan
Impitan Ekonomi
Dewi Sulasti lahir dan besar di tengah keluarga berkemampuan ekonomi sangat terbatas. Itulah sebabnya dia tidak bisa melanjutkan pendidikan setelah lulus sekolah dasar. Oang tuanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga yang harus membesarkan 10 orang anak.
Dewi merupakan anak pertama. Di pundaknya ada tanggung jawab untuk turut membantu orang tua dan kesembilan adiknya.
Tidak lama setelah lulus dari bangku sekolah dasar, Dewi mulai bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Setelah itu, dari tahun 1994 hingga tahun 2000, dia menggantungkan pendapatan dari pekerjaan di layanan kebersihan (cleaning service). Di sinilah Dewi dipertemukan dengan suaminya.
Di bulan-bulan awal pernikahan, Dewi dan suami sempat tinggal bersama mertua. Merasa tidak lagi nyaman, mereka berdua memberanikan diri untuk mengontrak kamar seadanya. Keduanya juga bersepaka agar Dewi berhenti bekerja untuk merawat tiga anak yang dia lahirkan.
Namun, impitan ekonomi dirasakan makin kuat oleh keluarga itu. Biaya pendidikan anak-anak terus membengkak. Belum lagi beban membayar cicilan sepeda motor yang dulu dibeli untuk menopang kerja sang suami sebagai seorang petugas layanan kebersihan.
Tidak ada pilihan lain. Dewi harus bekerja lagi. Itulah kenapa dia memberanikan diri melamar menjadi petugas penyapu jalan di Kota Bandung lima tahun lalu.
Dewi dan keluarganya saat ini tinggal di rumah kontrakan yang cukup memadai. Ada dua kamar untuk anak-anaknya. Tidak seperti kamar kontrakannya dulu yang jauh dari layak.
“Alhamdulillah, (saya) bersyukur banget sekarang,” tutur Dewi. “Kalau inget-inget yang dulu, suka nangis.”
Menguliahkan Anak
Dewi Sulasti dan sang suami memiliki dua anak yang saat ini duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Anak laki-laki yang kedua duduk di bangku kelas tiga, sementara si bungsu di kelas satu. Anak kedua sudah sering mengutarakan keinginannya bisa melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi.
Dewi merasa sangat senang mengetahui cita-cita tinggi sang anak. Sejak sekarang dia mulai menabung agar biaya pendidikannya nanti bisa tercukupi. Kali ini Dewi tidak ingin melihat kegagalan lagi.
Dewi pernah merasa sangat terpukul menyaksikan anak sulung sekaligus anak perempuan satu-satunya kehilangan kesempatan masuk perguruan tinggi. Ikut bersaing dalam beasiswa bidikmisi, sang anak gagal karena poinnya berselisih kurang dari satu dari batas minimal yang disyaratkan.
“Akhirnya (dia) gak jadi masuk UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), kerja untuk adik-adiknya,” ungkap Dewi.
Meski hanya bekerja sebagai penyapu jalanan, Dewi tidak kehabisan rasa syukur. Dia merasa telah menerima rezeki dan kebaikan hati dari mana saja. Ketika belum mampu membelikan baju lebaran untuk anak-anaknya, datang tawaran dari para pedagang mobil toko di sepanjang jalan Citarum. Beberapa pengendara yang melintas pun kadang menyempatkan waktu untuk memberi bantuan.
Dewi memilih tidak menanggapi pandangan miring orang terhadap pekerjaan penyapu jalan. Yang terpenting baginya kini, dia bisa memperoleh uang hasil keringatnya sendiri yang sebagian di antaranya ditabung untuk membiayai kuliah anak-anaknya nanti.
Sesederhana itu impian Dewi.