Ramadan di Tahun Pagebluk (10): Gundah dan Syukur Seorang Tukang Cukur
Agus (47) sudah lima tahun mencari rezeki sebagai tukang cukur di Kota Bandung. Meski pandemi membuat jumlah pelanggannya susut, ia tak kehilangan rasa syukur.
Penulis Emi La Palau27 April 2021
BandungBergerak.id - Hingga menjelang tengah hari, kios cukur Agus (47) belum juga kedatangan pelanggan. Si pemilik mengaku pasrah. Ia sudah terbiasa dengan pemandangan seperti ini sejak pandemi Covid-19 merebak satu tahun lalu.
“(Ya) Begini. (Saya) banyak diem. Jarang banget (orang) yang datang potong rambut. Ramadan tetap saja begini, gak ada peningkatan,” ungkap Agus ketika berbincang dengan BandungBergerak.id, Selasa (27/4/2021).
Kios cukur Agus terletak di Gang Becak, beberapa meter dari Jalan Ahmad Yani dekat simpang lima Asia Afrika. Sudah lima tahun ia mengadu nasib di sana. Harga sewa per bulannya Rp 400 ribu.
Agus melayani jasa cukur bagi orang dewasa dan anak-anak dengan tarif Rp 15 ribu per kepala. Di bulan ramadan, kios ia buka pukul 10 pagi dan tutup pukul 9 malam.
Pendapatan harian yang diperoleh Agus tidak menentu. Makin tidak menentu lagi selama pandemi berlangsung. Kadang dalam sehari ia bisa mencukur lima pelanggan. Namun tidak jarang, hanya satu orang saja yang mampir ke kios.
Agus hanya bisa bersabar dan bersyukur, meski tetap saja ia menyimpan gundah. Selain sewa kios cukur, ia juga punya tanggung jawab membayar sewa kos sebesar Rp 300 ribu per bulan. Bagaimana bisa ia menyisihkan uang untuk diberikan istri dan anak-anaknya di Cibatu, Garut?
Di awal ramadan tahun ini, Agus tidak mampu pulang kampung untuk merayakan munggahan bersama keluarga. Tidak ada cukup uang berhasil ia sisihkan. Ketika lebaran sudah makin dekat, Agus justru kian ragu apakah bisa pulang menjenguk keluarga atau tidak.
“Sampai sekarang belum pulang, (karena) makan ongkos,” katanya. “Namanya udah berkeluarga, kalau pulang masak gak bawa duit. Gak enak,”
Agus dan istrinya memiliki tiga orang anak. Dua di antaranya telah menikah. Tinggal si bungsu yang saat ini masih duduk di bangku kelas satu sekolah menengah atas (SMA).
Baca Juga: Ramadan di Tahun Pagebluk (9): Ira Marlina dan Empat Anaknya
Ramadan di Tahun Pagebluk (8): Tangan Eva Eryani Masih Mengepal
Ramadan di Tahun Pagebluk (7): Menunggu Godot di Pasar Buku Palasari
Kena Gusur
Agus lahir dari keluarga kurang mampu. Sejak lulus sekolah menengah pertama (SMP), ia sudah mulai mencari pekerjaan. Jakarta menjadi tumpuan harapan.
“Namanya dulu di kampung ekonomi terbatas, sekolahnya jauh. Kan orang tua butuh buat (bayar) ongkos. Akhirnya memilih udah aja setelah SMP,” ujarnya.
Pada 1994, Agus bekerja untuk orang lain sebagai tukang cukur. Ia menabung dengan cara menyisihkan bayaran yang ia terima. Setelah 13 tahun, impiannya memiliki kios sendiri tercapai. Pada 2007 Agus mulai menjalankan kios cukur secara mandiri di Jakarta Barat.
Berkat kerja keras Agus, pendapatan mencukur rambut bisa menghidupi keluarganya. Namun tujuh tahun berselang, tempat usahanya terkena gusuran proyek pelebaran jalan.
Agus memilih pulang kampung ke Garut. Di sana, selama dua tahun lamanya, ia menjadi petani penggarap lahan milik orang lain. Baru pada 2016 Agus mencoba peruntungannya kembali dengan memulai usaha jasa cukur di Bandung.
Sisa tabungan hasil berusaha di Jakarta digunakan Agus untuk modal awal. Dengan uang Rp 3 juta, ia membeli alat-alat cukur dan membayar satu bulan biaya sewa tempat.
Di sela perbincangan, pelanggan pertama masuk ke kios Agus. Si tukang cukur dengan cekatan memainkan gunting dan pisau untuk merapikan rambut sang pelanggan. Tiga puluh menit kemudian, pekerjaan tuntas.
“Ya beginilah usaha,” ucap Agus. “Kadang ada (rezekinya), kadang gak ada.”
Di tengah impitan beragam persoalan yang membuat gundah, Agus, si tukang cukur, tidak kehabisan rasa syukur.