Anggaran untuk Pendidikan Tinggi di Indonesia terlalu Kecil
Setidaknya ada dua unsur penting yang harus dibiayai negara di bidang pendidikan tinggi, yaitu akses bagi calon mahasiswa dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi.
Penulis Iman Herdiana30 Maret 2023
BandungBergerak.id - Anggaran pendidikan tinggi Indonesia jauh tertinggal dibandingkan negara lain. Kecilnya anggaran ini menyulitkan pendidikan tinggi untuk maju dan melahirkan lulusan terbaik. Di sisi lain, generiasi muda semakin susah mengakses pendidikan.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah mengatakan anggaran pendidikan nasional sekitar 20 persen dari APBN dan APBD. APBN Indonesia tahun 2023 yakni 3.000 triliun rupiah. Sehingga, anggaran pendidikan nasional yakni 612,2 triliun rupiah dan 305 triliun rupiah di antaranya ditransfer ke daerah dan dana desa.
Namun menurut Hetifah, anggaran pendidikan yang dikelola oleh Kemendikbud Ristek hanya 2,7 persen dari APBN atau sekitar 29 triliun rupiah. Riset dan pendidikan tinggi mendapat bagian sebesar 0,9 persen dari 2,7 persen dana yang dikelola kemendikburistek yang sebagian besar berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
“Secara bersih, anggaran pendidikan tinggi yang dikelola Dirjen Dikti itu hanya 0,6 persen dari APBN atau sekitar 8,2 triliun rupiah. Pengelolaan anggaran sebesar itu pun harus dibagi antara PTN dengan PTS secara adil,” ungkap Hetifah, pada webinar tentang anggaran pendidikan tinggi yang diselenggarakan Forum Guru Besar ITB, dikutip dari laman resmi ITB, Rabu (29/3/2023).
Dari anggaran pendidikan tinggi tersebut, memang terjadi kenaikan dibandingkan beberapa tahun lalu. Ketua Forum Guru Besar ITB Edy Tri Baskoro mengatakan, pada tahun 2019 pengeluaran pemerintah Indonesia untuk pendidikan tinggi sebesar 0,3 persen dari APBN.
Namun angka ini masih jauh di bawah rekomendasi UNESCO bahwa anggaran pendidikan tinggi minimalnya 2 persen dari APBN. Hal itu membuat anggaran pendidikan tinggi Indonesia tertinggal.
Dari webinar tersebut terungkap bahwa untuk mencapai pendidikan tinggi yang berkualitas dunia diperlukan perbaikan dari segi anggaran. Namun tampaknya belum ada kesepahaman antara para pemegang kepentingan (stakeholder) pendidikan tinggi, DPR, Kemenkeu, Kemendikbud, dan PTN-BH mengenai besaran anggaran ini.
Padahal, perguruan tinggi merupakan aset bangsa. Hampir seluruh negara maju di dunia memposisikan perguruan tinggi sebagai pilar terakhir bagi kepentingan bangsa. Jika diperlukan adanya perubahan peraturan perundang-undangan, kerangka institusi, dan kebijakan pemerintah.
“Kita harus sering bertemu. Jalan masih panjang,” ungkap perwakilan Guru Besar ITB Rizal Z Tamin.
Sementara berdasarkan data Kemenkeu 2023, terlihat meski anggaran pendidikan secara umum sudah mencapai 20 persen dari APBN, namun angka ini masih jauh di bawah anggaran untuk kementerian lain. Kemendikbud memang berada di daftar lima besar dengan pagu anggaran terbesar, namun posisinya di urutan kelima.
Data pagu anggaran untuk lima besar kementerian menunjukkan Kemenhan menempati di urutan pertama, 134,3 triliun rupiah, disusul Kemen PUPR 125,2 triliun rupiah, Polri 111,1 triliun rupiah, Kemenkes 85,5 triliun rupiah, dan Kemendikbud 80,2 triliun rupiah.
Baca Juga: Tidak Lulus SNBP, masih Ada Kesempatan Mengikuti UTBK SNBT 2023
Mekanisme Registrasi bagi Calon Mahasiswa Baru Unpad Jalur SNBP
SNBP 2023, Unpad Terima 1.498 Mahasiswa, ITB Terima 2.093 Mahasiswa
Antara Akses bagi Calon Mahasiswa dan Mutu Pendidikan Tinggi
Masalah anggaran pendidikan tinggi di Indonesia bukan perkara baru. Sudah lama persoalan anggaran ini dikeluhkan, tetapi belum juga ketemu solusi yang jitu. Padahal konstitusi (UUD 1945) menetapkan kewajiban negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Masalah pendidikan tinggi semakin rumit kalau menyangkut akses pendidikan tinggi bagi mahasiswa. Pada 2004, Guru Besar Kebijakan Publik Sofian Effendi pernah menulis artikel berjudul “Strategi Pembiayaan Pendidikan Tinggi”.
Menurut Sofian Effendi, pembiayaan untuk penyediaan layanan pendidikan tinggi selama ini didukung oleh APBN yang jumlahnya masih belum cukup memadai. Anggaran terbatas ini dipakai untuk menyokong pendidikan tinggi maupun subsidi untuk mahasiswa.
Di satu sisi, mahasiswa membutuhkan akses pendidikan yang murah dan berkualitas. Di sisi lain, pendidikan tinggi harus meningkatkan mutu agar mampu menghasilkan lulusan berkualitas. Dan semua ini memerlukan biaya.
Sebelum menawarkan solusi pada persoalan rumit dan dilematis tersebut, Sofian Effendi membagikan resep dari Nicholas Barr, profesor ekonomi publik dari London School of Economics (LSE) yang berisi analisa strategi pembiayaan pendidikan tinggi untuk kampanye Partai Buruh di Inggris.
Pada 2004 Inggris menjelang pemilu. Saat itu Partai Buruh yang sedang berkuasa, menjanjikan akan meningkatkan akses golongan kurang mampu melalui pembayaran yang ditangguhkan (deferred payments). Sederhananya, para mahasiswa dari keluarga mampu boleh kuliah dulu dan membayar kemudian.
Menurut penilaian Barr, subsidi penuh dan pembebasan biaya pendidikan tidak selalu menyebabkan akses yang lebih adil dan merata pada pendidikan tinggi. Menggunakan penerimaan dari pajak sebagai sumber pembiayaan pendidikan tinggi akan menyebabkan dana untuk program lainnya menjadi berkurang. Dalam real politics, subsidi untuk pendidikan tinggi selalu kalah dengan sistem kesehatan nasional dan untuk membiayai pendidikan wajib dan program pra-sekolah.
Kedua, dalam pelaksanaannya subsidi di Inggris selalu kurang menguntungkan kelompok miskin. Selama bertahun-tahun, akses keluarga kurang yang mampu ke pendidikan tinggi hanya 15 persen, dibandingkan 81 persen dari keluarga mampu.
Ketiga, subsidi pemerintah selalu lebih menguntungkan kelompok yang lebih baik kondisi ekonominya. Di Inggris cukup banyak anggota masyarakat yang mendukung rencana sistem pajak progresif. Namun, mereka mengharapkan penerimaan pemerintah dari pajak lebih digunakan untuk pendidikan pra-sekolah, menurunkan angka drop-outs pada SLTA, meningkatkan kualitas pendidikan kejuruan, serta program khusus untuk anak-anak keluarga tidak mampu.
Partai Buruh Inggris memiliki usul sebaliknya. Masyarakat yang memerlukan pendidikan tinggi bermutu tinggi harus membayar biaya investasi masa depannya. Yang lebih mampu harus membayar lebih tinggi dan akses ke pendidikan tinggi dibiayai melalui pinjaman.
Belajar dari kegagalan masa lalu dalam pelaksanaan student loans, pemerintah menjamin pembayaran kembali melalui pembayaraan pinjaman melalui potongan gaji bersamaan dengan pemungutan pajak penghasilan. Pembayaran melalui pemotongan gaji ini memungkinkan adanya pembayaran secara progresif. Yang berpendapatan rendah mengangsur lebih rendah dan yang berpendapatan tinggi mengangsur lebih besar.
“Opsi ini pada dasarnya ingin mendorong alokasi anggaran pendidikan dari kelompok mampu yang tidak lagi menerima subsidi ke kelompok tidak mampu yang menerima pinjaman untuk mendapatkan akses ke perguruan tinggi,” tulis Sofian Effendi.
Lebih lanjut, Sofian Effendi menyatakan seperti halnya di Inggris, pendidikan tinggi di Indonesia menghadapi 3 tantangan yang amat berat yakni kesenjangan mutu, tingkat partisipasi terbatas, dispartitas akses antara golongan masyarakat kurang mampu dan yang mampu, dan rendahnya efisiensi internal.
Berkaca dari Inggris, ada tiga opsi yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah untuk membiayai pembangunan pendidikan tinggi yang bertujuan mengatasi 3 masalah pokok tersebut.
Pertama, pemerintah memberi subsidi pendidikan tinggi untuk semua mahasiswa yang diterima di perguruan tinggi. Kedua, subsidi silang dengan menerapkan full-payment kepada keluarga mampu, memberi subsidi penuh kepada mahasiswa dari keluarga tidak mampu, dan subsidi 50 persen kepada mahasiswa dari keluarga berpenghasilan menengah.
Ketiga, adalah penyediaan pinjaman pendidikan tinggi dengan subsidi bunga kepada keluarga tidak mampu dan keluarga kurang mampu. Jumlah kredit tergantung dari besarnya biaya pendidikan yang dikenakan oleh masing-masing universitas. Sistem pembayaran seperti ini memungkinkan lulusan dengan pendapatan lebih tinggi membayar jumlah yang lebih besar, sehingga waktu pelunasan hutangnya lebih pendek.