• Kolom
  • SUBALTERN #2: Dari Mana Diskriminasi Muncul?

SUBALTERN #2: Dari Mana Diskriminasi Muncul?

Diskriminasi agama bisa terjadi karena pengertian atas agama yang kita miliki itu sendiri problematis, bisa jadi pemahaman kita atas agama sudah diskriminatif.

Raja Cahaya Islam

Pegiat Kelas Isolasi

Warga berkumpul untuk berdoa dan menunjukkan pembelaan bagi perdamaian dalam Aksi 1.000 Lilin di depan Gedung Sate Bandung Kota Bandung, Sabtu (13/5/2017) selepas magrib. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

1 April 2023


BandungBergerak.id – Apa yang memungkinkan diskriminasi agama itu terjadi? Pertanyaan tersebut tiba-tiba muncul di kepala saya pasca mengikuti acara dialog antar agama. Pertanyaan ini sebetulnya terasa klise, karena barangkali kita, apalagi bagi aktivis perdamaian, bisa dengan mudah menjawab bahwa diskriminasi terjadi karena kebencian atas orang yang memiliki agama yang berbeda. Kita biasa menyebutnya sebagai fanatisme beragama, di mana kebenaran dan keselamatan dipercayai hanya dimiliki oleh satu agama saja, sedangkan agama lain adalah merupakan sebuah kesalahan, sehingga tidak akan mendapatkan keselamatan sama sekali.

Selain karena faktor tersebut, sebagian orang barangkali akan menjawab, bahwa diskriminasi kepada agama lain bisa terjadi karena terjadi kesenjangan sosial-ekonomi. Kesenjangan yang ada di dalam masyarakat, menyebabkan sikap intoleran, bahkan lebih jauh bisa membawa pada konflik; baik itu konflik simbolik ataupun yang bersifat fisik.

Namun terlepas dari usaha untuk menjawab pertanyaan tersebut, pernah saya jadi penasaran mungkinkah jika diskriminasi agama bisa terjadi karena pengertian atas agama yang kita miliki itu sendiri problematis. Menurut saya, problem ini justru lebih mendasar, dan karenanya perlu diselidiki terlebih dahulu sebelum mempersoalkan pola penafsiran keagamaan yang fanatik atau menyebutkan bahwa diskriminasi terjadi karena faktor kesenjangan sosial. Mengapa? Karena sebelum menjawab persoalan tentang mengapa diskriminasi agama itu terjadi (terkhusus yang biasanya dialami kaum minoritas), kita perlu mempersoalkan tentang apa yang disebut dengan agama itu sendiri.

Dalam pengertian ini kita perlu bertanya, apakah pemahaman kita sendiri tentang apa yang disebut agama itu sendiri sudah aman alias tidak diskriminatif? Pertanyaan inilah yang hendak dijawab oleh tulisan ini. Tulisan ini hendak menjawab bahwa sebetulnya, persoalan diskriminasi dalam konteks agama, tidak hanya ada pada sikap seseorang dalam berhubungan dengan orang lain atau masalah sosio-ekonomi saja. Karena, diskriminasi itu sendiri bisa jadi berasal dari pengertian kita atas apa yang disebut dengan agama. Apa maksudnya?

Baca Juga: SUBALTERN #1: Mengapa Tidak Ada Seniman Perempuan yang Hebat?

Problem Pengertian Agama

Kita bisa memulai pembahasan ini dengan sebuah pertanyaan, apa itu agama? Umumnya—terkhusus bagi orang yang memeluk agama Abrahamik—ketika seseorang ditanya tentang apa pengertian dari agama atau apa itu agama, mereka mengacu pada definisi yang kurang lebih sama dengan yang pernah disebutkan oleh Kementerian Agama di Indonesia, yakni bahwa agama harus bersifat monoteistik, harus memiliki hukum terkodifikasi yang diperuntukkan bagi pengikutnya, memiliki kitab suci dan Nabi, diakui secara internasional, dan kongregasinya tidak hanya dibatasi pada etnis tertentu saja.

Definisi ini cukup umum, bahkan setidaknya itu yang saya temui dari beberapa komunitas keagamaan yang pernah saya tanyai tentang apa yang disebut dengan agama. Akan tetapi apakah pengertian tersebut dapat dijustifikasi dan valid?

John Hick dalam Philosophy of Religion, menjawab bahwa agama sebetulnya tidak bisa didefinisikan sama sekali, bahkan kita tidak bisa mematok pagar-pagar tentang apa yang disebut dengan agama. Hick memberi contoh: bagi sebagian orang, agama itu harus menyembah sesosok Wujud supranatural, transenden, atau yang biasa kita sebut sebagai Tuhan. Akan tetapi, menurut Hick, jika kita melihat Budisme Theravada, konsep seperti itu tidak akan ditemui sama sekali. Contoh lainnya adalah bahwa biasanya agama diasumsikan sebagai sebuah jalan untuk memperoleh pembebasan atau penyelamatan. Tapi, menurut Hick, konsep pembebasan dan penyelamatan itu tidak bisa ditemukan di dalam agama-agama arkais dan “primitif”.

Penjelasan dari Hick itu menunjukkan bahwa konsep kita tentang agama (bahwa agama harus menyembah Tuhan tertentu yang personal, atau memiliki misi penyelamatan terhadap umatnya) ternyata sudah terkontaminasi oleh ajaran atau tradisi agama tertentu. Sehingga pengertian agama tersebut tidak universal, alias tidak bisa mencakup berbagai wujud agama lainnya.

Kemudian, kembali mengutip Hukmi, masalah lainnya ada pada konsep mengenai syarat-syarat yang memungkinkan sesuatu disebut sebagai agama. Mengacu pada Hukmi, penegasan atas syarat-syarat yang memungkinkan sesuatu disebut sebagai agama merupakan mengandung dua masalah. Pertama, pencarian atas esensi dari agama itu problematis, karena kategori-kategori tersebut sering kali bertabrakan dengan kenyataan empiris dari fenomena agama itu sendiri. Hukmi, dengan mengutip Melford Spiro, memberi contoh tentang suatu fenomena yang “biasa” disebut sebagai pernikahan di Afrika. Hal unik dari ritual tersebut adalah bahwa dua mempelai yang melangsungkan ritual tersebut keduanya adalah perempuan. Fenomena tersebut berarti bahwa konsep tentang pernikahan yang selama ini dipahami mesti dibuang, karena di agama Abrahamik misalnya pernikahan sebagai salah satu ritual dipahami sebagai jalinan kasih yang dilakukan oleh dua jenis kelamin yang berbeda, yakni laki-laki dan perempuan.

Hukmi kemudian juga mengutip William C. Smith, di mana ia menegaskan bahwa realitas yang hendak dirujuk oleh konsep tentang agama itu justru mengalami perubahan terus-menerus, sehingga konsep apapun yang hendak menangkap esensi dari agama tidak dimungkinkan. Pendapat dari Smith ini hendak mengungkapkan bahwa konsepsi keagamaan yang bersifat menyeluruh dan universal, sering kali gagal menangkap kespesifikan ekspresi keagamaan yang ada di dalam realitas; yang bahkan ekspresi-ekspresi tersebut bisa berubah-ubah tergantung latar historis dari agama tertentu.

Kedua, penegasan kategoris tentang apa yang disebut dengan agama atau non-agama, mengandung sudah selalu mengandaikan mekanisme inklusi dan eksklusi. Fenomena keberagamaan tertentu yang memenuhi syarat tentang apa yang disebut dengan agama akan diakui, sedangkan fenomena agama lain yang kurang atau tidak memiliki atau memenuhi syarat-syarat tertentu tidak akan diakui sebagai agama; bahkan meskipun terdapat pengikut yang percaya bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah agama. Hal ini misalnya bisa dilihat pada agama-agama etnik. Jika mengacu pada kategori yang disebut sebelumnya, maka agama etnik akan sulit untuk dimasukkan ke dalam kategori agama, karena agama etnik tidak memenuhi seluruh syarat tersebut, sehingga implikasinya adalah mereka akan dianggap sebagai orang yang belum beragama, bahkan meskipun mereka memiliki ritual yang biasa dilakukan.

Kritik atas pengertian agama pun juga dikemukakan oleh Maroly Nye dalam Religion The Basics (2004). Nye, dengan mengutip Jonathan Z. Smith, berpendapat bahwa agama hanyalah ciptaan dari studi para akademisi. Agama diciptakan oleh para akademisi dengan tujuan analitis, yakni membuat perbandingan dan juga generalisasi atas fenomena-fenomena keberagamaan. Pada satu sisi pengertian atas agama itu sendiri memang berguna sebagai titik pijak awal untuk memahami fenomena keberagamaan, meskipun kemudian konsep tersebut akhirnya justru malah mempersempit pandangan kita, bahkan konsep tersebut akan cenderung mengarahkan pikiran kita bahwa seolah-olah kita tahu tentang apa yang hendak kita lihat saat melihat fenomena keagamaan, bahkan sebelum kita benar-benar memandang fenomena itu sendiri.

Timothy Fitzgerald dalam The Ideology of Religious Studies (1999) pernah mengemukakan, bahwa konsep yang kita miliki tentang agama telah terkontaminasi oleh pandangan Barat. Hal ini ditunjukkan olehnya ketika para ilmuwan Barat mengatakan bahwa agama harus memiliki distingsi antara yang sakral dan profan, atau yang transenden dan yang sekuler. Distingsi tersebut adalah karakter khas Barat, yang selama ini oleh para peneliti agama dipaksakan untuk meneliti agama-agama non-Barat.

Implikasi dari Konsep yang Bermasalah

Apa konsekuensinya jika kita masih memegang konsep agama yang selama ini kita tahu, bahkan dengan terus menerus mencari pengertian yang esensialistik dari agama? Sikap diskriminatif. Mengapa? Karena, setiap penegasan atas pengertian akan agama, maka mekanisme eksklusi dan inklusi akan selalu bekerja, atau dalam bahasa lain akan selalu ada agama yang diakui dan tidak diakui, dan karenanya diskriminatif.

Selama ini pun diskriminasi memang terjadi karena mekanisme tersebut, hal ini bisa dilihat dari bagaimana agama-agama etnik tidak diakui secara legal oleh negara, karena agama-agama tersebut tidak sesuai dengan kategori yang telah diputuskan oleh negara. Belum lagi ketika negara dikuasai oleh salah satu pemeluk agama tertentu, yang mana hal tersebut akan memengaruhi kategori dan batas tentang apa yang disebut dengan agama dan bukan agama.

Selain mekanisme tersebut, perlu diakui juga bahwa pengalaman dan ekspresi keagamaan itu akan mengalami perubahan. Realitas keberagamaan itu dinamis, alias tidak bisa dikategorisasi ke dalam sebuah pengertian yang fiks. Sehingga, fiksasi merupakan sebentuk kekerasan atas fenomena keberagamaan yang dinamis.

*Tulisan kolom SUBALTERN merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan kawan-kawan Kelas Isolasi

 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//