• Kampus
  • Unpad Telaah Fenomena Kata ‘Aing’ dalam Percakapan Bahasa Indonesia

Unpad Telaah Fenomena Kata ‘Aing’ dalam Percakapan Bahasa Indonesia

Kata 'aing' diduga pertama kali dipopulerkan oleh Bobotoh Persib Bandung, kemudian menyebar ke luar komunitas penutur bahasa Sunda untuk mengganti gue atau aku.

Situasi sekitar Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung , Kamis (1/4/2021). Sebagian warga Bandung memakai bahasa Sunda sebagai bahasa percakapan sehari-hari. (Foto: Prima Mulia)

Penulis Iman Herdiana15 April 2021


BandungBergerak.id - Ahli linguistik Universitas Padjadjaran (Unpad) menyoroti fenomena penggunaan kata ‘aing’ dalam bahasa Sunda sebagai kata ganti orang pertama untuk ‘gua’, ‘saya’, atau ‘aku’ dari penutur bahasa Indonesia. Fenomena ini dinilai baik bagi perkembangan bahasa Sunda sebagai bahasa daerah.

Dosen Program Studi Sastra Sunda Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unpad, Gugun Gunardi, menduga kata 'aing' pertama kali dipopulerkan oleh Bobotoh atau komunitas pendukung klub sepak bola Persib Bandung.

Banyaknya jargon yang menggunakan kata aing oleh Bobotoh menyebabkan orang di luar penutur bahasa Sunda ikut menggunakannya sebagai kata sapaan yang menggantikan kata “gua” atau “aku”. Karena dipakai oleh sosiolek atau penutur dari kelompok sosial tertentu, maka orang di luar komunitas menjadi terpengaruh untuk menggunakan kata serupa dalam percakapan sehari-hari. Mereka menilai aing mengandung makna kegagahan atau keakuan.

“Orang lain yang tidak paham dengan kata aing dianggap sebagai kata gagah yang menjadi penanda komunikasi. Saya melihat fenomena aing itu menjadi sering digunakan dan banyak digunakan di luar penutur bahasa Sunda,” terang Gugun, dikutip dari lama resmi Unpad, Kamis (15/4/2021).

Meski demikian, Gugun tidak memungkiri penggunaan kata ‘aing’ dalam ragam percakapan bahasa Indonesia menimbulkan perdebatan. Sebab, kata ‘aing’ dalam tatakrama bahasa Sunda termasuk ke dalam jenis bahasa kasar.

Menurut Gugun, sebenarnya kata ‘aing’ boleh digunakan penutur bahasa Sunda maupun di luar Sunda selama konteks komunikasi dilakukan dengan penutur lain yang berusia sama. Artinya, kata aing bisa dipakai dalam pergaulan antar penutur yang setara. Selain itu, intonasi pemakaian kata juga memengaruhi tingkat kehalusan kata. “Bahasa kasar bisa menjadi halus bergantung pada intonasi yang digunakan,” terang Gugun.

Secara tingkatan bahasa, kata aing masuk kategori kasar tergantung motif atau situasi si pengguna. Misalnya jika intonasi pengguna terdengar naik atau emosional, kata aing menjadi kasar karena menunjukkan kekuasaan atau kekuatan.

Tetapi kata sapaan aing kerap digunakan penutur bahasa Sunda untuk menjalin percakapan standar dalam kesehatian. Bahkan, aing bisa digunakan untuk percakapan dengan teman sebaya sebagai ungkapan candaan atau hiburan.

“Dalam bahasa Sunda, selama penggunaannya tidak mementingkan tingkat tutur bahasa menjadi tidak masalah,” tambahnya.

Gugun pun memandang positif penggunaan kata aing dalam percakapan bahasa Indonesia. Ia menjelaskan, setiap bahasa dipengaruhi oleh bahasa lainnya. Penggunaan aing sebagai kata ganti orang pertama di luar penutur bahasa Sunda justru dipandang akan bisa memopulerkan eksistensi bahasa Sunda di tingkat nasional.

Hanya saja Gugun mengingatkan, penutur juga wajib mengetahui tingkat tutur bahasa Sunda. Minimal, penutur mengetahui mana kata yang masuk ke dalam ragam bahasa Sunda kasar, sedang, hingga halus.

“Silakan gunakan bahasa Sunda itu. Dengan intonasi tertentu, kata kasar itu bisa menjadi bagus, dan tidak digunakan untuk mem-bully atau memojokkan orang lain,” ujar Gugun.

Matematika Cegah Kepunahan Bahasa

Indonesia dikenal sebagai negeri 1.000 bahasa mengingat keanekaragaman suku bangsa yang masing-masing memiliki bahasa daerah sendiri. Namun seiring perkembangan zaman, bahasa-bahasa daerah tersebu satu-satu di ambang kepunahan. Faktor penyebab utamanya karena terus berkurangnya jumlah penutur bahasa daerah tersebut.

Dalam diskusi virtual “Kuliah Umum Bahasa dan Matematika: Model Matematika untuk Kepunahan Bahasa” yang digelar Program Studi Sastra Indonesia dan Sastra Jerman FIB Unpad serta Program Studi S2 dan S3 Matematika FMIPA Unpad, Jumat (9/4/2021), terungkap bahwa model matematika bisa dipakai untuk memprediksi waktu terjadinya kepunahan suatu bahasa.

Pemodelan matematika dapat membantu pihak terkait untuk mengambil keputusan optimal dalam menyikapi kepunahan suatu bahasa.

Dosen Matematika FMIPA Unpad, Diah Chaerani, sebagai pemateri kuliah virtual itu, menjelaskan dalam matematika, menawarkan konsep model optimisasi kepunahan bahasa yang bisa digunakan untuk meminimumkan laju kepunahan dari setiap bahasa yang akan diamati.

Dalam model tersebut, ditentukan berapa jumlah orang yang berbicara suatu bahasa sehingga bisa mempertahankan bahasanya. Menurut Kaprodi S2 dan S3 Matematika FMIPA Unpad ini, laju kepunahan bahasa bergantung pada jumlah orang atau jumlah penuturnya.

“Maka kita harus tahu secara presisi sebetulnya jumlahnya harus berapa supaya tidak terjadi kepunahan. Nah, itu kajian optimisasinya,” ujar dosen yang menggeluti bidang riset operasi dan optimisasi ini.

Diah menjelaskan, model tersebut meminimumkan laju dinamika kepunahan bahasa dengan melihat jumlah penutur dari suatu level minimal yang diberikan, semua fraksi penutur berjumlah 1, serta melibatkan peluang pergeseran bahasa dan tingkat volatility.

Pengembangan model itu memungkinkan adanya kajian lebih lanjut dari bidang bahasa maupun matematika.Pengembangan riset dalam bidang bahasa dan matematika dapat terus dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek prospektif dalam pemodelan matematika. Jalinan kerja sama dengan berbagai pihak juga perlu dilakukan.

“Tentunya model matematika tidak akan bermakna tanpa data, sehingga tentu saja untuk menguji validasi model-model yang kita tawarkan diperlukan jalinan kerja sama antar institusi, baik universitas, badan riset, maupun instasi yang memiliki data terkait bahasa,” ujarnya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//