Keluarga Korban Salah Tangkap Saat Aksi Demonstrasi Melapor ke Ombudsman Jawa Barat, Berharap Anak Mereka Dibebaskan Polisi
Ombudsman Jawa Barat akan mengkaji ada dugaan maladministrasi, seperti penyimpangan prosedur atau penyalahgunaan wewenang, atau tindakan tidak patut.
Penulis Awla Rajul25 September 2025
BandungBergerak - Tim Advokasi Bandung Melawan yang mewakili keluarga korban salah tangkap Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat menyampaikan pelaporan resmi kepada Ombudsman Perwakilan Jawa Barat, Rabu, 24 September 2025. Keluarga korban berharap laporan ini bisa membebaskan Very Kurnia Kusumah. Keluarga Very meyakini anaknya merupakan korban salah tangkap ketika demonstrasi 29-30 September lalu yang merespons isu kenaikan pendapatan DPR dan aksi solidaritas untuk ojol yang dilindas rantis Brimob.
“Ini keluarga dari saudara Very yang memang dia salah tangkap, dia diperlakukan sewenang-wenang, tidak manusiawi, martabatnya direndahkan. Padahal dia hanya ingin nongkrong. Nongkrong itu kan hak semua orang, orang boleh nongkrong di mana saja, enggak boleh ditangkap. Kita mendapatkan cerita dari keluarga sudah 20 hari lebih ditahan, diperlakukan tidak manusiawi,” ungkap Deti dalam konferensi pers di depan Ombudsman sebelum memasukkan laporan.
Deti menegaskan, tuntutan dari pelaporan ke Ombudsman untuk mendesak pembebasan Very. Selain melapor ke Ombudsman, Tim Advokasi Bandung Melawan juga akan melaporkan kasus ini ke Komnas HAM dan Komnas Perempuan.
Deti menyampaikan kekecewaan kepada Polda Jabar. Sebab, sejak awal Tim Advokasi tidak mendapatkan akses untuk memberikan bantuan hukum kepada massa aksi yang ditangkap. Selain itu, hingga kini Tim Advokasi juga belum mendapatkan kabar terkini mengenai keadaan para korban, maupun konfirmasi jumlah korban yang salah tangkap, hilang, dan lainnya. Sementara Polda Jabar telah menetapkan 42 orang tersangka.
Tim Advokasi Bandung Melawan, Deti Sopandi dari PBHI Jabar menyebutkan, selama berlangsung demonstrasi, PBHI membuka posko pengaduan sejak 29 Agustus hingga 1 September. Posko pengaduan menerima sekitar 60-an aduan terkait orang hilang dan massa aksi yang ditahan.
Terkait laporan-laporan ini, Tim Advokasi sudah mengkonfirmasi ke pihak Polda Jabar. Namun belum mendapatkan jawaban.
Keluarga korban yang mengadu, kebanyakan datang dengan kondisi takut dan khawatir. Namun begitu, banyak keluarga korban yang enggan menindaklanjuti memasukkan pelaporan ke Ombudsman karena merasa akan sia-sia.
Tim Advokasi Bandung Melawan lainnya, Ressy dari LBH Bandung mengamini apa yang disampaikan Deti. Sejak hari pertama aksi dan polda melakukan penangkapan, tim advokasi kesulitan memberikan bantuan hukum kepada massa aksi. Kepolisian sering kali enggan memberi akses untuk bantuan hukum.
Ressy menyebutkan, tim advokasi sudah mengantongi data dan nama-nama korban penangkapan. Selama membuka posko di Polda Jabar, pihaknya kerap melihat massa aksi yang ditangkap dalam keadaan memar dan lebam. Ia menduga massa aksi mendapatkan kekerasan. Namun setiap kali dikonfirmasikan, Polda Jabar enggan membeberkan informasi.
Sementara itu, dalam keterangan resmi yang diakses Kamis, 25 September 2025, Polda Jabar telah menetapkan 42 orang sebagai tersangka, dengan 26 orang terlibat langsung dalam perusakan dan pembakaran, serta 16 tersangka sebagai penghasut atau terhasut. Mereka dijerat Pasal 170 dan/atau Pasal 406 dan/atau Pasal 1 Ayat (1) UU Darurat RI No. 12 Tahun 1951, dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun.
Polda juga menyebut seluruh tersangka didampingi penasihat hukum sesuai KUHAP. Polda Jabar juga menyatakan keseriusannya mencegah penyebaran paham ‘anarkisme’ dan menjaga keamanan serta ketertiban masyarakat.
Salah Tangkap dan Mendapatkan Penyiksaan
Paman korban, Febrian Oscara menceritakan, Very ditangkap Sabtu malam, 30 September 2025, di kawasan Gedung Graha Merah Putih Telkom, Kota Bandung. Waktu itu Very bersama temannya hendak nongkrong malam mingguan. Very sempat singgah ke kawasan Gedung Graha Merah Putih Telkom, seberang Gasibu, untuk membeli rokok dan menukarkan recehan untuk membayar parkir di tempat nongkrong. Ketika membeli rokok itulah diduga Very ditangkap oleh aparat kepolisian.
Teman Very, menurut Febrian, lantas mencari keberadaan Very yang sudah satu jam lebih tak ada kabar. Febrian juga khawatir dengan pemberitaan banyak massa aksi yang ditangkap pada musim demonstrasi tersebut. Ia lalu menelepon Very untuk memastikan keadaan. Mulanya ponsel Very nonaktif. Telepon baru diangkat pukul satu malam. Itu pun yang pertama kali angkat telepon diduga adalah aparat.
Febrian sudah menemui Very di Polda Jabar. Keponakannya dalam keadaan trauma, memar, dan menjadi korban diskriminasi.
“Tuntutan kami sekarang adalah yang paling utama itu untuk membebaskan anak kami,” tegasnya. “Kedua, menolak keras segala bentuk diskriminasi yang dilakukan oleh kepolisian. Sebab, saudara saya terbukti bahwa dia hanya sekedar membeli rokok tiga batang. Dari keterangan anaknya langsung, dia kaget, shock, langsung ditodongkan beceng, disuruh tiarap. Itu kronologis awalnya.”
Febrian menyayangkan tak adanya transparansi dari Polda Jabar. Keluarga korban belum mendengarkan kabar Very, hingga setelah lebih 20 hari ditahan dan mengalami penyiksaan. Ia pun berpesan kepada massa aksi untuk tetap menyuarakan kebenaran.
Ibu korban, Iyen Rumaningsih, bercerita sambil menangis. Iyen pertama kali mendapatkan kabar Very ditangkap polisi dari adik Very, Ivan Ferdiansyah. Ivan memberi kabar bahwa Very diduga menjadi korban salah tangkap. Namun belum ada keterangan atau jawaban pasti dari polisi. Iyen lantas ke Polda Jabar pada Selasa, 2 September 2025 untuk mendapatkan kabar mengenai anaknya. Dari sana Iyen mendapatkan bahwa Very belum bisa dibebaskan.
“Perihal pembebasan anak ibu, saya belum bisa memutuskan karena belum ada perintah dari atasan,” cerita Iyen, menirukan kalimat dari petugas, sambil terisak.
Di hari yang sama, Iyen diizinkan menemui Very. Iyen melihat Very dalam kondisi pelipis mata kanannya sobek, mata kanan dan kiri lebam membiru, kedua kelopak mata memerah. Kondisi demikian menandakan adanya pendarahan di kedua matanya. Kedua tangan Very gemetar. Kondisi tubuhnya lesu.
“Saya bersama bibinya bertemu di ruangan keluarga terduga. Anak saya sudah memakai baju tahanan warna biru, terbatas oleh dinding kaca. Acap kali anak saya gemetar menandakan dia masih di bawah tekanan, setiap kali berbicara kita saling berbisik. Sampai di kala saya bertanya kepada Ei (Very), apakah penyiksaan di malam itu saja? Very menjawab dengan nada halus, sangat pelan. ‘Ma, jangan ribut. Setiap hari juga Ei masih disiksa, dikepretan, ditampar, sama ditendang’. Dengan banyaknya tekanan, kekerasan, serta intimidasi verbal dan nonverbal, saya selaku ibu kandung jelas tidak akan pernah menerima kondisi anak saya yang diperlakukan seperti itu,” ceritanya, sambil menangis.
Ayah korban, Tatang Saripudin berharap anaknya segera dibebaskan. Ia meyakini anaknya korban salah tangkap. Sementara Adik korban, Ivan yang lebih dulu mengetahui kondisi Very, menceritakan sulitnya mendapatkan informasi tentang kakaknya yang ditangkap. Sampai saat ini pihaknya belum mendapatkan status mengenai kakaknya.
Baca Juga: Demonstran Remaja dan Demokrasi Indonesia
Tersisa dari Demonstrasi di Bandung, Pesan Agar Suara Rakyat Didengar

Tanggapan Ombudsman
Tim Advokasi Bandung Melawan menuntut Polda Jabar menghentikan penyiksaan terhadap tahanan, mendesak Ombudsman Jabar, Komnas HAM RI, dan Komnas Perempuan untuk membentuk tim pencari fakta dan melakukan investigasi di tempat tahanan Polda Jabar untuk mencegah dan menghentikan segala jenis tindak penyiksaan; dan mendesak Polda Jabar membebaskan atau menangguhkan penahanan kepada korban dugaan tindak penyiksaan agar dapat mengakses bantuan medis.
Ombudsman Jabar, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan harus memberikan perlindungan dan jaminan secara holistik atas keselamatan, kesehatan fisik, dan batin para tahanan. Ombudsman Jabar bersama LPSK dan Komnas HAM pun harus memberikan perlindungan terhadap saksi, korban, dan keluarga korban dari seluruh bentuk realisasi setelah mengadukan laporan.
Laporan Tim Advokasi Bandung Melawan diterima Kepala Keasistenan Penerimaan dan Verifikasi Laporan Masyarakat Ombudsman Jawa Barat, Fitry Agustine yang menyatakan, pihaknya akan melakukan verifikasi dan menganalisa syarat materil. Tim advokasi dan keluarga korban pun harus melengkapi syarat formil.
Syarat materiil tersebut mengenai administrasi. Ombudsman akan menganalisa apakah ada dugaan maladministrasi, seperti penyimpangan prosedur atau penyalahgunaan wewenang, atau tindakan tidak patut. Setelah syarat formil dan materiil terpenuhi, Ombudsman akan langsung menindaklanjuti laporan.
“Nah, nanti dari tahapan pemeriksaan akan melakukan klarifikasi ataupun investigasi lapangan. Ya, tentunya kami harus analisis dulu kan. Tapi kalau misalnya dilihat yang tadi sih memang dugaan maladministrasi itu mungkin ada ya. (Cepat-lambatnya proses) Kita lihat dari komitmennya instansi terlapor. Itu tidak bisa ditentukan yang pasti. Itu kan paling lama Ombudsman menindak lanjuti itu 14 hari,” kata Fitry setelah menerima laporan.
Fitry menyebut, lama proses pemeriksaan dan investigasi memang sangat bergantung dengan komitmen dari instansi terlapor, yaitu Polda Jabar. Namun begitu, jika menyangkut nyawa, seperti keterangan keluarga bahwa korban masih mengalami kekerasan, maka prosesnya mestinya bisa dipercepat. Tidak harus menunggu 14 hari.
Fitry juga mendorong kepada keluarga korban lain untuk melapor ke Ombudsman atas kasus yang dialami anaknya mengalami salah tangkap.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB