• Opini
  • Demonstran Remaja dan Demokrasi Indonesia

Demonstran Remaja dan Demokrasi Indonesia

Partisipasi remaja dalam unjuk rasa perlu dibaca sebagai cerminan dari kepedulian mereka terhadap kondisi rakyat.

Ari Ganjar Herdiansah

Kepala Pusat Studi Politik dan Demokrasi Universitas Padjadjaran (Unpad)

Puluhan pelajar SMA di Kota Bandung melakukan aksi unjuk rasa damai di Taman Cikapayang, Bandung, 26 Juli 2025. (Foto: Insan Radhiyan Nurrahim/BandungBergerak)

11 September 2025


BandungBergerak.id – Keterlibatan remaja dalam demonstrasi kian meningkat di republik ini. Selama protes masif menentang revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019 lalu, para remaja –beberapa di antaranya bahkan masih SMP– berkontribusi meningkatkan visibilitas gerakan berkat kegigihan mereka bersuara di garda terdepan. Setahun kemudian, para remaja kembali menjadi bagian dari barisan buruh dan aktivis yang menolak Omnibus Law Cipta Kerja.

Yang terbaru, pada 25 Agustus 2025 kemarin, para remaja –sebagian masih di bawah 17 tahun dan karenanya belum memiliki hak pilih– kembali menjadi bagian signifikan dari ribuan demonstran yang menyuarakan kegusaran publik di depan Gedung DPR, Jakarta. Kali ini mereka memprotes kenaikan gaji (atau bahasa formalnya, “tunjangan”) anggota dewan yang dianggap tidak peka terhadap kondisi ekonomi rakyat.

Alih-alih merosot, partisipasi mereka tampaknya semakin masif. Dari 351 orang yang ditangkap polisi selama bentrokan di Jakarta, lebih dari setengahnya (196 orang) adalah siswa SMP dan SMA. Mereka akhirnya dipulangkan ke orang tua mereka, tetapi diskusi publik tentangnya tidak surut. Catatan kurang sedap ini terlanjur memancing cercaan dari beberapa pihak, salah satunya Ahmad Sahroni, Wakil Ketua Komisi III DPR. Ia secara terbuka mendukung penangkapan mereka sampai-sampai menyebut para pelajar yang terlibat dalam aksi anarkis tersebut sebagai “brengsek”.

Partisipasi pelajar dalam demonstrasi memantik sejumlah pertanyaan krusial. Apakah keikutsertaan mereka, yang terkadang berujung anarkis, berdampak negatif terhadap demokrasi kita? Adakah nilai potensial tertentu yang mereka tawarkan untuk kemajuan demokrasi kita? Haruskah kita membatasi keterlibatan mereka, atau justru sebaliknya? Tidak kalah pentingnya, pantaskah mereka disebut “brengsek”?

Memang, di satu sisi, anggapan bahwa keterlibatan pelajar dalam aksi protes cenderung mengganggu ketertiban sosial tidak sepenuhnya salah. Pada faktanya, aksi mereka di beberapa lokasi memang berujung anarkis. Namun, di sisi lain, mereduksi partisipasi mereka sebagai sekadar “pembuat onar”, apalagi “orang-orang brengsek”, jelas tidak adil. Jika diberi ruang dan bimbingan yang memadai, energi politik mereka justru bisa menjadi berkah alih-alih musibah demokrasi.

Baca Juga: Pilkada Tidak Langsung via DPRD, Maslahat atau Mudarat?
Demokrasi Santun: Militerisme dan Minimnya Ruang Oposisi
Mengelola Politik Identitas

Fenomena yang Familier

Secara global, partisipasi remaja dalam demonstrasi bukanlah hal yang absurd. UNICEF mencatat bahwa sepanjang 1990–2019, pelajar berkontribusi sekitar seperempat dari seluruh peserta aksi protes di berbagai belahan dunia. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan bukan sekadar pengiring yang meramaikan aksi unjuk rasa, melainkan menjadi bagian inti dari gerakan itu sendiri.

Di Turki, misalnya, para remaja memainkan peran penting dalam protes di Lapangan Gezi tahun 2013, salah satu demonstrasi terbesar sepanjang sejarah Republik Turki modern. Seorang remaja yang tewas dalam aksi protes ini bahkan diabadikan sebagai simbol perlawanan terhadap penindasan rezim Erdoğan. Satu dekade kemudian, para remaja Iran menunjukkan kegigihan serupa, dengan dua gadis remaja tewas akibat kekerasan aparat. Alih-alih menyurutkan massa, peristiwa itu justru kian menambah bahan bakar para demonstran yang menuntut diakhirinya Republik Islam.

Pada awal 2010-an, gelombang Arab Spring memperlihatkan bagaimana kaum muda, termasuk para pelajar, dapat menjadi motor pemberontakan terhadap rezim otoriter yang korup. Dari Tunisia, Mesir, hingga Yaman, mereka terbukti piawai memadukan aktivisme digital dan aktivisme jalanan.

Di ranah isu global, kita mengenal Greta Thunberg, gadis Swedia yang menginspirasi jutaan pelajar lintas negara untuk menyerukan kesigapan para pemimpin dunia dalam mengatasi krisis iklim. Saat usianya masih 15 tahun, ia menginisiasi aksi mogok sekolah setiap Jumat untuk menuntut pemerintahnya patuh pada Perjanjian Iklim Paris, yang di kemudian hari membuatnya masuk nominasi Hadiah Nobel Perdamaian dua kali.

Kumpulan data dan contoh ini menegaskan dua hal. Pertama, partisipasi remaja dalam aksi protes politik adalah hal yang lumrah. Kedua, mereka sering kali menjadi bagian tak terpisahkan dari gerakan sosial dan politik itu sendiri, bahkan dalam beberapa kasus menjadi penentu keberhasilannya.

Bagi kita, kedua poin itu mestinya sudah familier. Sejarah menunjukkan bahwa pelajar dan mahasiswa acapkali menjadi tulang punggung perubahan politik. Gerakan protes yang diwarnai para remaja pada 1965-1966 berkontribusi pada runtuhnya Demokrasi Terpimpin Soekarno, sebuah pola yang kemudian terulang pada 1998 saat parade protes mahasiswa menjadi kekuatan utama yang menumbangkan rezim Orde Baru Soeharto.

Dalam peralihan menuju Reformasi itu, para remaja tidak hanya memobilisasi aksi unjuk rasa, tetapi juga memainkan peran kunci dalam mengonversi kemarahan publik menjadi program politik yang lebih terorganisir. Sejumlah aktivis muda kala itu –seperti Fadli Zon, Budiman Sudjatmiko, Fahri Hamzah, dan Adrian Napitupulu– kini menempati kursi kekuasaan. Meskipun gerakan mereka masih berbasis isu, dan karenanya terfragmentasi dan tidak berkelanjutan, aksi-aksi mereka sesekali berpengaruh dalam menentukan agenda politik nasional.

Tradisi itu terus berlanjut. Pada tahun ini saja, yang mendekati kuartal terakhir, para remaja terlibat aktif dalam beberapa gerakan hibrida –menggabungkan media sosial dan aksi jalanan– seperti gerakan #KaburAjaDulu, #IndonesiaGelap, #PeringatanDarurat, dan #TolakRUUTNI.

Oleh karena itu, keterlibatan masif remaja –termasuk pelajar yang masih SMP– dalam protes di depan Gedung DPR pada 25 Agustus kemarin seharusnya tidak terlalu menuai polemik. Secara historis peran mereka memang kuat, dan di era media sosial ini, akses informasi membuat mereka lebih melek akan isu politik. Wajar bila sebagian terdorong ikut turun ke jalan karena merasa membela kepentingan rakyat.

Bahkan jika ada pelajar yang ikut serta hanya karena solidaritas atau ikut-ikutan, hal itu seharusnya tidak menjadi masalah. Sebab, motivasi partisipasi dalam gerakan sosial atau politik memang beragam, mulai dari faktor ketidakpuasan atas kebijakan, melampiaskan kekecewaan, mencari eksistensi diri, hingga memperjuangkan gagasan. Semua ini adalah sesuatu yang wajar dalam dinamika gerakan protes.

Keikutsertaan pelajar dalam aksi unjuk rasa juga menandakan bahwa mereka memiliki kepedulian terhadap urusan politik. Ini adalah sikap yang patut diapresiasi, terutama di tengah ancaman apatisme politik yang semakin melanda generasi muda. Remaja dan pemuda sering kali dipandang sebagai kelompok yang masih memiliki idealisme tinggi dan orientasi untuk mengupayakan yang terbaik bagi negara. Nilai-nilai idealisme ini justru cenderung lebih kuat dibandingkan generasi yang lebih tua, yang telah tercemar pragmatisme dan kepentingan pribadi.

Bagi gerakan sosial itu sendiri, para demonstran remaja punya fungsi strategis. Mereka kerap membawa metode-metode inovatif untuk menyerukan perubahan (misalnya, menciptakan tagar dan poster di dunia maya yang pada gilirannya menginformasikan khalayak luas tentang apa yang terjadi), memperkuat dan menopang gerakan, serta berkontribusi pada inklusivitas dan keberhasilannya. Mereka secara tidak sadar telah memperkaya cara politik dijalankan dan pemahaman kita tentang apa artinya menjadi aktif secara politik.

Memberdayakan, Bukan Mengekang

Potensi-potensi itu memang harus diimbangi dengan kehati-hatian.

Pertanyaannya, sudahkah remaja kita memiliki kematangan berpikir yang cukup untuk memahami konstelasi politik yang rumit? Politik dalam realitasnya adalah arena yang kompleks, dipenuhi oleh berbagai kepentingan dan intrik. Remaja, dengan tingkat emosional dan pengalaman yang masih terbatas, dikhawatirkan rentan dimanfaatkan sebagai alat mobilisasi untuk menciptakan instabilitas, yang pada akhirnya justru merugikan dirinya sendiri dan masyarakat luas.

Meskipun begitu, kekhawatiran ini tidak boleh disikapi dengan pelarangan atau upaya menghindarkan remaja dari aksi unjuk rasa. Langkah seperti itu bertentangan dengan prinsip demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat.

Sebaliknya, yang perlu dilakukan adalah memberikan pemahaman yang komprehensif tentang prinsip-prinsip partisipasi politik yang sehat dan bertanggung jawab. Remaja perlu diberi pemahaman bahwa partisipasi politik harus disertai dengan tanggung jawab, kapan dan dalam kondisi apa aksi demonstrasi dapat dilakukan, serta bagaimana meraih tujuan secara efektif tanpa bertindak anarkis.

Partai politik, pemerintah, organisasi masyarakat, dan berbagai kelompok sosial lainnya memegang peran kunci dalam membangun kesadaran politik remaja. Dalam kurikulum pendidikan, misalnya, diperlukan materi pembelajaran tentang apa itu demokrasi dan bagaimana aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Partai politik memiliki tanggung jawab untuk melakukan pendidikan politik yang menyasar generasi muda sembari memberikan contoh berpolitik yang berasaskan moralitas dan bertanggung jawab terhadap publik. Sementara itu, LSM dan ormas dapat berperan dengan menawarkan pendidikan politik alternatif di luar struktur formal, memberikan pemahaman tentang bagaimana berpolitik secara sehat.

Demikianlah, partisipasi remaja dalam aksi unjuk rasa tidak boleh dilihat semata-mata sebagai “kenakalan politik”, tetapi perlu dibaca sebagai cerminan dari kepedulian mereka terhadap kondisi rakyat. Alih-alih dikekang, kepedulian ini perlu diarahkan agar tidak terjebak dalam manipulasi dan skema anarkis dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Dengan pendampingan dan pendidikan politik yang tepat, mereka bukanlah musibah, melainkan berkah bagi terwujudnya demokrasi yang substantif –sesuatu yang saat ini masih jauh panggang dari api.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//