Demokrasi Santun: Militerisme dan Minimnya Ruang Oposisi
Stabilitas politik tidak boleh dicapai dengan memperkuat pemerintahan yang militeristik dan mengorbankan ruang bagi oposisi dan supremasi sipil.

Ari Ganjar Herdiansah
Kepala Pusat Studi Politik dan Demokrasi Universitas Padjadjaran (Unpad)
9 April 2025
BandungBergerak.id – Setelah dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia pada 20 Oktober 2024, Prabowo Subianto membawa narasi baru yang ia sebut sebagai “demokrasi santun”. Dalam pidatonya, presiden ke-8 ini menegaskan bahwa demokrasi Indonesia harus menjunjung ciri khas bangsa: berbeda pendapat tanpa permusuhan, mengoreksi tanpa mencaci maki, bertarung tanpa membenci, dan bertanding tanpa berbuat curang.
Narasi ini, meskipun terkesan ideal, menyimpan ambiguitas yang patut diwaspadai. Di balik retorika tentang harmoni dan stabilitas, terselip kekhawatiran bahwa “demokrasi santun” akan menjadi alat untuk membungkam oposisi dan mengonsolidasikan kekuasaan. Apakah ini langkah menuju stabilitas politik yang inklusif, atau justru upaya untuk mengembalikan Indonesia ke era semi-otoritarianisme?
Stabilitas politik memang menjadi fondasi bagi pemerintahan yang efektif. Namun, stabilitas yang dibangun dengan mengorbankan kebebasan berekspresi dan ruang bagi oposisi merupakan stabilitas yang semu. Narasi “demokrasi santun” Presiden Prabowo tampaknya lebih mengarah pada penciptaan demokrasi yang terkendali –sebuah sistem di mana kritik dan perbedaan pendapat dipersempit demi menjaga citra harmoni.
Kecenderungan ini bukanlah hal baru. Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, ruang oposisi telah mengalami penyempitan yang signifikan. Kritik terhadap pemerintah terkadang direspons dengan tindakan represif, mulai dari kriminalisasi aktivis hingga pembatasan kebebasan pers. Kasus-kasus seperti penangkapan aktivis lingkungan, tokoh masyarakat sipil, dan mahasiswa menunjukkan bahwa kritik sering dipandang sebagai ancaman, bukan sebagai bagian integral dari demokrasi.
Meskipun begitu, sempitnya ruang oposisi dan suara kritis tidak menyurutkan kritik publik. Media sosial menjadi ruang alternatif di mana kritik terhadap pemerintah, bahkan dalam bentuk sarkasme, terus bermunculan. Sindiran tajam terhadap Jokowi, terutama terkait upaya membangun politik dinasti –seperti dalam pencalonan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai wakil presiden—menunjukkan bahwa masyarakat tidak mudah tunduk pada narasi resmi dari penguasa.
Baca Juga: Begal Demokrasi dan Amarah Kelas Menengah
Dari Balas Budi ke Politik Nilai, Menakar Harapan untuk Kabinet Prabowo
Pilkada Tidak Langsung via DPRD, Maslahat atau Mudarat?
Warisan Orde Baru dan Mentalitas Militer
Narasi “demokrasi santun” yang digaungkan oleh Presiden Prabowo tidak bisa dilepaskan dari dua faktor utama yang melatarbelakanginya: warisan Orde Baru dan mentalitas militer. Pertama, tersirat keinginan untuk menciptakan stabilitas ala Orde Baru. Presiden Prabowo, yang karier politiknya dibentuk dalam lingkungan kekuasaan Soeharto, tampaknya ingin menghindari gejolak politik seperti yang sering terjadi pasca era Orde Baru. Namun, stabilitas ala Orde Baru adalah stabilitas yang dibangun dengan meminimalisir suara kritis dan kekuatan oposisi. Itulah yang mungkin menjadi alibi di balik penawaran konsesi tambang terhadap ormas keagamaan, kampus, dan pesantren.
Kedua, latar belakang militer Presiden Prabowo cenderung membentuk gaya kepemimpinan yang militeristik. Di era pemerintahan Prabowo, militer semakin masuk ke ranah sipil, seperti terlibat dalam program makan bergizi gratis dan penyelenggaraan haji.
Kementerian pertahanan pun berencana menambah komando daerah militer (kodam) dari 15 hingga 37, mengikuti polda, pada tahun 2029 mendatang. Pemerintah juga akan menambah 100 batalion infanteri teritorial untuk mempercepat pembangunan. Belakangan, RUU TNI akan semakin meluaskan posisi dan pengaruh militer di ranah sipil.
Demokrasi yang Inklusif dan Substantif
Narasi “demokrasi santun” sejatinya bukanlah konsep yang sepenuhnya keliru. Stabilitas politik memang menjadi kebutuhan bagi masyarakat Indonesia yang plural. Namun, stabilitas tidak boleh dicapai dengan memperkuat pemerintahan yang militeristik dan mengorbankan ruang bagi oposisi dan supremasi sipil. Karena, oposisi dan supremasi sipil merupakan elemen esensial dalam demokrasi untuk memastikan pemerintah bertanggung jawab dan akuntabel atas kebijakan-kebijakannya.
Jika prinsip “demokrasi santun” diterapkan secara mutlak, Indonesia berisiko meluncur menuju pemerintahan yang semi-militeristik dan tentu cenderung otoriter. Demokrasi Indonesia memerlukan pendekatan yang tidak hanya santun, tetapi juga inklusif dan substantif.
Peran oposisi perlu diberdayakan sebagai bagian integral dari sistem politik, bukan dianggap sebagai ancaman. Di era Presiden Prabowo, tantangan ini harus dijawab dengan komitmen untuk membangun demokrasi yang mampu menghadirkan keberagaman gagasan dan aspirasi, serta mencekal militerisasi pemerintahan.
Narasi “demokrasi santun” adalah ujian bagi masa depan demokrasi Indonesia. Apakah ini akan menjadi langkah menuju stabilitas yang inklusif dan substantif, atau justru upaya untuk mengarahkan Indonesia ke era “otoritarianisme kompetitif” –kondisi ketika kompetisi demokrasi berjalan tetapi menghasilkan pemerintahan yang cenderung otoriter?
Jawabannya tergantung pada komitmen Presiden Prabowo dalam menjaga keseimbangan antara kekuatan politik dan prinsip demokrasi, serta memastikan proses demokratis tidak dikorbankan demi stabilitas semu yang mengikis hak warga.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Ari Ganjar Herdiansah, atau artikel-artikel lain tentang politik