Begal Demokrasi dan Amarah Kelas Menengah
Sejarah menunjukkan bahwa instabilitas politik suatu negara biasanya dimulai dengan kemarahan kelas menengah yang merasa dikhianati oleh kelas politik yang berkuasa.
Ari Ganjar Herdiansah
Kepala Pusat Studi Politik dan Demokrasi Universitas Padjadjaran (Unpad)
24 September 2024
BandungBergerak.id – Di Amerika Selatan, kartel narkoba memiliki strategi unik untuk meningkatkan keuntungan dan mendominasi perdagangan obat-obatan terlarang: mereka lebih memilih berkoalisi daripada berkonflik. Dengan cara inilah para pesaing disingkirkan, jajaran aparat dan politisi disuap, dan akhirnya berbagai aturan dapat diotak-atik demi kepentingan mereka sendiri. Praktik seperti itu kemudian menginspirasi istilah “politik kartel”, yaitu ketika proses politik dibangun atas dasar kompromi antar elite.
Di Indonesia, politik kartel tampaknya menguat (lagi) pasca Pemilu 2024. Hal ini terindikasi pada koalisi bongsor pemerintahan Prabowo-Gibran. Dari 13 partai yang lolos ambang batas parlemen, 12 di antaranya telah menyatakan bergabung ke dalam koalisi pemerintahan mendatang. Pernyataan Prabowo yang berkeinginan agar koalisi tersebut turut diterapkan dalam pilkada menandakan adanya upaya pemaksaan kepentingan elite pusat di daerah.
Salah satu implikasinya yang paling jelas belakangan ini adalah pengabaian aspirasi warga lokal. Di Jakarta, misalnya, harapan masyarakat agar Anies Baswedan ikut berlaga dalam pemilihan gubernur kandas. Meskipun Anies memiliki elektabilitas tertinggi dalam berbagai survei politik, koalisi bongsor (atau nama resminya “Koalisi Indonesia Maju Plus”) berhasil mengooptasi partai-partai pendukung potensial bagi Anies seperti Nasdem, PKS, dan PKB. Akhirnya, tidak ada partai yang dapat memberikan tiket pencalonan untuk Anies.
Kabar baiknya, politik kartel tersebut bukannya tanpa gangguan. Kita patut berterima kasih kepada para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah mengeluarkan Putusan Nomor 60 dan Nomor 70 tentang UU Pilkada. Keputusan tersebut membuyarkan skenario busuk para elite politik yang semakin terang-terangan berupaya membegal demokrasi langsung demi kepentingan golongannya semata.
Tanpa putusan MK, hampir semua elite parpol dapat lebih leluasa memetakan orang-orang mereka untuk diplot sebagai kepala daerah di berbagai wilayah strategis, antara lain Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Sumatera Utara. Tanpa putusan MK pula, fenomena kotak kosong diprediksi bakal semakin tinggi, yang saat ini saja akan berlangsung setidaknya di 41 daerah, baik di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota.
Tidak kalah pentingnya, putusan MK tersebut juga dibela mati-matian oleh masyarakat kelas menengah. Ketika DPR hendak merevisi UU Pilkada tanpa berkiblat pada putusan MK, aksi demonstrasi besar-besaran yang didominasi kelas menengah berkobar di berbagai daerah. Mereka secara kolektif muak dengan akal-akalan elite yang seenaknya mengotak-atik undang-undang hanya demi memuluskan kepentingan mereka.
Gejala seperti itu telah kita lihat sejak pemberian “karpet merah” untuk Gibran pada pilpres yang lalu. Film dokumenter “Dirty Vote” berupaya mengungkapkan keculasan para elite. Jajaran guru besar dan akademisi di berbagai kampus pun menyatakan protes keras. Semua ini menunjukkan bahwa kekuatan kelas menengah tidak dapat disepelekan. Merekalah yang secara dominan menopang kekokohan dan kesehatan demokrasi. Sebaliknya, kemarahan mereka sering kali mengawali serangkaian mimpi buruk bagi rezim penguasa.
Dan pemerintahan Prabowo-Gibran jelas tidak mau itu menjadi mimpi buruk mereka.
Baca Juga: Kita Perlu Oposisi!
Menakar Sosok Wali Kota Bandung 2024-2029
Masyarakat Patriarki dan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan
Potensi Amarah Kelas Menengah
Bel kekecewaan kelas menengah di Indonesia telah berdentang. Berdasarkan laporan BPS, jumlah kelas menengah terjadi penyusutan. Sebagian besar mengalami mobilitas ke bawah menjadi kelas menuju-kelas-menengah, yang berarti terjadi downgrade kualitas hidup, terutama secara ekonomi. Apa penyebabnya merupakan daftar yang panjang, tetapi tidak diragukan lagi bahwa mereka terjepit (atau tepatnya, dijepit) dari segala arah.
Beberapa di antaranya merupakan isu klasik, seperti langkanya pekerjaan, tingginya biaya kuliah, semakin sulitnya memiliki rumah, upah stagnan, dan baru-baru ini gelombang PHK. Implikasinya, kelas menengah berutang lebih dari kemampuan membayarnya, menabung menjadi semakin sulit, dan rencana pensiun berantakan sepenuhnya. Obrolan mereka kini dipenuhi oleh diskusi hipotek, pendidikan, dan anak-anak mereka yang kekurangan gizi.
Apakah itu cukup? Kelihatannya belum.
Pemerintah mensinyalir akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada awal tahun depan. Hal ini, yang akan diiringi dengan kenaikan harga barang dan jasa, jelas semakin menekan daya beli kelas menengah. Padahal, tingkat konsumsi rumah tangga cenderung menurun dalam setahun terakhir, yang berarti daya beli masyarakat memang sudah melemah.
Dengan semua kesulitan tersebut, apakah mengherankan jika banyak pembayar pajak kelas menengah yang membenci para elite? Sedikit sumber daya milik mereka dikuras, dan untuk bertahan hidup dengan sisanya, mereka tampaknya harus pontang-panting sendirian tanpa memperoleh perhatian signifikan (jika ada) dari pemerintah. Misalnya, meskipun daya beli menurun dan sangat terpukul oleh inflasi, mereka tidak (berhak) menerima bansos.
Itulah sebabnya mengapa kelas menengah merasa seperti “dirampok” oleh politisi korup dan sewenang-wenang, yang menggunakan pendapatan pajak mereka untuk “membeli suara” dari orang-orang miskin yang kelaparan. Dengan pergumulan politik yang semakin jauh dari kepantasan ini, lonceng tanda bahaya dapat dibunyikan oleh kelas menengah. Jika kita perhatikan, keluhan dan aspirasi mereka memang tidak begitu didengar belakangan ini.
Tanda-tanda kekecewaan kelas menengah jangan dianggap enteng. Kelas menengah punya kemampuan mobilisasi yang luar biasa. Sejarah menunjukkan bahwa instabilitas politik di suatu negara biasanya dimulai dengan kemarahan kelas menengah yang merasa dikhianati oleh kelas politik yang berkuasa. Dan dalam beberapa tahun terakhir, itu terjadi di sejumlah negara seperti India, Thailand, dan Kenya.
Di Bangladesh, meskipun mayoritas partai politik berkoalisi dan berbagi kue kekuasaan yang berarti mengantongi dukungan dari sebagian populasi, kekuatan amarah kelas menengah tetap tidak terbendung. Kemarahan karena merasa “dibegal” oleh tindakan culas para elite seperti itu adalah faktor pendorong yang membawa ratusan ribu orang turun ke jalanan.
Dengan demikian, ada alasan kuat mengapa tanda-tanda kekecewaan dan kemarahan kelas menengah akan menjadi batu sandungan bagi pemerintahan Prabowo-Gibran ke depannya. Tatkala kelas menengah merasa bahwa sistem telah dicurangi, mereka kemungkinan besar bakal melancarkan banyak aksi protes terhadap pemerintah.
Dalam satu cara, hal itu bisa mengarah pada pencarian pemimpin alternatif yang dapat membantu mereka menggulingkan rezim penguasa, seperti yang dilakukan kelas menengah Chili untuk menggulingkan Salvador Allende. Di pihak lain, hal itu bisa dilakukan dengan cara yang lebih klasik: aksi protes massal, sebagaimana dialami oleh Presiden Soeharto—mertua Prabowo—di ujung kekuasaannya.
Cara mana pun adalah mimpi buruk bagi pemerintahan Prabowo-Gibran.
Atas dasar itu, Prabowo-Gibran dan para sekutunya jangan hanya mementingkan persatuan di kalangan elite, tetapi juga komitmen untuk membangun demokrasi yang sehat. Salah satu caranya adalah dengan menemukan keseimbangan baru antara tuntutan yang sah dari kelas bawah untuk memperoleh hak-hak sosio-politik secara adil dan ketakutan kelas menengah untuk dihancurkan oleh kekuasaan elite yang ugal-ugalan.
Prabowo harus memahami bahwa mandat pemilu bukanlah tiket gratis untuk menabrak aturan dan memuluskan agenda kelompoknya. Dalam demokrasi massa, penerimaan kelas menengah sangat penting untuk pemerintahan yang sukses. Sikap pemenang-mengambil-semua tidak dihargai oleh konstituen utama ini. Ketika kelas menengah menyadari bahwa kepentingan mereka paling baik dijaga oleh rezim, keamanan dan stabilitas bukan hanya dinikmati oleh masyarakat tetapi juga oleh rezim pemerintah itu sendiri.
Jika dasar demokrasi digerogoti oleh kepentingan segelintir individu yang mengutamakan kekuasaan daripada kepentingan umum, demokrasi yang sehat tidak akan bertahan. Untuk mengembalikan kepercayaan rakyat dan menjaga pemerintahan berjalan sesuai dengan mandat konstitusi, demokrasi harus dilaksanakan dalam kehidupan nyata berdasarkan asas dan prinsip trias politica. Jika tidak, demokrasi kita akan hanya menjadi hiasan kosong yang mudah rapuh saat rakyat tidak puas.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Ari Ganjar Herdiansah, atau artikel-artikel lain tentang politik