Masyarakat Patriarki dan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan
Sistem nilai yang patriarki membuat masyarakat enggan untuk mengungkapkan atau menentang peristiwa atau tindakan kekerasan seksual terhadap perempuan.
Ari Ganjar Herdiansah
Kepala Pusat Studi Politik dan Demokrasi Universitas Padjadjaran (Unpad)
10 Juni 2024
BandungBergerak.id – Banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Komnas Perempuan mencatat 4.179 kasus kekerasan seksual pada Mei 2022 sampai Desember 2023. Sementara itu, belum genap setengah tahun, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak telah mendokumentasikan lebih dari 4.300-an kasus kekerasan seksual di Indonesia selama 2024 ini.
Fenomena tersebut sangatlah janggal karena, pada era modern ini, masyarakat idealnya menjadi semakin terbuka, terinformasi, dan egaliter. Lebih janggal lagi, kekerasan seksual justru paling marak terjadi di dunia pendidikan, terutama perguruan tinggi –instansi yang seharusnya menjadi teladan dan pembela nilai-nilai keadilan dan kesetaraan.
Para pengamat dan akademisi telah berusaha menguraikan kejanggalan tersebut.
Purwanti dan Hardiyanti (2018), misalnya, menyoroti lemahnya payung hukum yang menangani kekerasan seksual. Bahkan jika ada, payung hukum tersebut sering kali lemah dalam praktiknya. Di pihak lain, Soejoeti dan Susanti (2020) menyayangkan sering terjadinya viktimisasi tambahan pada korban dalam peradilan pidana, sehingga mereka menyarankan perlunya keadilan restoratif bagi korban kekerasan seksual, terutama di kampus.
Bisa kita lihat, mereka sama-sama menekankan faktor legal seperti lemahnya payung hukum dan sistem peradilan pidana. Faktor hukum sangatlah penting, tentu saja. Namun, hal lain yang tidak kalah pentingnya (dan jarang disorot) adalah berkembangnya anggapan bahwa tindak kekerasan seksual senantiasa berkaitan dengan faktor individu, baik pelaku maupun korban.
Misalnya, ketika kasus kekerasan seksual terjadi, orang menyalahkan pelaku karena agresif, atau menyalahkan korban karena dianggap berpakaian terbuka dan tidak bisa menjaga diri. Asumsi-asumsi ini, selain dangkal, juga mengabaikan akar masalahnya yang tertanam dalam benak sosial dan bekerja di bawah alam sadar masyarakat.
Perhatikan bagaimana nilai tentang suami sebagai kepala keluarga berubah menjadi alat kontrol atas anggota keluarga dan tuntutan kepatuhan. Di ranah agama, terdapat ajaran bahwa laki-laki adalah pemimpin, yang secara keliru ditafsirkan sebagai justifikasi bahwa laki-laki harus jemawa atas perempuan. Di ranah politik, masyarakat kita kebanyakan menganggap laki-laki lebih pantas menjadi pemimpin, mulai dari ketua RT/RW, kepala daerah, hingga presiden.
Jika kita cermati, masalah sebenarnya bukan terletak pada struktur keluarga atau ajaran agama, melainkan tafsir sosial yang patriarki. Pada masyarakat patriarki, individu-individu cenderung memaknai struktur keluarga dan ajaran agama tersebut sebagai legitimasi dominasi laki-laki atas perempuan. Dalam konteks kekerasan seksual, artikel ini akan menunjukkan bahwa hal tersebut juga tidak terlepas dari sistem nilai dan struktur sosial masyarakat kita yang patriarki.
Baca Juga: Toxic Masculinity Membutakan Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual
Culture Revisited: Menyingkap Kekerasan Seksual di Indonesia
Melontarkan Ucapan Berbau Seksual di Muka Umum adalah Bentuk Kekerasan Seksual
Sejarah Sosial Patriarki
Masyarakat patriarki (patriarchal society) dicirikan oleh nilai-nilai yang menempatkan laki-laki pada posisi superior. Dominasi laki-laki atas perempuan ini tidaklah bersifat alamiah, melainkan terbentuk seiring dengan perubahan sejarah dan struktur sosial. Secara historis, struktur patriarki telah terbentuk dan terlembaga lewat pengorganisasian kekerabatan, pemapanan keagamaan, dan birokrasi negara yang telah berlangsung selama lebih dari 2.500 tahun di berbagai peradaban.
Sebagai contoh, dalam peradaban Babylon kira-kira tahun 1.750 SM, seksualitas dan kapasitas reproduksi wanita dikendalikan sepenuhnya oleh laki-laki melalui Hukum Hammurabi. Di dalam hukum tersebut, terdapat ketentuan misalnya bahwa wanita dapat diceraikan jika tidak subur dan dijual menjadi budak jika terbukti berzina.
Antropolog Ruth Mace mengamati bahwa sistem patriarki telah berkembang secara evolusioner. Menurutnya, elemen yang sering diabaikan dalam kerangka dinamika sejarah adalah bagaimana struktur kekuasaan gender, khususnya dominasi laki-laki, telah berkembang dan berubah seiring dengan perubahan sejarah dan struktur sosial.
Pada masyarakat pemburu-pengumpul, yang ciri-cirinya menyerupai kehidupan awal manusia, struktur sosialnya cenderung egaliter. Mobilitas perempuan cukup tinggi, memungkinkan mereka memilih pasangan dan meninggalkannya dengan mudah. Di tahap ini, struktur kekuasaan gender relatif seimbang karena tidak ada properti atau kekayaan yang harus dipertahankan. Kehidupan sehari-hari berfokus pada kelangsungan hidup bersama, sehingga dominasi laki-laki menjadi lebih sedikit.
Benih patriarki mulai muncul pada masyarakat pertanian dan hortikultura. Saat itu, masyarakat mulai hidup secara menetap dan mengelola berbagai sumber daya untuk menumbuhkan tanaman. Konflik mulai meningkat seiring dengan kepemilikan tanaman dan sumber daya ini, dan laki-laki cenderung mendominasi dalam hal pertahanan dan kekerasan. Di sinilah struktur patriarki mulai berkembang, dengan laki-laki mengambil alih sumber daya dan kekuasaan.
Penguatan peran laki-laki berlanjut ketika manusia mengadopsi sistem peternakan. Peran dalam pertahanan dari ancaman-ancaman pihak luar membuat laki-laki menjadi pelindung yang kuat dan pemimpin masyarakat. Dominasi gender diperkuat dalam struktur sosial ini, di mana laki-laki memegang kendali atas berbagai sumber daya dan banyak keputusan penting.
Seiring pertumbuhan populasi dan kekayaan material, superioritas laki-laki semakin mengendap dan menguat dalam realitas sosial. Untuk mempertahankan properti dan kekayaan keluarga, garis keturunan ditarik dari sisi laki-laki. Sistem tersebut secara inheren mendukung dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan.
Struktur kekeluargaan dan hukum yang patriarkal membentuk suatu sistem yang memudahkan pengaturan sosial dan ekonomi, termasuk kontrol demografi untuk kepentingan militer dan tenaga kerja. Dominasi ini berawal dari dominasi laki-laki atas perempuan, yang kemudian diperluas ke dominasi atas kelompok, suku, golongan, dan bangsa lain –bahkan menjadi dasar bagi praktik perbudakan dan penundukan lainnya.
Puncak eksploitasi perempuan terjadi dalam masyarakat di mana laki-laki kaya dapat memiliki banyak istri. Selain kehilangan otonomi perempuan selama perkawinan, poligami menunjukkan dominasi laki-laki yang sangat tinggi. Perempuan sering kali diperdagangkan dan dipertukarkan seperti properti, tanpa otonomi atau kekuatan untuk mengubah keadaan mereka.
Struktur keluarga yang lebih egaliter kemudian muncul setelah transisi sosial dari poligami ke monogami, yang utamanya terjadi pada era modern. Hal itu terjadi karena pembatasan kekayaan, menimbang kebutuhan akan produktivitas dan keterbatasan lahan. Pada sistem ini, wanita lebih banyak memiliki otonomi dan bekerja sama dengan pasangan mereka. Bagaimanapun, kendati kelihatannya terjadi perbaikan, dominasi laki-laki masih berlaku utamanya dalam hal kontrol dan akses sumber daya dan kekuasaan.
Patriarki dan Kekerasan Seksual
Pola masyarakat patriarki tidak selalu langsung memberikan dampak terhadap maraknya kasus kekerasan seksual. Namun, dominasi maskulinitas yang mencirikan masyarakat ini sering kali membenarkan tindakan kekerasan terhadap perempuan. Pada kasus kekerasan domestik atau pemerkosaan dalam pernikahan, umpamanya, norma sosial dan bahkan hukum sering kali tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi korban.
Sistem nilai yang patriarki membuat masyarakat enggan untuk mengungkapkan atau menentang peristiwa atau tindakan kekerasan seksual terhadap perempuan.
Demikian pula dalam kasus pelecehan seksual di tempat kerja atau di kampus. Walaupun ada undang-undang yang melarang tindakan tersebut beserta mekanisme pelaporan dan pengadilan bagi pelaku, banyak perempuan masih merasa takut untuk berbicara. Stigma sosial dan ancaman pembalasan memainkan peran signifikan dalam hal ini, yang berimplikasi pada banyaknya kasus yang tidak dilaporkan atau ditindaklanjuti dengan tidak serius.
Yang tak kalah memprihatinkannya adalah faktor media dan budaya populer yang memperkuat stereotip patriarkal. Banyak tayangan media, mulai dari film hingga musik, yang merendahkan perempuan dan menggambarkan mereka sebagai objek seks. Contohnya, beberapa lagu hip-hop dan pop Barat liriknya secara terang-terangan mendukung agresi seksual terhadap perempuan. Beberapa lagu pop Indonesia pun tidak sedikit yang liriknya melukiskan lemahnya perempuan di hadapan laki-laki dalam hubungan percintaan.
Pemberitaan media juga tidak jauh berbeda. Dalam kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual, misalnya, pemberitaan media lebih sering menyoroti perempuan dan jarang menyinggung laki-laki. Hal ini dapat secara serius mengalihkan fokus dari tindakan pelaku. Di media sosial, kasus-kasus pelecehan seksual menjadi meme yang tersebar dengan cepat dan dianggap sebagai humor. Akibatnya, publik acapkali meremehkan masalah dan mengurangi empati pada korban.
Guna melawan kekerasan seksual dalam tatanan patriarki yang begitu kuat, diperlukan tindakan kolektif dan keberanian untuk menghadapi norma-norma yang sudah lama bercokol. Penguatan undang-undang harus diikuti dengan perubahan dalam sistem nilai di berbagai ranah: pendidikan, korporat, keluarga, agama, dan politik.
Masyarakat harus terus diajak untuk meningkatkan literasi gender, mengakui dan menantang struktur kekuasaan patriarkal yang tidak hanya merugikan perempuan tetapi juga memperlemah basis sosial, terutama prinsip keadilan, yang pada akhirnya berdampak secara keseluruhan. Bisa dibilang, penderitaan perempuan adalah penderitaan semua orang.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Ari Ganjar Herdiansah, atau artikel-artikel lain tentang politik