• Opini
  • Culture Revisited: Menyingkap Kekerasan Seksual di Indonesia

Culture Revisited: Menyingkap Kekerasan Seksual di Indonesia

Budaya patriarki dikhawatirkan dapat memunculkan rape culture, yakni istilah untuk menggambarkan masyarakat yang terkesan menyepelekan tindak pelecehan seksual.

Alexander Editya Pribadi

Mahasiswa Magister Filsafat Keilahian Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Ruang sidang di Pengadilan Negeri Bandung, Selasa (21/12/2021). Sejumlah kasus kekerasan seksual disidangkan di pengadilan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

22 Januari 2023


BandungBergerak.id—Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal” (Miller, S.,2017). Menurut Komnas Perempuan (2017), “Ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender” adalah sebuah keadaan terlapor menyalahgunakan sumber daya pengetahuan, ekonomi dan/atau penerimaan masyarakat atau status sosialnya untuk mengendalikan korban.

Data statistik angka Kekerasan Seksual menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melaporkan, ada 797 anak yang menjadi korban kekerasan seksual sepanjang Januari 2022. Jumlah tersebut setara dengan 9,13 persen dari total anak korban kekerasan seksual pada tahun 2021 lalu yang mencapai 8.730 (kompas.com, 2022). Menurut data Komnas Perempuan, sebanyak 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang 2019. Jumlah tersebut naik sebesar 6 persen dari tahun sebelumnya, yakni 406.178 kasus. Pada tahun 2020 angka kekerasan terhadap perempuan mengalami penurunan sebanyak 299.911, berkurang 31% dari kasus di tahun 2019 yang mencatat sebanyak 431.471 kasus (Yosephus Mainake, 2022). Meskipun telah mengalami sedikit penurunan tetapi angka kekerasan terhadap perempuan masih terbilang cukup tinggi. Bahkan, penulis berasumsi bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia, sudah dalam kondisi darurat.

Baca Juga: Menilai Mutu Drama Indonesia dan Drama Korea
Rumah Pintar untuk Hunian Ramah Lingkungan
Standar Kecantikan K-Pop Merusak Kesehatan Mental?

Ketika Kekerasan Seksual Menjadi Sebab

Bila kita berbicara berdasarkan data yang ada, apakah negara kita sudah terbiasa akan kekerasan seksual? Bukankah seharusnya kekerasan seksual ini seharusnya bisa dilawan bersama oleh berbagai sektor masyarakat? Menjadi pertanyaan penulis, apakah selama ini budaya Indonesia membiarkan kekerasan seksual sebagai hal yang lumrah dilakukan? Dari segudang rasa prihatin dan kekhawatiran penulis, tingginya angka kekerasan seksual ini terus terjadi hampir di semua gender bahkan umur. Relasi seksual pada umumnya yang dikenal  telah dipercaya sebagai masalah privat. Namun apabila relasi ini bersambung pada  kriminalitas dan merugikan jiwa orang lain tentulah bisa diangkat sebagai norma hukum yang  tentunya berlaku secara nasional dalam berbagai paham dan keyakinan.

Pada tanggal 12 Maret 2022, DPR RI telah merampungkan dan mengesahkan sebuah rancangan undang undang tentang tindak pidana kekerasan seksual. Pemerintah resmi mengundangkannya menjadi UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Tentu saja ini menjadi angin segar bagi masyarakat Indonesia, karena bila budaya atau bahkan norma sosial tidak bisa bekerja, biarkanlah akhirnya norma hukum yang bertindak. Perubahan pemahaman sensivitas norma ini sebenarnya juga perlu disadari apakah bangsa ini telah mengalami pergeseran budaya? Bagaimanakah sensitivitas publik diuji sampai pada pilar dan landasan negara kita yang berlaku?

Apakah Kultur Patriarki mendukung Rape Culture?

Paling tidak dalam hal ini rakyat yang harus diuntungkan, karena kekerasan seksual marak hampir terjadi justru pada kelas dasar, sebagai lapisan mayoritas. Penulis melihat kasus demi kasus terjadi bukan di masalah privat, tetapi menyangkut kepentingan penyintas dan keluarga yang dirugikan. Urgensi ini membuat sebuah kesepakatan, bahwa tindakan kekerasan seksual lebih dari sekedar pemahaman persepsi tetapi ada penyintas yang terdesak perlu ditolong baik oleh pendamping, aparat penegak hukum dan semua perangkat yang terkait di seluruh area pemerintahan di Indonesia tanpa terkecuali.

Belajar dari semua kejadian kekerasan seksual yang terjadi, kita tidak bisa mengesampingkan pemahaman di negara ini yang menganut sistem patriarki, di mana laki-laki lebih mendominasi perempuan dan perempuan selalu dipandang sebagai orang kedua setelah laki-laki, dalam hal pembagian kerja, karena laki-laki yang selalu mengambil keputusan (Nimrah S. & Sakaria, 2015). Budaya ini membuat perlahan perempuan terkesan sebagai penggoda, lebih rendah, dinilai dari tubuh atau kecantikan. Kemudian didorong oleh penggunaan-penggunaan bahasa yang misoginis yang membuat perempuan tidak nyaman. Tindakan seperti ini disebut budaya bila sudah jauh lebih mandalam dan berasal dari kurangnya sebuah kesadaran tentang kemanusiaan perempuan (Abu Riki & Siti Hannah Alaydrus, 2022).

Budaya yang ditakutkan terjadi adalah peluang munculnya rape culture. Istilah rape culture mengacu pada budaya tahun 1970-an pada studi di Amerika Serikat. Oxford Dictionaries mendefinisikan rape culture sebagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan masyarakat ataupun lingkungan yang terkesan menyepelekan tindak pelecehan seksual. Rape culture bukan hanya persoalan perkosaan saja, tapi sebuah budaya yang menjadikan perkosaan dan juga kekerasan seksual sebagai sesuatu yang normal, wajar terjadi dan di toleransi di media atau masyarakat (Abu Riki & Siti Hannah Alaydrus, 2022).

Saat itu Rape Culture berkembang ketika pemahaman yang mengatakan bahwa perempuan sebagai objek yang seringkali ditempatkan seperti barang. Perempuan diwariskan atau dijadikan sebagai pelunas hutang. Sementara pada jaman ini, perempuan sudah dianggap manusia, tapi harus sesuai dengan konstruksi dan konsepsi tertentu tergantung pemahaman budaya setempat. Pemahaman ini sayangnya terus berkembang menjadi tindak pidana ketika ada penyintas yang justru menjadi objek atau sasaran kesalahan dari sebuah kejadian yang merugikan. Menjadi rahasia umum dalam berbagai kasus pelecehan seksual, perempuanlah justru menjadi pihak yang disalahkan, entah itu berkaitan dengan cara berpakaian, tingkah laku, waktu kejadian pelecehan, atau justifikasi yang tidak menempatkan laki-laki sebagai pelaku (Ade Irma Sakina & Dessy Hasanah Siti A, Social Work Journal Vol 7 No 1, 71).

Sebuah Penyadaran Bersama

Menyikapi berbagai masalah yang ditimbulkan, apakah kita sebagai bagian dari bangsa ini akan melanjutkan kultur yang salah? Bagi penulis, sudah waktunya, kekerasan seksual atas nama apapun disudahi. UU Tindak Kekerasan Seksual adalah lampu hijau bagi kita bersama, untuk saling membantu dan melindungi. Kepekaan masyarakat dalam ranah media sosial juga membantu bagaimana penghargaan bisa ditegakkan. Memang langkah kita kecil dan bahkan terlihat tidak berarti, tetapi bila ini diterapkan pada setiap individu, mengapa tidak?

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//