• Kampus
  • Melontarkan Ucapan Berbau Seksual di Muka Umum adalah Bentuk Kekerasan Seksual

Melontarkan Ucapan Berbau Seksual di Muka Umum adalah Bentuk Kekerasan Seksual

Guru Besar Antropologi Hukum FH UI Sulistyowati Irianto memberikan sosialisasi bahaya kekerasan seksual di lingkungan kampus kepada mahasiswa ITB.

Poster kampanye Kampus Aman tanpa Kekerasan Seksual. (Sumber: Unpar)

Penulis Iman Herdiana7 Juni 2023


BandungBergerak.idSatuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual atau Satgas PPKS ITB melakukan sosialisasi pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Sosialisasi ini penting mengingat kekerasan seksual sangat merugikan korban. Dalam sosialisasi ini terungkap bahwa kekerasan seksual merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Guru Besar Antropologi Hukum FH UI Sulistyowati Irianto mengatakan, kekerasan seksual merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan kejahatan terhadap kesusilaan. Korbannya bisa kehilangan nyawa, cacat dan trauma seumur hidup.

“Ada dua unsur kekerasan seksual, yakni ketiadaan consent dan adanya relasi kuasa. Namun, ketiadaan consent harus diabaikan apabila korban di bawah umur, sakit, tidak berdaya, mabuk, dan kondisi lain. Adanya relasi kuasa membuat terjadinya pemaksaan tanpa persetujuan korban sehingga dapat dianggap kejahatan kriminal,” terang Sulistyowati Irianto, dikutip dari laman resmi ITB, Rabu (7/6/2023).

Kegiatan sosialisasi Satgas PPKS ITB tersebut dilaksanakan Rabu (31/5/2023) di Lantai 3 Multipurpose Hall CRCS ITB, Bandung.

Berdasarkan UU TPKS No. 12 Tahun 2022, terdapat 9 jenis kekerasan seksual termasuk pelecehan seksual nonfisik seperti catcalling, adalah penyampaian kata-kata verbal dan nonverbal yang bersifat seksual di tempat umum atau ruang publik.

Catcalling umumnya dilakukan pada perempuan yang sedang berjalan. Catcalling biasanya berisi kata-kata tidak senonoh, berbau seksual, hal ini membuat korban merasa tidak aman atau terancam. Akan tetapi, pada kenyataannya, catcalling yang mungkin sering dirasakan oleh banyak perempuan khususnya mahasiswa sering dianggap sepele oleh pelaku.

“Ada mahasiswa UI yang meninggal tertabrak kereta karena tidak mendengarkan suaranya. Hal tersebut terjadi karena korban sering menggunakan headphone supaya tidak mendengar catwalking (catcalling) yang sering dia terima apabila keluar kost,” ujarnya.

Selain itu, kekerasan seksual berupa pelecehan fisik juga banyak terjadi di lingkungan kampus. Pelakunya bisa siapa saja termasuk dosen. Banyak dosen yang memanfaatkan relasi kuasa untuk mengancam mahasiswa supaya tidak buka mulut. Bukan hanya dosen, teman dan pacar juga berpotensi sebagai pelaku.

Oleh karena itu, Sulis mengingatkan agar rekan-rekan mahasiswa dapat menjaga diri untuk tidak bersentuhan fisik secara berlebihan, tidak menuruti semua keinginan pacar, dan menghindari kontrol penuh dari mereka.

Baca Juga: Pendaftaran Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) Luar Negeri dari Kemendikbud RI masih Terbuka
Peluang dan Tantangan Kecerdasan Buatan (AI) sebagai Teknologi Masa Depan
Mencari Tahu Peluang Kerja Profesi Penerjemah

Korban pelecehan seksual sulit mendapatkan keadilan karena pada KUHP yang lama dijelaskan bahwa korban harus menyiapkan bukti-bukti sendiri. Hal ini tentunya akan menyulitkan mereka apabila tidak terdapat luka robek atau bekas lain yang bisa dijadikan bukti. Untuk mengatasi hal tersebut, dalam UU TPKS disediakan hukum acara yang menyatakan kesaksian korban dapat dijadikan sebagai bukti. Oleh karena itu, keberadaan UU TPKS ini dapat disebut angin segar dalam penegakan keadilan bagi korban.

Rektor ITB Reini Wirahadikusumah mengatakan sosialisasi tersebut dilaksanakan bukan semata-mata hanya untuk mengikuti amanat Undang-undang, tetapi juga sebagai bentuk kepedulian kampus. Dia juga berharap agar langkah pencegahan dapat dilakukan lebih komprehensif, supaya dapat meminimalkan kasus kejahatan seksual.

“Kesadaran akan hal ini perlu ditingkatkan lebih lagi dengan mengasah kemampuan kita berempati,” kata Rektor.

Menurutnya yang menjadi perhatian saat ini adalah bagaimana meyakinkan para korban untuk berani bersuara. Apabila kekerasan seksual dibiarkan terjadi di kampus, maka universitas sebagai rumah produksi ilmu pengetahuan dan gerakan moral dalam masyarakat akan runtuh. Oleh karena itu, adalah upaya yang baik, setiap kampus membentuk Satgas PPKS guna memberikan dampingan dan perlindungan kepada korban.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//