Perjuangan Panjang Menghapus Tabu Kejahatan Seksual di Kampus
BEM Kema Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Padjadjaran (Unpad), menggelar diskusi bertajuk Kekerasan Seksual di Kampus: Tabu dan Realita.
Penulis Reza Khoerul Iman27 Maret 2022
BandungBergerak.id - Kampus sebagai ruang intelektual sudah semestinya memberikan ruang aman bagi sivitas akademika. Namun realitanya, sejumlah kasus kekerasan dan pelecehan seksual kerap terjadi di lingkungan kampus. Pelaku kekerasan seksual cenderung mengarah pada pemilik kekuasaan, seperti dosen yang punya kuasa pada mahasiswanya.
Menurut data dari catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2015-2021, perguruan tinggi menjadi lembaga pendidikan yang memiliki kejadian kekerasan seksual terhadap perempuan sebanyak 35 persen. Sementara survei Kemedikbudristek tahun 2020 mencatat sebanyak 79 kampus di 29 kota di Indonesia memiliki 63 persen kasus kekerasan seksual yang tidak pernah dilaporkan.
Berangkat dari persoalan tidak ramahnya lingkungan kampus dari kejahatan seksual, BEM Kema Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Padjadjaran (Unpad), menggelar diskusi secara daring bertajuk “Kekerasan Seksual di Kampus: Tabu dan Realita??!”, Sabtu, (26/03/2022).
BEM Kema Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Padjadjaran (Unpad), menggelar diskusi bertajuk Kekerasan Seksual di Kampus: Tabu dan Realita.
BEM Kema Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Padjadjaran (Unpad), menggelar diskusi bertajuk Kekerasan Seksual di Kampus: Tabu dan Realita.
“Isu seksual dapat ditemukan di ruang publik mana pun, termasuk kampus. Data yang mencatat kasus kekerasan seksual sudah banyak bertaburan. Oleh karena itu BEM Unpad menyajikan kepada teman-teman untuk melakukan diskusi agar lebih aware lagi terkait isu kekerasan seksual,” ucap Organizing Comittee President, Ridwan Robbin Nuralim.
Yunita Fitriany yang akrab dipanggil Nitasya dari Aliansi Parapuan yang menjadi pemantik diskusi, menyatakan melawan aksi pelecehan seksual merupakan perjuangan panjang. Ia menyayangkan lingkungan kampus yang semestinya memberikan ruang aman malah menjadi tempat kasus kekerasan seksual terjadi.
“Sebuah struggle yang tidak berkesudahan, kampus yang seharusnya menjadi wadah intelektual, sayangnya malah menjadi tempat kasus kekerasan seksual. Isu ini juga sebenarnya masih dianggap isu yang terlalu sensitif, makanya masih ada yang bilang udahlah kampus itu jangan terlalu bahas yang ginian,” tutur Nitasya.
Kurangnya perhatian dan anggapan tabu terhadap isu seksual, dinilai Nitasya akan memberikan ruang dan potensi terhadap meningkatnya kasus kekerasan yang terjadi, khususnya di lingkungan kampus.
Akibat dari minimnya pemahaman terhadap isu seksual akan melahirkan pemahaman-pemahaman yang akan terus memberikan ruang bagi pelaku pelecehan seksual. Akibatnya, pelecehan seksual akan dianggap menjadi sesuatu yang lazim terjadi dan tidak ada lagi orang yang peduli terhadap kasus ini.
“Jadi ada yang namanya budaya pemerkosaan atau sebuah kepercayaan di masyarakat umum, bahwa pelecehan seksual itu terus-terusan dinormalisasi, akibatnya menimbulkan pelecehan seksual yang cukup parah. Penormalisasian kekerasan seksual berpotensi menimbulkan kekerasan seksual lainnya, dapat terbuka dan terus meningkat. Puncaknya, mereka menjadi tidak peduli dan benar-benar menganggapnya lazim,” jelas Nitasya.
Pemberian stereotip tertentu pada laki-laki atau perempuan menjadi pintu masuk terjadinya normalisasi pada kasus pelecehan seksual. Kemudian pemakluman yang terjadi di masyarakat, seperti ungkapan boys will be boys dan pemakluman lainnya juga dapat menormalisasi kejadian kekerasan seksual.
Baca Juga: Raibnya Bunga-bunga Patrakomala di Stilasi Bandung Lautan Api
Pandemi Mempercepat Migrasi Peradilan secara Virtual
Manusia dalam Ancaman Sampah Mikroplastik
Sosialisasi Menjadi Sebuah Solusi
Perlawanan terhadap tindakan pelecehan seksual akan menjadi perjuangan yang tidak berkesudahan. Namun bukan berarti tidak ada sama sekali peluang untuk meminimalkan kasus pelecehan seksual tersebut.
Salah satu upaya yang mesti digencarkan adalah dengan menggelar sosialisasi dan edukasi untuk masyarakat luas tentang isu seksual. Hal ini diharapkan supaya pembahasan isu seksual tidak lagi dianggap tabu.
Selain itu dengan dilakukannya edukasi dan sosialisasi, diharapkan dapat memicu simpati banyak orang dan dapat memenuhi kebutuhan korban pelecehan seksual. Sebab, meskipun hari ini banyak orang yang simpati pada korban, namun realitanya masih banyak orang yang tidak memenuhi kebutuhan korban.
“Setidaknya ada lima hal yang perlu dipahami ketika kita memenuhi kebutuhan korban pelecehan seksual, yaitu dengarkan, percaya kepada korban, dukung dan berpihak kepada korban, tanyakan kebutuhan korban, berikan rasa aman dan bantu untuk melaporkan,” tutur Nitasya.
Selain itu, Nitasya menambahkan, jangan pernah mendesak korban untuk menanyakan kenapa hal tersebut bisa terjadi dan jangan pernah menghakiminya. Etika-etika ini perlu diperhatikan agar tidak menimbulkan lagi pengalaman traumatik korban.
“Kita semua harus berpihak dan berdiri untuk membalas korban kekerasan seksual. Kita peduli terhadap pengalaman traumatis korban pelecehan seksual. Kekerasan yang dilakukan misalnya oleh dosen karena merasa punya power, kekuasaan, dan otoritas yang membuat mereka merasa berhak mengambil hak tubuh seseorang harus dilawan. Sebenarnya aku muak, apalagi kepada mereka yang memiliki jabatan tertentu,” pungkas Nitasya.