• Kolom
  • SUARA SETARA: Lagi-lagi Kasus Pelecehan Seksual, Mau sampai Kapan?

SUARA SETARA: Lagi-lagi Kasus Pelecehan Seksual, Mau sampai Kapan?

Kekerasan seksual bisa dilakukan siapa saja, juga oleh orang terdekat. Slogan kesetaraan gender harus secara nyata terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Agida Hafsyah Febriagivary

Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung

Aktivis memperingati International Women's Day di Kota Bandung, Selasa (8/3/2022). Masa yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Perempuan menuntut penegakan hukum atas tindakan kekerasan seksual. (Foto dan Desain: Virliya Putricantika, Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)*

28 Maret 2023


BandungBergerak.idTepat minggu lalu, pasangan saya mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang pria, jenis kelaminnya sama dengan pasangan saya. Pelaku melancarkan aksinya dengan motif yang dibungkus serapi mungkin. Alibinya meminta bantuan mencari makanan dan ujungnya dibawa ke tempat dugem. Tidak sampai di situ, aksinya kemudian berlanjut dengan ajakan tidur bersama dan ujaran bernuansa seksual. Mendengar kabar tersebut membuat saya merenungkan atas sebuah permasalahan yang nyatanya tidak pernah usai dan korbannya kini merenggut orang terdekat.

Ketika dibedah, hipotesis pelecehan seksual dapat menimpa laki-laki atau perempuan, tidak mengenal tempat dan waktu, itu valid. Bahkan ketika berbicara tentang pelaku, tidak menutup kemungkinan merupakan orang terdekat. Pelaku bahkan tidak segan untuk membingkai dirinya sebagai manusia yang begitu paham akan kesetaraan gender, seperti pelaku yang saya tadi. Tolong konfrontasikan hipotesis saya sekarang, slogan gender equality enthusiast hanya dijadikan ajang gaya-gayaan dan tameng semata untuk menormalisasi perilaku yang sebetulnya bertentangan dengan nilai hakiki kehidupan. Mengapa nilai kehidupan yang sudah ideal itu tidak dapat terimplementasikan dalam perilaku sehari-hari?

Narasi kesetaraan gender hari ini semakin banyak terdengar di telinga, seolah pembahasan tersebut sangat maju dan progresif. Namun pada realitanya, perilaku yang tercermin tidak menunjukkan dan tidak sesuai. Apabila kamu termasuk golongan teori behavioristik, maka manusia yang dianggap sudah belajar tidak mungkin menjadi pelaku. Hal ini disebabkan perubahan perilaku manusia adalah luaran dari hasil proses belajar. Stimulasi dari lingkungan juga sangat mempengaruhi pola perilaku manusia yang terbentuk dari pengalaman. Manusia juga dianggap sebagai makhluk yang reaktif terhadap lingkungannya.

Baca Juga: SUARA SETARA: Bukan Penyandang Disabilitasnya yang tidak Mampu, Lingkunganlah yang Membuatnya Demikian
SUARA SETARA: Menstruasi dan Inferioritas Perempuan
SUARA SETARA: Krisis Jati Diri Perempuan di Usia 20 Tahunan

Menjalani kehidupan yang aman dan tenteram, tanpa menjadi korban dari kekerasan seksual adalah harapan kita bersama. Menurut Maslow, ada hirarki kebutuhan dalam hidup ini di antaranya kebutuhan fisiologis, rasa aman, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri. Ketika kasus kekerasan seksual ini masih hadir dan memakan korban seperti pasangan saya, maka untuk mencapai tingkatan aktualisasi diri sebagai manusia tidak akan terpenuhi. Hal tersebut dikarenakan pada tingkatan rasa aman tidak bisa didapatkan. Padahal, teori hirarki kebutuhan ini menjadi motivasi manusia dalam menjalani kehidupan dan apabila ada satu tingkatan yang tidak terpenuhi, maka sulit untuk mempertahankannya.

Dengan demikian, sangat penting bagi kita semua secara sadar menciptakan ruang aman nir kekerasan. Selain itu, slogan gender equality (kesetaraan gender) harus secara nyata terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi konstruksi berpikir kita yang paten. Mau sampai kapan orang-orang terdekat kita terancam keberadaannya? Mau sampai kapan slogan-slogan kesetaraan gender hanya menjadi utopis belaka?

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//