SUARA SETARA: Bukan Penyandang Disabilitasnya yang tidak Mampu, Lingkunganlah yang Membuatnya Demikian
Mungkin kondisi trotoar di Bandung mudah aku lalui karena aku dapat melihat. Namun, bagaimana ketika para penyandang disabilitas melewatinya?
Nida Nurhamidah
Gender Research Student Center.
7 Maret 2023
BandungBergerak.id - Sebelum tenggelam jauh dalam esai ini, kan kuajak kau untuk membayangkan jalan raya yang sering kau lalui. Aku akan mencontohkan sekitar Jalan Setiabudhi, Kota Bandung. Trotoarnya tak tersedia merata, banyak lubang yang mungkin saja kalau tidak hati-hati kau akan terjerembab masuk solokan, ada yang digunakan menjadi tempat parkir dan tempat jualan, ada yang paving block-nya bertumpuk, malah kadang dijadikan jalan oleh motor-motor nakal. Hal yang dapat kusimpulkan adalah trotoar tidak lantas menjadi tempat aman untuk berjalan. Ya, mungkin kondisi trotoar tersebut mudah aku lalui karena aku dapat melihat secara jelas. Namun, bagaimana jika ketika kita berjalan dengan mata tertutup?
Tentunya, jalan tersebut berkali-kali jauh lebih sulit untuk dilewati, tidak ditemuinya fasilitas penunjang untuk memudahkan keteraksesan jalan tersebut. Mungkin, kau tidak asing dengan garis dan titik di tengah trotoar. Bukan, itu bukan manik-manik penghias trotoar. Guiding block, tanda jalan timbul berbentuk bulat dan garis untuk membantu disabilitas netra berjalan. Dengan teksturnya, dapat dimanfaatkan disabilitas netra untuk mengarahkan dan memberi peringatan. Garis artinya berjalan dan bulat artinya berhenti, misal bila ada persimpangan.
Mari kita beralih, dalam konteks pembelajaran di universitas. Bayangkan jika ada seorang disabilitas netra di kelas tersebut. Dosen biasanya membuat media visual seperti power point, kerap kali kata ‘ini’ dan ‘itu’ tidak dapat menjelaskan secara konkret apa yang terlihat di power point. Lalu, bagaimana dengan teman tuli ketika kelas tidak menyediakan juru bahasa isyarat untuk pembelajaran. Hal itu masih ditemukan di kampusku. Kurangnya treatment khusus bagi penyandang disabilitas, membuat penyandang disabilitas harus bertarung dengan ketidakteraksesan fasilitas untuk menempuh pendidikan atau bahkan kehidupan sehari-hari.
Mari Kita Mulai dengan Definisi, Apa itu Penyandang Disabilitas?
Menurut Undang Undang no. 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, “Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.”
Dilansir dari data Biro Pusat Statistik (BPS) 2020 jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,5 juta atau sekitar lima persen. Jumlah yang cukup banyak, namun apakah kau pernah bertanya-tanya mengapa tidak pernah melihat disabilitas beraktivitas seperti biasa di sekitarmu? Sayangnya, jumlah tersebut tidak disertai penyediaan lingkungan fisik dan sosial yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas kerap menghadapi stigma dan dianggap sebagai sosok yang tidak berdaya dalam kehidupan. Hal tersebut pulalah yang menyebabkan para penyandang disabilitas mengalami ekslusi sosial.
Hambatannya jelas nyata, penyandang disabilitas memiliki setumpuk tantangan menghadapi beragam persoalan hanya untuk beraktivitas sehari-hari dan diterima di lingkungannya. Bukan lingkungan yang menyesuaikan penyandang disabilitas, namun penyandang disabilitaslah yang berupaya semakin keras untuk beradaptasi menyesuaikan lingkungan yang diskriminatif kepada dirinya dan tidak diberikannya opsi lain untuk mempermudah disabilitas tersebut. Meskipun, Indonesia sudah mengesahkan UU no. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, hal tersebut tidak diiringi dengan perspektif bahwa penyandang disabilitas merupakan manusia yang harus dipenuhi hak-haknya dalam penerapannya.
Disabilitas di Indonesia kerap mengalami penolakan dan stigma, mulai dari lingkungan keluarga, masyarakat, dan diskriminasi serta pengucilan dari layanan publik seperti pendidikan kesehatan, perlindungan sosial, hingga partisipasi politik.
Lalu, kenapa hal tersebut bisa terjadi?
Konsep Normalitas dan Disabilitas
Aku masih ingat, pelajaran sewaktu sekolah dulu tidak pernah berbicara mengenai penyandang disabilitas. Aku tidak pernah benar benar mengenal dan berinteraksi secara langsung dengan disabilitas, hingga aku duduk di kursi perkuliahan. Dahulu aku percaya bahwa disabilitas merupakan seseorang yang memerlukan bantuan untuk hidup, aku tidak pernah diberikan pemahaman bahwa disabilitas merupakan sosok yang berdaya hingga aku mengenyam bangku perkuliahan dengan jurusan pendidikan khusus.
Disabilitas memiliki perbedaan kemampuan dalam menjalani kehidupan, perbedaan kemampuan yang dimiliki penyandang disabilitas menghadirkan konsep normalitas yang kuamini sedari kecil. Banyak yang tidak menyadari konsepsi bahwa disabilitas pun memerlukan aksesibilitas dalam mengoptimalkan kemampuannya tersebut.
Manusia sama dengan makhluk hidup lainnya yang dituntut mengoptimalkan seluruh kemampuannya dalam bertahan hidup. Seperti halnya gajah disuruh memanjat pohon, bagaimana ia bisa memanjat pohon ketika memang ia tidak memiliki tangan untuk memanjat, tapi bukan berarti gajah tidak bisa mendapatkan buah untuk dimakan, ia dapat mengoptimalkan kemampuan yang lain sehingga mendapatkan buah tersebut.
Konsep normalitas hanya berbicara tentang satu cara dalam mendapatkan sesuatu, berangkat dengan konsepsi tersebut, disabilitas akan dianggap sebagai sosok yang tidak diinginkan dan tidak diterima sebagai bagian dari masyarakat. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya stigmatisasi, berbeda dari konsepsi pada umumnya. Penyandang disabilitas pun kerap tersegregasi dalam menjalani kehidupan.
Hal tersebut diperparah dengan penggambaran disabilitas di media yang tidak memihak. Menurut Paul Hunt, terdapat beberapa stereotip yang menggambarkan disabilitas di media, seperti menyedihkan dan perlu dikasihani, objek rasa penasaran, jahat/licik, objek inspirasi, objek tertawaan, beban masyarakat, dan makhluk aseksual. Penggambaran di media sangat berpengaruh dengan bagaimana pandangan kita terhadap disabilitas.
Pemerintah pun kerap abai ketika berbicara mengenai disabilitas. Kurangnya insentif politik yang menyebabkan mengapa UU tersebut sulit untuk diimplementasikan secara menyeluruh.
Baca Juga: SUARA SETARA: Menstruasi dan Inferioritas Perempuan
SUARA SETARA: Krisis Jati Diri Perempuan di Usia 20 Tahunan
SUARA SETARA: Mempertanyakan Identitas Gender Seseorang, Merendahkan Kemanusiaannya
Apa yang Dapat Dilakukan?
Pengekslusian disabilitas sehingga melahirkan ketidakadilan serta ketidaksetaraan memang disebabkan secara sistematis. Tentunya, bukan hal mustahil untuk menciptakan lingkungan inklusi untuk semuanya. Jangan sampai, pengadaan kebijakan dan penerapannya tidak berdasar pada kebutuhan penyandang disabilitas. Jangan sampai, penyediaan fasilitas aksesibel hanya sebagai penggugur kewajiban saja. Bukan hanya disabilitas saja yang dapat menyuarakan hal ini, kita bersama-sama menuntut para pemangku kebijakan untuk memprioritaskan isu disabilitas sebagai upaya pemenuhan lingkungan yang inklusif.
Semua manusia berhak hidup dan mengoptimalkan dirinya masing-masing terlepas dari apa pun.
*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung