• Kolom
  • SUARA SETARA: Krisis Jati Diri Perempuan di Usia 20 Tahunan

SUARA SETARA: Krisis Jati Diri Perempuan di Usia 20 Tahunan

Perkara quarter life crisis biasa dialami manusia pada usia 20 tahunan. Tetapi krisis jati diri ini akan semakin kuat pada perempuan di dalam sistem patriarki.

Nida Nurhamidah

Gender Research Student Center.

Aktivis memperingati International Women's Day di Kota Bandung, Selasa (8/3/2022). Masa yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Perempuan menyatakan sejumlah tuntutan, salah satunya penegakan hukum atas tindakan kekerasan seksual. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

17 November 2022


BandungBergerak.idAku baru membakar sumbu lilin ketika waktu tepat menunjukkan pukul 00.00. Semakin besar, tidak lagi kumaknai ulang tahun sebagai sebuah perayaan yang membahagiakan, bukan lagi tentang kado-kado, balon, dan cake black forest lengkap dengan lilin merah berbentuk angka.

Kini, usiaku 22 tahun, namun kurasa jiwaku berhenti tumbuh beberapa tahun lalu. Diselimuti ketakutan untuk hidup, kehilangan arah dan tujuan, tak mampu hanya untuk sekadar bermimpi, ketinggalan dari teman teman lain, dan merasa kehabisan waktu untuk berubah. Ya, bisa dibilang aku sepenuhnya kebingungan.

Kebingungan tersebut tak bermuara pada suatu jawaban, aku terus mempertanyakan “siapa aku”, “untuk apa aku hidup”, “apa yang ingin aku lakukan dalam hidup?”. Masa depan memang penuh ketidakpastian, hal tersebut membuatku hilang arah dan tak berdaya. Namun, apa benar aku merasakan hal ini sendirian?

Ternyata tidak, usia 20-an memang mengalami satu periode penuh uncertainty dan petualangan pencarian jati diri. Periode ini disebut quarter life crisis, adalah suatu reaksi seseorang terhadap perubahan terus meneruh, seluruh hal yang dilanda ketidakstabilan, dan bertebarannya pilihan-pilihan, dilingkupi rasa panik serta ketidakberdayaan. Hal tersebut terjadi pada beragam aspek, karier, percintaan, kehidupan, passion, keluarga, dan sebagainya.

Di usia ini pula munculah beragam tuntutan masyarakat, keluarga, ambisi yang harus dipenuhi, timeline kehidupan seakan menjadi bagian dari tugas perkembangan. Katanya, proses pendewasaan itu menyenangkan. Katanya, aku akan memiliki segala kebebasan untuk menentukan pilihanku sendiri. Hal itu yang kudambakan sampai hari ini. Kapan pada akhirnya aku memang merdeka menentukan segala hal yang kuinginkan. Namun, hidup kita tak jauh dari konstruk sosial. Seakan-akan, kita tak pernah hidup bebas.

“Kamu harus lulus 4 tahun, abis itu kerja, nikah, udah ga usah kuliah tinggi tinggi”;

“Kamu harus menikah di usia 25 tahun, perempuan gak boleh tua kalau menikah!”;

"Nanti setelah itu kamu harus punya anak, kasian anakmu kalau kamu punya anak terlalu tua”;

"Kamu juga harus bisa cari uang sendiri ketika sudah menikah”.

Aku sebagai perempuan kerap mendengarkan nasihat seperti itu. Perempuan seolah memiliki batas waktu untuk merealisasikan dirinya, dibenturkan dengan tuntutan untuk menikah, memiliki anak, membangun karier. Ketika hal tersebut tak terpenuhi, insekuritas menyeruak. Hidupku terasa gagal dan aku merasa kehabisan waktu.

Baca Juga: SUARA SETARA: Beban Berlipat Perempuan dalam Setiap Penggusuran
SUARA SETARA: Standar Kecantikan, Usaha Kapitalisme Meraih Keuntungan dengan Merendahkan Perempuan
SUARA SETARA: Kenapa Perempuan Harus Rapi?

Lagi-lagi Ulah Patriarki

Dalam kungkungan dunia patriarki, perempuan mengalami kerentanan dalam menghadapi krisis seperempat baya alias quarter life crisis itu atas segala tuntutan yang ditujukan kepadanya. Perempuan dianggap tidak memiliki pilihan dalam merealisasikan dirinya.

Tuntutan-tuntutan tersebut lahir karena masih menganggap perempuan bukan manusia yang dapat memberdayakan dirinya, ia harus menunggu dan menerima nilai yang diberikan oleh lingkungannya. Perempuan seakan tidak memerlukan persiapan panjang untuk menikah, sedangkan memungkinkan untuk laki-laki membangun karier karena pada akhirnya laki-laki akan menjadi kepala keluarga dan menafkahi keluarganya.

Perempuan yang masih dianggap terbentur dengan peran sumur, kasur, dapur sehingga perempuan menemui hambatan dalam merealisasikan dirinya dan memperparah quarter life crisis yang dialaminya. Perempuan akan dianggap perempuan seutuhnya ketika ia menikah, melahirkan anaknya, merawat anak, dan bisa menjadi independent woman. Perempuan tidak dipandang dapat berdaya sebagai dirinya sendiri. Perempuan berada pada kungkungan serba salah ketika ia tidak dapat mengurusi keluarganya dan hanya mengurusi kariernya, begitu pun sebaliknya.

Bukan berarti periode quarter life crisis tidak terjadi pada laki-laki, laki-laki menghadapi hal yang berbeda ketika ia tidak dibatasi waktu untuk membangun keluarga, memiliki waktu yang lebih leluasa dalam membangun karier, dan beragam hambatan yang berbeda dengan perempuan ketika berbicara tentang meniti karier dan merealisasikan dirinya. Selain itu pula, perempuan lebih ekspresif dalam mengekspresikan perasaannya dibandingkan dengan laki-laki yang cenderung menutup-nutupi karena masyarakat patriarkal menganggap perasaan laki laki tidak valid, dan hanya perempuanlah sosok yang rapuh dan tidak berdaya.

Anggapan perempuan tidak boleh sekolah tinggi tinggi masih ada, sehingga pendidikan untuk perempuan masih dikesampingkan. Ambisi-ambisi untuk merealisasikan dirinya pun terbatas karena kesempurnaan perempuan akan dicapai ketika ia membangun keluarga, melahirkan anak dan merawat keluarganya dengan baik.

Belum lagi ketika memasuki dunia kerja, perempuan dihadapkan dengan fenomena glass ceiling, sebuah metafora yang menggambarkan perempuan menghadapi hambatan ketika perempuan mencapai jabatan yang lebih tinggi atau mencapai kesuksesannya. Hal tersebut diakibatkan anggapan bahwa perempuan memiliki tugas feminim seperti untuk merawat anak, dan harus membagi tugas antara karier dan mengurus keluarga. Alasan tersebut yang menyebabkan pula bahwa anggapan perempuan kurang berkomitmen dalam membangun kariernya.

Hey, Live Your Own Pace, You will be Okay!

Tidak apa-apa untuk memvalidasi perasaan bahwa kamu sedang merasa kebingungan dalam menentukan jati dirimu. Hidup bukan sebuah kompetisi dari membanding-bandingkan hidup dengan orang lain. Masa depan memang penuh dengan ketidakpastian, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok hari. Tidak usah menjadikan timeline yang sudah diset oleh masyarakat sebagai timeline-mu. Kau dapat hidup berdasarkan tujuanmu dan apa yang ingin kau wujudkan. Namun yang jelas, jangan pernah membatasi dirimu, kamu dapat menjadi versi terbaik dari dirimu sendiri.

Kau akan mekar dengan caramu sendiri di waktu masing masing.

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//