• Kolom
  • SUARA SETARA: Kenapa Perempuan Harus Rapi?

SUARA SETARA: Kenapa Perempuan Harus Rapi?

Waktu SMA, guru itu melempar buku saya seraya mengucap, “Semua perempuan itu rapi, kecuali Nida (nama saya)!” Jujur, harga diri saya langsung turun saat itu.

Nida Nurhamidah

Gender Research Student Center.

Hari pertama sekolah di SD inklusi SDN Puteraco Indah, Bandung, Senin (18/7/2022). Sekolah selain sebagai lembaga pendidikan, tak lepas dari jebakan diskriminasi gender, seperti memperlakukan laki-laki dan perempuan secara berbeda dan tidak setara. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

26 Juli 2022


BandungBergerak.id - Kalau perempuan tuh harus rapi, ga boleh berantakan kayak gini! Perempuan gak boleh grasak-grusuk, ceroboh banget! Perempuan tuh rajin, kok kamu pemalas banget sih! Jadi perempuan tuh harus bisa bebersih, nanti gimana suami kamu!

Dan sepertinya masih banyak ucapan buruk yang kuterima hanya karena saya perempuan yang tidak rapi.

Beberapa kalimat di atas adalah kalimat yang selalu saya dengar ketika saya kecil hingga sekarang. Jujur, saat menulis esai ini, saya harus me-recall perkataan buruk orang-orang di masa lalu dan hal tersebut cukup menyakitkan bagi saya. Ternyata, ada banyak hal menyakitkan yang dikatakan oleh orang-orang sekitar saya sehingga saya selalu merasa tidak pantas untuk menjadi perempuan yang sebenar-benarnya perempuan hanya karena tidak rapi.

Seperti waktu saya SMA, saya pernah mendapat kejadian tidak mengenakan dari guru hanya karena tulisan saya yang berantakan. Guru itu melempar buku saya seraya mengucap, “Semua perempuan itu rapi, kecuali Nida (nama saya)!” Jujur, harga diri saya langsung turun saat itu.

Tidak hanya sekali sebenarnya, saya cukup sering terlibat pada peristiwa saya dan ketidakrapiannya juga malah menyalahkan gender saya yang identik dengan kerapian. Di rumah pun, ketika kamar saya berantakan, ibu akan dua kali lebih marah dibandingkan melihat kamar adik saya berantakan. Kalau saya jawab dengan perbandingan kondisi: 

            “Adikku saja ga rapi kok gak dimarahin, sih!”           

            “Kan adik kamu itu laki-laki!”

Kenapa sih harus perempuan saja yang mengurusi soal kerapian? Ketika laki-laki berantakan kan salah dia juga! Bukan tanggung jawab perempuan saja!

Menjadi perempuan dengan segudang stereotip gender yang ada menjadi hal yang sulit. Kerapian, salah satu hal yang identik dengan perempuan. Perempuan dikekang dengan stereotip kerapian, sehingga perempuan yang tidak rapi akan dipertanyakan bagaimana identitasnya sebagai perempuan. Bahkan, perempuan sering kali dianggap tidak akan menjadi istri yang baik ketika ia tidak bisa menjadi rapi. Semua perempuan seakan terlahir rapi dan harus mengikuti stereotip tersebut, namun sebenarnya kenapa hal tersebut bisa terjadi?

Perkara Stereotip Gender

Stereotip gender berkaitan dengan kontrol sosial yang bersifat menentukan pedoman bersikap atau berperilaku terhadap dua gender yang ideal diterima di masyarakat. Konsekuensi akan diterima seseorang jika bersikap di luar tingkah laku tertentu.

Stereotip hadir sebagai suatu hal yang sudah dinormalisasi karena sudah terjadi begitu mengakar. Tak jarang, stereotip menjadi momok yang merugikan karena membatasi peran gender di ruang privat maupun publik. Peran domestik mulanya dibebankan kepada perempuan, namun hal tersebut semakin lama semakin mengekang perempuan. Di mana peran perempuan sangat kental dengan peran domestik ini. Bukan jadi hal baru, pelabelan terhadap gender tertentu telah berlangsung sedari 6.000 tahun lalu. Pembagian peran pada masa berburu dan meramu menjadikan perempuan diinternalisasi sebagai sosok yang mengurusi urusan rumah tangga.

Sistem patriarki yang sudah sangat tua dan dinormalisasi membuat ia langgeng dan membudaya. Perempuan menganggap bahwa peran-peran yang disematkan kepadanya merupakan sesuatu yang naluriah. Padahal hal tersebut berkaitan dengan bagaimana cara pandang laki-laki mengikat perempuan. Perempuan dianggap sebagai objek yang subjeknya adalah laki-laki. Letak bagaimana perempuan hidup masih diatur dengan bagaimana sudut pandang laki-laki.

Baca Juga: SUARA SETARA: Mencari Pendidikan yang Mengabdi pada Rakyat
SUARA SETARA: Dicari! Ruang Aman Bagi Perempuan
SUARA SETARA: Guru Penggerak, Harapan untuk Kesejahteraan atau Penyokong Status Quo Pemilik Kuasa?

Perkara Mitos Kodrat Perempuan

Ketika seorang bayi dilahirkan dengan vagina, seperangkat kodrat dibebankan padanya. Kerapian merupakan salah satu, dari bermacam stereotip kodrat perempuan. Sejak lahir, pengalaman yang dialami oleh anak perempuan berbeda dengan anak laki-laki, mulai dari permainan yang kita mainkan seperti perempuan yang identik dengan permainan boneka, laki laki dengan mobil-mobilan. Menjaga kerapian, bersih-bersih bagai jadi suatu kodrat yang tidak terpisahkan untuk perempuan. Belum lagi seperangkat penindasan spesifik yang ia alami sebagai perempuan.

Kodrat perempuan yaitu kepemilikan rahim. Bagaimana ia akan membuahi rahimnya, itu merupakan pilihannya sebagai perempuan. Bukan berarti kepemilikan rahim membuat perempuan dibebankan kewajiban untuk merawat anaknya, mengurusi urusan domestik karena semua memiliki tanggung jawab yang sama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Seluruh hal yang mengharuskan perempuan rapi berasal dari hal sistematis dan perlu kita sadari bahwa perempuan berada dalam jeratan patriarki. Tentunya, hal mengakar tersebut perlu kita patahkan.

Semua ketidakrapianmu merupakan bagian dari dirimu, jangan menganggap dirimu berhenti menjadi perempuan ketika kamu menjadi dirimu sendiri ya!

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//